“Perutku sakit banget, Mas. Hari ini adalah pertama aku PMS, memang biasanya begini.”Elvano masih menatap dingin Aneska, tanpa berkeinginan untuk membantunya berjalan menuju kamar. Dia berjalan di belakang gadis itu dan mendesah lirih sebelum memilih berlalu ke kamarnya. Namun, gerakannya untuk membuka pintu terhenti ketika mendengar suara Aneska. Tampak wajah gadis itu memucat dengan keringat dingin membasahi dahinya.“Malam ini makannya pesan saja enggak apa-apa, kan, Mas? perutku benar-benar sakit banget.”“Hem.”“Maaf, ya, Mas. Kalau begitu aku istirahat dulu.”Elvano masih bergeming sambil menatap sang istri yang masuk lebih dulu. Dia mendesah lirih sebelum masuk kamar untuk mengambil kunci mobil dan jaket dan kembali keluar. Perlahan, dia membawa kendaraan roda empatnya meninggalkan pekarangan rumah menuju salah satu kafe yang terletak di pusat kota. Lalu, memesan makanan dan minuman begitu sampai di sana.Ketika sedang menikmati makanan di depannya, suara seseorang terde
Elvano bergegas melajukan kendaraan roda empatnya kembali ke kantor setelah menutup telepon. Percakapannya dengan orang dari seberang telepon tadi kembali terngiang di telinga.“Maaf, Pak. Mbak Anes hampir pingsan dan sekarang ada di ruangan Bapak bersama Ibu Viona.”Elvano tergesa-gesa kembali ke kantor bukan karena khawatir dengan sang istri, tetapi kedatangan sang nenek yang tiba-tiba membuatnya berada dalam masalah besar jika ketahuan mengabaikan Aneska. Tak ingin membuat wanita tua itu terlalu lama menunggu, Elvano menekan kuat pedal gasnya agar segera sampai ke kantor. Lalu, setengah berlari kembali ke ruangannya.Elvano terengah-engah begitu sampai di depan pintu ruangannya. Dia bergeming sesaat untuk mengatur napas sebelum membuka pintu. Lalu, dua wanita yang sedang duduk di sofa langsung memenjarakan matanya. Tampak Viona mengusap lengan Aneska yang sedang meneguk air dari gelas.“O-Oma? Sedang apa di sini?” tanya Elvano sambil mengikis jarak dan duduk di sofa. Tatapannya
Elvano bergegas melajukan mobilnya menuju rumah Mayaza. Pikirannya berkecamuk hebat mendengar wanita itu merajuk. Tak ingin makin membuat Mazaya makin marah, Elvano segera menekan pedal gas agar segera sampai di rumahnya.“Zaya, buka pintunya! Plis, maafin aku!”Lima menit berselang, pintu di depannya masih bergeming. Pria itu kembali mengetuk pintu dan memanggil sang empunya rumah. Tak lama berselang, terdengar kunci diputar dan pintu dibuka. Dengan wajah ditekuk, wanita itu menatap Elvano sekilas sebelum berbalik dan berlalu. Namun, langkahnya tertahan ketika pria itu mendekat dan segera memeluknya dari belakang.“Maafin aku, Zaya. Aku percaya kata-kata kamu, kok. Jangan marah lagi, ya?”"Tapi tadi kata-kata Mas seolah-olah meragukanku.""Sekarang aku percaya semua kata-kata kamu, Zaya."Elvano menyematkan kecupan di pipi Mazaya sebelum membalik tubuh agar menghadapnya. Dia menangkup wajah wanita itu dan mencium bibirnya sekilas. Lalu, seutas senyum tipis disematkan Mazaya di bi
Aneska segera mengambil beberapa foto tanpa sepengetahuan kedua pasangan di belakangnya. Beruntung posisi duduknya membelakangi mereka, sehingga leluasa untuknya mengambil beberapa informasi yang dibutuhkan. Tak ingin melewatkan kesempatan, gadis itu bahkan menyalakan perekam sambil menajamkan telinga untuk mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan.Lima menit berselang, kedua pasangan yang duduk di belakang Aneska bangkit. Gadis itu segera menghadap tembok untuk menghindari tatapan mereka. Bertepatan dengan itu Mala datang dan langsung menepuk bahu Aneska.“Kenapa, Nes?”Aneska terkejut dan langsung menoleh. Lalu, melongok di belakang punggung Mala untuk memastikan sesuatu sebelum satu helaan napas penuh kelegaan terdengar dari mulutnya.“Kamu kenapa, Nes?” tanya Mala sambil menoleh ke belakang. Melihat tak ada yang mencurigakan, gadis itu duduk di depan Aneska sambil mengangkat alis. “Hei, kamu kayak baru lihat hantu saja, Nes. Ada apa?”“Enggak ada apa-apa, La.”“Jangan boho
