Elvano menggeram kesal dan kembali mencoba menghubungi nomor Aneska, tetapi sudah tidak aktif lagi. Lelah berusaha, pria itu menghela napas panjang dan memijat pangkal hidungnya. Lalu, menyandarkan punggung di kursi kebesaran sebelum memanggil Danu.“Bapak panggil saya?”“Hem. Duduklah!”Elvano menautkan kedua jemari yang berada di meja sebelum menatap lekat sang sekretaris sekaligus tangan kanannya itu. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka kata.“Carikan saya rumah yang bisa disewa selama setahun dan berada di daerah Semarang. Rumah itu tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Masalah harga berapa pun tidak masalah. Untuk letaknya, tolong carikan yang tidak jauh dari toko kue Mr. Delicious. Saya tunggu kabarnya sampai seminggu ke depan.”Danu mengernyit mendengar permintaan mendadak dari atasannya. Namun, tak ada keberanian untuk bertanya kepada pria yang duduk di hadapannya. Pria yang sudah mengabdi kepada Elvano selama tujuh tahun itu ha
Elvano tersenyum sambil menoleh ke arah Shanka yang duduk di sampingnya. Terselip kata terima kasih yang diucapkannya dalam hati kepada bocah itu setelah sikapnya yang bersimpuh di depan Aneska tak kunjung disetujui.“Boleh, ya, Bunda? Tempatnya, kan, jauh di pusat kota. Sudah keburu malam juga kalau kita enggak cepat-cepat pergi sekarang. Nanti uang naik ojeknya buat beli tambahan ayam goreng saja. Terus dibagiin ke Reza, katanya dia juga belum pernah merasakan ayam goreng itu.”Karena ucapan sang anak itulah akhirnya Aneska mengangguk lemah dan mengiakan permintaan Elvano. Namun, wanita itu enggan untuk duduk di depan, sehingga posisinya digantikan oleh Shanka. Tak mengapa, yang terpenting Elvano sudah selangkah memenangkan hati anaknya.Sepanjang perjalanan, Aneska bungkam dan menatap keluar jendela. Hal itu bisa dilihat Elvano dari center mirror yang terpasang di tengah mobil. Pria itu menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. Setelahnya, dia melirik Shanka yang mengulas
Senyum yang terpatri di bibir Elvano lenyap seketika mendengar ucapan yang dilontarkan Aneska. Dia berbalik dan menatap lekat wanita itu sambil melangkah mendekat. Namun, Aneska segera berbalik dan memasuki gerbang indekosnya.“Nes, tunggu!” Elvano mencekal pergelangan Aneska sebelum berdiri di hadapannya. “Kenapa kamu anggap semua pemberianku adalah utang? Aku ikhlas memberikan apa yang diminta Shanka hari ini. Apakah salah kalau aku memberikan sedikit kebahagiaan buat Shanka? Dia itu an—““Stop! Sebaiknya Bapak pulang sekarang!”Aneska menepis kasar tangan Elvano sebelum melewatinya menuju kamar. Sementara, pria itu meraup wajah kasar sebelum menengadah dan menghela napas panjang. Dia segera berbalik dan hendak menyusul Aneska, tetapi suara Shanka keburu menyapa.“Om mau ke mana? Tamu cowok enggak boleh masuk ke dalam, bolehnya tunggu di ruang tamu.”Elvano berjongkok di depan Shanka dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Om mau pamit karena harus pulang sekarang. Shanka cepeta
Dalam kepanikan, Elvano membawa Shanka ke rumah sakit terdekat. Dia sesekali melirik ke belakang di mana tubuh sang anak lemas tak bergerak.“Ayah mohon bertahanlah, Shanka.”Elvano mencengkeram erat kemudi sambil terus berdoa dalam hati hingga sampai di rumah sakit. Secepatnya dia menggendong Shanka dan membawanya ke UGD.“Tolong selamatkan anak saya.”Pria dengan manik mata biru itu berdiri dengan gelisah di depan pintu UGD sebelum mengempaskan tubuh di kursi. Lalu, merogoh ponsel yang ada di saku celana sebelum menghubungi Aneska. pada dering pertama, panggilannya tak diangkat.“Kamu ke mana, sih, Nes.” Elvano menggerutu sambil terus mencoba hingga akhirnya panggilannya diangkat. “Nes, Shanka ....”Elvano menceritakan apa yang terjadi kepada Shanka dalam satu tarikan napas sebelum terkesiap ketika Aneska langsung mematikan panggilan. Dia mendesah lirih sebelum memejamkan mata sejenak untuk mengusir ketegangan yang ada. Sekelebat bayangan buruk membayang di pelupuk mata.“Eng
