Shanka bergeming dengan tangan terkepal sambil menatap seorang bocah lelaki yang menangis kencang sambil menutupi mata dengan lengannya. Di pipi bocah itu tampak luka kemerahan dan sedikit bengkak.“Ada apa ini?” tanya wanita yang dipanggil Dita tadi. Dia mendekat dan langsung menarik lengan Shanka sebelum membawanya keluar kelas, sedangkan seorang guru lainnya berusaha menenangkan bocah yang menangis.Sementara itu, Elvano mengikuti Dita dan Shanka yang sedang menuju suatu ruangan. Dita langsung duduk sambil memegang kedua lengan Shanka.“Boleh Ibu tahu apa yang terjadi tadi, Shanka?” tanya Dita dengan nada suara yang lembut.Shanka membuang pandangan dan bungkam, sehingga membuat Dita menggeleng lemah sebelum menangkup dagunya. Wanita itu tersenyum tipis sambil mengusap lembut kepala anak didiknya.“Apa Doni menghinamu lagi, Shanka?”Lagi, bocah lelaki itu bergeming sambil menatap langit-langit ruangan. Sikapnya itu membuat Dita menghela napas panjang sebelum meraih Shanka dan
Elvano mengeluarkan ponsel dan menghubungi Gavin yang masih menunggu di mobil. Kemunculan dokter pria itu bersamaan dengan Maisa yang berlari dari arah dapur.“Apa yang terjadi dengan Anes? Siapa Anda? Anda apakah dia?” Pertanyaan beruntun yang dilontarkan Maisa tak digubris Elvano sama sekali. Pria itu terlalu fokus dengan Aneska yang masih belum sadarkan diri dalam pelukannya.Melihat itu, Gavin menghela napas panjang sebelum membuka mulut. “Bu Maisa, ini adalah Elvano. Kakak saya sekaligus ....”Gavin tak meneruskan ucapannya karena mendapat tatapan tajam Elvano. Dia memilih segera bungkam daripada harus menerima konsekuensi yang lebih berat dari sang kakak. Beruntungnya, Maisa tak mengindahkan dan segera memerintah Elvano untuk membawa Aneska ke kamar yang berada di sudut halaman belakang.Pria tegap dengan manik mata biru itu langsung membopong Aneska dan membawanya ke kamar dan membaringkannya. Lalu, menyuruh Gavin secepatnya memeriksa Aneska yang masih belum juga sadarkan
“Jadi apa rencana Mas selanjutnya?”Elvano menarik ingatannya dari kejadian beberapa jam yang lalu sebelum menoleh kepada Gavin. Dia menggeleng lemah dan menghela napas panjang.“Aku sudah membuat hidup Anes sangat menderita selama ini. Aku sudah jahat padanya. Tapi, aku enggak mau berpisah dengannya, Vin. Aku masih mau mempertahankannya, aku mau menebus semua kesalahanku. Tapi, sepertinya kebencian masih mengakar kuat di hati Anes. Apa yang harus aku lakukan, Vin?”“Berarti Mas harus lebih keras lagi usahanya. Yakinkan Anes kalau Mas menyesal dan sudah berubah. Aku yakin Anes pasti lama-lama akan luluh dan mau menerima Mas kembali.”Elvano menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap hampa jalanan di depannya.“Aku tidak seyakin itu, Vin. Karena aku bisa melihat Anes tidak mengharapkanku lagi. Dia tidak nyaman berada di dekatku, beda bila dia ada di dekatmu. Sama seperti Shanka yang lebih bahagia bila bersamamu daripada bersamaku.”Gavin terkejut mendengar
“Mamaaa!” jerit Shanka sambil mendekati tubuh Maisa yang berusaha untuk duduk. Dia menolong wanita itu dan segera memeluknya erat.“Kamu enggak apa-apa, Sayang? Enggak ada yang luka, kan? Ada yang sakit enggak?” tanya Maisa beruntun sambil menelisik tubuh Shanka dengan raut penuh khawatir.Shanka hanya menggeleng lemah sebelum kembali memeluk erat Maisa. Tangisnya pecah dalam dekapan wanita itu. Dengan lembut, Maisa malah mengusap punggung Shanka.“Sudah jangan nangis, Sayang. Yang penting kamu enggak apa-apa. Mama sudah khawatir banget tadi. Untung saja masih sempat nolongin. Memangnya kamu kenapa nyebrang sendiri? Bunda ke mana?”Shanka melerai pelukan dan menghapus air matanya. “Bun-Bunda demam, Ma. Panasnya tinggi banget. Shanka takut Bunda kenapa-napa, makanya Shanka ke sini mau bilangin Mama.”Maisa kembali merengkuh tubuh kecil Shanka dalam dekapan dan mengecup kepalanya berulang kali.“Ya, sudah kalau begitu. Kita bawa Bunda ke klinik, ya? Biar diperiksa sama dokter.”S