“Pa, kita pulang sekarang, ya? Nanti aku jelasin semuanya di rumah saja.”Aneska berusaha menarik lengan Andi sambil mencuri pandang kepada sang suami yang menatapnya dingin. Namun, sekeras apa pun usaha gadis itu, sang ayah tetap bergeming sambil melayangkan tatapan tajam kepada Elvano.“Jawab, elvan! Siapa dia?” tanya Andi sambil mengacungkan telunjuk ke wajah Mazaya.Elvano mendengkus kesal sebelum membuang pandangan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Dia enggan menanggapi sang mertua yang sudah terbakar amarah. Sementara, di sampingnya Mazaya menatap penuh ejekan Aneska dan Andi sebelum membuka mulut.“Aku adalah Mazaya, kekasihnya Mas Elvan. Dan sebentar lagi kami akan segera menikah.”Andi makin diperam amarah mendengar suara manja Mazaya. Tangannya terkepal dengan mata memerah menatap sang menantu.“Apa benar kata-kata dia, Elvan? Kenapa tiba-tiba begini? Memangnya apa salah Anes sampai kamu mau menikah lagi. Lalu, kamu anggap apa anakku?”Elvano menden
Hujan terus mengguyur, meskipun pemakaman Andi sudah selesai. Aneska masih bergeming di samping pusara sang ayah dengan mata bengkak karena kebanyakan menangis. Langit seolah-olah mengamini kesedihan yang menaungi salah satu anak adam karena kehilangan sosok pria yang membuatnya ada di dunia.“Maafin aku, Pa.”Aneska berulang kali mengucapkan kalimat itu sambil mengusap pusara Andi. Perasaan bersalah masih begitu besar bercokol dalam dadanya. Dalam riuhnya suara hujan, gadis itu melangitkan doa agar sang ayah tenang di sana.“Kita pulang, ya, Nes?”Suara itu menyentak gendang telinga Aneska. Dia baru sadar bahwa masih ada sosok Gavin yang setia menemani bahkan sejak semalam setelah berita kematian sang ayah. Gadis itu menggeleng lemah tanpa melepaskan tatapan dari makan di depannya.“Kamu enggak boleh begini, Nes. Papa kamu enggak akan balik lagi ke dunia. Kamu harus ikhlaskan kepergiannya. Sekarang kita pulang, ya?”Aneska kembali menggeleng. Dia biarkan tubuhnya basah di bawah
Mazaya bergegas melepaskan tangan yang melingkari lengan Arman. Dia langsung berdiri dan berusaha mendekati Elvano. Namun, amarah yang sudah kadung bercokol dalam dada membuat pria itu mundur selangkah sambil menatap jijik Mazaya.“Ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Mas. Ini cuma salah paham.”Elvano terkekeh mendengar ucapan wanita di depannya. Dia menggeleng lemah sambil bersedekap dan menyeringai. Lalu, kembali mundur ketika Mazaya berusaha mendekatinya. Telapak tangannya teracung sebelum membuka mulut.“Salah paham? Salah paham yang bagaimana maksudnya, Zaya?”Elvano menghela napas panjang sebelum menatap sinis wanita yang berdiri tak jauh darinya. Dia mencoba mengatur napas karena amarah yang terasa mengimpit dada. Usai meraup oksigen dengan rakus, pria itu membelakangi Mazaya dan membuka mulut.“Jelas-jelas aku mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kamu sudah merencanakan untuk menggodaku lagi dengan alasan tertentu. Itukah yang kamu sebut salah paham,
Dengan menahan sakit di sekujur tubuh serta nyeri yang menyerang bagian inti tubuhnya, Aneska memasuki kamar mandi dan menghidupkan shower. Lalu, bergeming di bawah guyuran air hangat sebelum luruh ke lantai yang dingin dengan sejuta luka menganga.Tak dapat digambarkan lagi bagaimana sakit dan perihnya hati gadis itu. Meskipun dirinya halal digauli sang suami, tetapi apakah harus dengan cara kasar serta menyebut nama wanita lain berulang kali.“Tega kamu, Mas. Apa sebenarnya salahku? Sampai hati kamu melakukan ini padaku.”Dalam ruangan lembab itu, Aneska terguguk sambil mendekap erat tubuhnya. Dia tak mampu lagi mengeluarkan sepatah kata pun sehingga hanya tangisan yang terdengar dari mulutnya. Setengah jam berlalu, gadis itu mulai keluar dari kamar mandi. Sambil menyeret langkah, Aneska beranjak ke lemari dan membukanya.Aneska bergeming di depan lemari sambil menatap tumpukan bajunya yang tak seberapa. Bayangan kejadian yang baru saja dialami kembali berkelebat di kepala. Gadi
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia