Pria dengan rambut hitam, garis rahang yang tegas serta mata hazel itu berjalan mendekati Viona dan mencium pipi kanannya. Lalu, menyalami Abraham serta Kasih sebelum duduk di depan Elvano. Senyum tak pernah lepas dari bibir merah alaminya. “Bagaimana perjalananmu, Gavin? Masihkah jetlag?” tanya Viona sambil melempar senyum. “Semuanya lancar, Oma. Kecuali sopir yang telat menjemput ke bandara karena mengantar kakak iparku yang cantik terlebih dahulu. Akhirnya, aku memilih naik taksi daripada melewatkan makan malam ini." Aneska terkejut mendengar ucapan yang terlontar dari mulut pria yang dipanggil Gavin oleh Viona. Dia bersitatap dengan pria itu sebelum memutus pandangan dengan menunduk. “Jangan berlebihan memuji. Kamu tidak tahu bagaimana aslinya dia, kan?” Kasih, istri Abraham itu menatap tajam Aneska dengan senyum sangat tipis menghiasi bibir bergincu merahnya. “Kasih, tak baik berkata begitu kepada Anes. Dia memang cantik, begitu juga hatinya. Kamu saja yang belum tahu.” Viona
“Mas Gavin,” ucap Aneska balik saat mendapati sosok pria yang semalam baru saja dilihatnya. “Pa-Papa yang sakit, Mas. Papa enggak respons pas aku bangunin tadi. Aku takut sesuatu terjadi sama Papa, makanya aku bawa ke sini.”“Biar aku periksa kalau begitu.”Aneska mengangguk dan memaku pandangan kepada punggung Gavin yang perlahan memasuki ruang UGD. Setelahnya, gadis itu memilih duduk di bangku besi sambil terus merapalkan doa.“Sembuhkan Papa, Tuhan. Hanya dia yang aku punya sekarang.”Aneska meremas kuat jemarinya sambil sesekali menatap pintu yang masih tertutup sejak tadi. Dadanya bergemuruh hebat membayangkan hal buruk yang akan menimpa sang ayah. Namun, melihat Gavin keluar dengan wajah yang tenang, gadis itu segera bangkit dan mendekat.“Papaku bagaimana, Mas? Baik-baik saja, kan? Papa enggak apa-apa, kan?”Sambil mengangguk, pria itu menyunggingkan senyuman. “Tekanan darahnya tinggi banget, Nes. Untung saja cepat dibawa ke sini, jadi bisa cepat ditangani. Tapi, untuk du
Elvano terus berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Aneska. Dia bergegas ke kamar untuk mengambil jaket dan kunci moil sebelum membawa kendaraan roda empat itu pergi meninggalkan rumah. Melihat itu, Aneska hanya bisa menghela napas panjang sebelum membawa teh hangat ke meja makan.Tanpa sadar, gadis itu meraba dada kirinya dan meringis. Seonggok daging berwarna merah bernama hati itu berdenyut nyeri. Sakit sekali kembali diabaikan suaminya sendiri.“Kapan kamu mau melihat keberadaanku, Mas? Apakah kamu begitu membenciku karena ulah Papa? Apakah ini caramu membalas perbuatan Papa, dengan menganggapku tak pernah ada?”Aneska menengadah, berusaha untuk menghalau bulir bening yang hendak meluncur turun. Namun, sekuat apa pun berusaha, dia tak sanggup menahan perih. Akhirnya, air mata itu luruh seiring tubuh yang bergetar hebat. Aneska menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Suara isak tangisnya terdengar menyayat hati.Sementara dalam mobil yang berjalan, Elvano terus menghubungi Ma
“Butuh sesuatu, Mas?” tanya Aneska sambil memasang senyum semringah.Di depannya Elvano berdiri dengan tatapan dingin. Masih tampak jelas bekas jejak kesedihan yang menumpuk di mata sebening madu milik istrinya. Namun, merasakan ponselnya terus saja bergetar, pria itu segera berbalik dan memasuki kamarnya untuk menjawab panggilan.“Iya, Zaya. Ada apa?”“Mas sudah sampai rumah?”“Iya, baru saja. Kenapa? Kangenkah? Bukankah baru saja kita bertemu?”“Ih, Mas Elvan bisa saja. Iya, aku selalu saja kangen sama kamu. Rasanya enggak mau pisah.”“Sabar, Zaya. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya.”“Bener, ya? Awas saja kalau kamu bohong. Jangan sampai gadis kampungan itu membuatmu melupakan aku.”“Tentu tidak, Zaya. Cintaku hanya untukmu seorang.”Mazaya terdengar tergelak di ujung telepon. “Ya, sudah, Mas. Selamat istirahat, have a nice dream.”Elvano terkekeh sambil menggeleng sebelum memutus panggilan. Lalu, mengempaskan tubuh ke ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Aneska mengernyit heran. Dia hendak membuka mulut, tetapi suara Mala segera mengalihkan perhatiannya.“Nes, bukannya itu suami bule kamu, ya? Sama siapa dia? Kok, kelihatan mesra banget, sih.”Aneska berusaha melongok melewati punggung Gavin. Namun, pria itu menggeser tubuhnya hingga menutupi penglihatan kakak iparnya.“Minggir, Mas. Aku mau lihat. Apa benar itu Mas Elvan."“Enggak usah, Nes. Lebih baik kamu cepat pulang, kan? Takutnya Mas Elvan sudah nungguin.”Aneska mendengkus kesal karena terus dihalangi pandangannya. Dia mencebik sebelum menggeser paksa tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming. Dia bahkan memaksa Aneska untuk berbalik dengan memegang kedua bahunya.“Lepasin, Mas!” seru Aneska sambil berusaha melepaskan tangan Gavin. “Aku mau lihat untuk memastikan apa benar itu Mas Elvan.”“Kamu yakin, Nes?”Melihat Aneska mengangguk, Gavin perlahan melepaskan tangannya. Dia menyingkir sambil terus menatap dan memperhatikan ekspresi gadis di depannya. Sementara itu, Aneska
“Memangnya apa yang sudah terjadi, Mas? aku benar-benar tidak tahu apa-apa?”Elvano enggan menjawab pertanyaan Aneska. Dia memilih bungkam dan melepas jas sebelum melemparnya ke keranjang. Lalu, mengempaskan kasar tubuhnya ke tepi ranjang sambil mengusap sudut bibir sebelah kiri.“Boleh aku lihat, Mas?” tanya Aneska sambil mengikis jarak dan berjongkok di depan suaminya.“Enggak usah. Keluarlah!”“Tolong sekali saja izinkan aku mengobatinya, Mas. Aku enggak mau nanti lukanya malah jadi infeksi.”“Terserah.”Aneska kembali berdiri dan berlari ke dapur untuk mengambil kotak obat. Lalu, menemui Elvano dan kembali berjongkok di depannya. Dengan perlahan, dia memalingkan wajah sang suami agar menatapnya, kemudian membersihkan lebam dan sudut bibir yang robek sebelum mengoleskan salep luka.“Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Mas? Mas berantem, ya? Sama siapa kalau boleh aku tahu?”“Keluarlah!”Aneska menghela napas panjang dan memilih menuruti perintah suaminya. Dia membawa langka
Hati istri mana yang tidak akan terluka mendengar bahwa suaminya akan menikahi wanita lain. Begitu juga dengan Aneska. Di mulut dia bisa mengumbar senyum dan bilang baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah remuk tak berbentuk lagi. Sejak awal menikah, Aneska sudah menanamkan diri agar sadar statusnya dinikahi untuk apa. Namun, mengetahui kenyataan yang diucapkan sang suami, benar-benar membuatnya sangat terluka.Setelah kejadian semalam, gadis itu masih bersikap seperti biasa. Dia masih menyiapkan makan dan baju ganti untuk Elvano. Tak bisa dipungkiri sakit yang meremukkan hatinya, tetapi sebisa mungkin dia simpan rapat hingga tak ada seorang pun yang tahu termasuk suaminya.Senin pagi yang cerah, Aneska dan Elvano sudah duduk di meja makan sambil menghadap sarapannya masing-masing. Tak ada kata yang terucap hingga Aneska memberanikan diri untuk membuka mulut.“Aku izin ke kampus sama rumah Papa nanti, Mas.”“Hem.”Elvano bergegas menyelesaikan makan dan bangkit. Lalu, melang
Gavin dan Aneska kompak menoleh mendengar suara Viona. Gavin segera mendekati sang nenek dan merangkul pundaknya, kemudian membawanya ke meja makan. Sementara itu, Aneska meneruskan mencuci piring sambil menajamkan telinga untuk mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan adik iparnya. dengan sang nenek.“Masa lalu Mas Elvan, Oma. Anes, kan, tahu kalau Mas Elvan pernah patah hati dan menutup diri dari yang namanya cinta. Makanya maklumi saja kalau sikapnya masih suka dingin dan kaku sama wanita. Tapi, Gavin yakin Anes pasti bisa mengubah Mas Elvan jadi lebih hangat.”“Kamu betul sekali, Vin. Tapi, selama ini sikap Elvan sudah mulia berubah, kok. Dia juga kelihatan sangat menyayangi Anes.”“Kadang apa yang terlihat tidak seperti aslinya, Oma.”Aneska sontak menoleh dan melayangkan tatapan tajam kepada Gavin. Sementara, Viona menjewer pria itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan.“Jangan suka menilai orang lain, Vin. Masih mending Elvan mau mencoba mengenal wanita. Lha, kamu sendir