Elvano menggeram kesal dan kembali mencoba menghubungi nomor Aneska, tetapi sudah tidak aktif lagi. Lelah berusaha, pria itu menghela napas panjang dan memijat pangkal hidungnya. Lalu, menyandarkan punggung di kursi kebesaran sebelum memanggil Danu.“Bapak panggil saya?”“Hem. Duduklah!”Elvano menautkan kedua jemari yang berada di meja sebelum menatap lekat sang sekretaris sekaligus tangan kanannya itu. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka kata.“Carikan saya rumah yang bisa disewa selama setahun dan berada di daerah Semarang. Rumah itu tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Masalah harga berapa pun tidak masalah. Untuk letaknya, tolong carikan yang tidak jauh dari toko kue Mr. Delicious. Saya tunggu kabarnya sampai seminggu ke depan.”Danu mengernyit mendengar permintaan mendadak dari atasannya. Namun, tak ada keberanian untuk bertanya kepada pria yang duduk di hadapannya. Pria yang sudah mengabdi kepada Elvano selama tujuh tahun itu ha
Elvano tersenyum sambil menoleh ke arah Shanka yang duduk di sampingnya. Terselip kata terima kasih yang diucapkannya dalam hati kepada bocah itu setelah sikapnya yang bersimpuh di depan Aneska tak kunjung disetujui.“Boleh, ya, Bunda? Tempatnya, kan, jauh di pusat kota. Sudah keburu malam juga kalau kita enggak cepat-cepat pergi sekarang. Nanti uang naik ojeknya buat beli tambahan ayam goreng saja. Terus dibagiin ke Reza, katanya dia juga belum pernah merasakan ayam goreng itu.”Karena ucapan sang anak itulah akhirnya Aneska mengangguk lemah dan mengiakan permintaan Elvano. Namun, wanita itu enggan untuk duduk di depan, sehingga posisinya digantikan oleh Shanka. Tak mengapa, yang terpenting Elvano sudah selangkah memenangkan hati anaknya.Sepanjang perjalanan, Aneska bungkam dan menatap keluar jendela. Hal itu bisa dilihat Elvano dari center mirror yang terpasang di tengah mobil. Pria itu menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. Setelahnya, dia melirik Shanka yang mengulas
Senyum yang terpatri di bibir Elvano lenyap seketika mendengar ucapan yang dilontarkan Aneska. Dia berbalik dan menatap lekat wanita itu sambil melangkah mendekat. Namun, Aneska segera berbalik dan memasuki gerbang indekosnya.“Nes, tunggu!” Elvano mencekal pergelangan Aneska sebelum berdiri di hadapannya. “Kenapa kamu anggap semua pemberianku adalah utang? Aku ikhlas memberikan apa yang diminta Shanka hari ini. Apakah salah kalau aku memberikan sedikit kebahagiaan buat Shanka? Dia itu an—““Stop! Sebaiknya Bapak pulang sekarang!”Aneska menepis kasar tangan Elvano sebelum melewatinya menuju kamar. Sementara, pria itu meraup wajah kasar sebelum menengadah dan menghela napas panjang. Dia segera berbalik dan hendak menyusul Aneska, tetapi suara Shanka keburu menyapa.“Om mau ke mana? Tamu cowok enggak boleh masuk ke dalam, bolehnya tunggu di ruang tamu.”Elvano berjongkok di depan Shanka dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Om mau pamit karena harus pulang sekarang. Shanka cepeta
Dalam kepanikan, Elvano membawa Shanka ke rumah sakit terdekat. Dia sesekali melirik ke belakang di mana tubuh sang anak lemas tak bergerak.“Ayah mohon bertahanlah, Shanka.”Elvano mencengkeram erat kemudi sambil terus berdoa dalam hati hingga sampai di rumah sakit. Secepatnya dia menggendong Shanka dan membawanya ke UGD.“Tolong selamatkan anak saya.”Pria dengan manik mata biru itu berdiri dengan gelisah di depan pintu UGD sebelum mengempaskan tubuh di kursi. Lalu, merogoh ponsel yang ada di saku celana sebelum menghubungi Aneska. pada dering pertama, panggilannya tak diangkat.“Kamu ke mana, sih, Nes.” Elvano menggerutu sambil terus mencoba hingga akhirnya panggilannya diangkat. “Nes, Shanka ....”Elvano menceritakan apa yang terjadi kepada Shanka dalam satu tarikan napas sebelum terkesiap ketika Aneska langsung mematikan panggilan. Dia mendesah lirih sebelum memejamkan mata sejenak untuk mengusir ketegangan yang ada. Sekelebat bayangan buruk membayang di pelupuk mata.“Eng