“Bunda,” panggil Shanka lirih setelah melihat Aneska mendekat.“Bunda di sini, Nak. Apa yang kamu rasakan, Nak? Apakah ada yang sakit?” tanya wanita itu yang dijawab dengan gelengan.“Mana Om Elvan?”Aneska mengernyit heran mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil Shanka. Namun, belum sempat membuka mulut, suara lirih Shanka kembali terdengar.“Mana Om Elvan, Bunda? Shanka mau ngomong sama Om Elvan.”Aneska menghela napas panjang sebelum berbalik dan berlalu keluar UGD untuk memanggil Elvano. Pria yang masih setia duduk di kursi sambil menengadah itu spontan menunduk begitu mendengar langkah mendekat.“Shanka mau ketemu Bapak.”Elvano mengulas senyum tipis sebelum bangkit dan masuk ke ruang UGD. Dia mendekat dan langsung memeluk anaknya.“Maafkan Om, ya? Om enggak tahu kalau Shanka ternyata alergi seafood. Kenapa Shanka enggak bilang sama Om?”Shanka mengulas senyum tipis sebelum menepuk pelan punggung Elvano. “Shanka juga lupa, Om. Shanka terlalu senang karena b
Aneska mendengkus kesal kala melihat Elvano sudah duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu indekos itu. Usai mengatur gelebah dalam dada, wanita itu duduk di kursi yanng berseberangan dengan Elvano.“Mau apa Bapak ke sini? Jika mau bertemu dengan Shanka, dia sedang tidur.”“Aku ke sini cuma mau anterin ini, Nes.” Elvano meletakkan sebuah bungkusan plastik ke meja sebelum mendorongnya mendekati Aneska. “Aku tahu kamu belum makan, makanya aku sengaja beli itu buat kamu.”Aneska hanya melirik bungkusan itu dan bangkit dari duduk. “Bawa kembali makanan itu, Pak. Saya masih bisa cari makan sendiri.”Elvano menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. “Pantang bagiku membawa apa yang sudah aku beri untuk orang lain. Kalau begitu, aku pamit.”Elvano mengayun langkah menuju mobil sebelum melajukannya meninggalkan indekos. Sementara itu, Aneska masih bergeming beberapa jenak sebelum meraih bungkusan plastik tadi dan membawanya ke kamar. Lalu, membuka dan terkesiap melihat tu
“Beneran, Om?”Elvano mengangguk sambil terus mengulas senyum. “Tentu saja beneran. Memangnya Shanka mau apa dari Om?”“Shanka enggak mau apa-apa, Om. Ehm, kalau misal Shanka panggil ayah boleh enggak? Kalau Shanka panggil ayah ada yang marah enggak? Kata Bunda, Shanka harus tanya dulu, takutnya anak Om marah nanti kalau Shanka juga manggil Om ayah.”Elvano terkesiap dan menatap Shanka tak percaya. “Maksudnya, Shanka mau panggil Om dengan sebutan ayah?”Shanka mengangguk dengan binar mata bahagia. Sontak Elvano tersenyum lebar sambil mengusap rambut anaknya. “Tentu saja enggak ada yang bakalan marah. Shanka sangat boleh panggil Om dengan sebutan ayah.”Shanka spontan memeluk Elvano dan mengecup pipi kirinya. Keduanya larut dalam kebahagiaan seiring tawa yang terdengar dari dalam kabin mobil hingga sampai di depan gerbang sekolah Shanka.“Jadi deal, ya? Shanka boleh panggil ayah sebagai imbalan karena mau bantuin Om buat dapetin maafnya Bunda.”“Deal.” Shanka mengangguk mantap s
Aneska bergegas mendekati Shanka yang meraung usai membanting mobil mainannya. Dia dekap erat tubuh bocah itu dan mengusap punggungnya. Masih terasa hebat getaran diiringi isak tangis tertahan dari bibir mungil sang anak saat Aneska mengajaknya duduk di gazebo. Tak ada yang dia lakukan kecuali menunggu hingga tangisan anaknya mereda.Selang sepuluh menit, Shanka sudah berhenti menangis. Namun, sesekali masih terdengar isaknya. Aneska segera melerai pelukan dan menghapus air mata yang membasahi pipi bocah itu.“Shanka kenapa? Shanka marah gara-gara Ayah enggak ke sini sesuai janjinya, ya?”Shanka mengangguk lemah sebelum kembali memeluk erat ibunya. Lagi, tangisnya terdengar, meskipun sangat lirih. Aneska hanya tersenyum tipis sambil mengusap punggung anaknya hingga malam sempurna datang. Saat lampu yang menerangi gazebo menyala, tampak wajah sembab Shanka damai dalam pelukan Aneska. Rupanya lelah setelah menangis membuat bocah itu lelap tertidur.Setelah meminta izin, Aneska memil
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia