Hujan terus mengguyur, meskipun pemakaman Andi sudah selesai. Aneska masih bergeming di samping pusara sang ayah dengan mata bengkak karena kebanyakan menangis. Langit seolah-olah mengamini kesedihan yang menaungi salah satu anak adam karena kehilangan sosok pria yang membuatnya ada di dunia.“Maafin aku, Pa.”Aneska berulang kali mengucapkan kalimat itu sambil mengusap pusara Andi. Perasaan bersalah masih begitu besar bercokol dalam dadanya. Dalam riuhnya suara hujan, gadis itu melangitkan doa agar sang ayah tenang di sana.“Kita pulang, ya, Nes?”Suara itu menyentak gendang telinga Aneska. Dia baru sadar bahwa masih ada sosok Gavin yang setia menemani bahkan sejak semalam setelah berita kematian sang ayah. Gadis itu menggeleng lemah tanpa melepaskan tatapan dari makan di depannya.“Kamu enggak boleh begini, Nes. Papa kamu enggak akan balik lagi ke dunia. Kamu harus ikhlaskan kepergiannya. Sekarang kita pulang, ya?”Aneska kembali menggeleng. Dia biarkan tubuhnya basah di bawah
Mazaya bergegas melepaskan tangan yang melingkari lengan Arman. Dia langsung berdiri dan berusaha mendekati Elvano. Namun, amarah yang sudah kadung bercokol dalam dada membuat pria itu mundur selangkah sambil menatap jijik Mazaya.“Ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Mas. Ini cuma salah paham.”Elvano terkekeh mendengar ucapan wanita di depannya. Dia menggeleng lemah sambil bersedekap dan menyeringai. Lalu, kembali mundur ketika Mazaya berusaha mendekatinya. Telapak tangannya teracung sebelum membuka mulut.“Salah paham? Salah paham yang bagaimana maksudnya, Zaya?”Elvano menghela napas panjang sebelum menatap sinis wanita yang berdiri tak jauh darinya. Dia mencoba mengatur napas karena amarah yang terasa mengimpit dada. Usai meraup oksigen dengan rakus, pria itu membelakangi Mazaya dan membuka mulut.“Jelas-jelas aku mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kamu sudah merencanakan untuk menggodaku lagi dengan alasan tertentu. Itukah yang kamu sebut salah paham,
Dengan menahan sakit di sekujur tubuh serta nyeri yang menyerang bagian inti tubuhnya, Aneska memasuki kamar mandi dan menghidupkan shower. Lalu, bergeming di bawah guyuran air hangat sebelum luruh ke lantai yang dingin dengan sejuta luka menganga.Tak dapat digambarkan lagi bagaimana sakit dan perihnya hati gadis itu. Meskipun dirinya halal digauli sang suami, tetapi apakah harus dengan cara kasar serta menyebut nama wanita lain berulang kali.“Tega kamu, Mas. Apa sebenarnya salahku? Sampai hati kamu melakukan ini padaku.”Dalam ruangan lembab itu, Aneska terguguk sambil mendekap erat tubuhnya. Dia tak mampu lagi mengeluarkan sepatah kata pun sehingga hanya tangisan yang terdengar dari mulutnya. Setengah jam berlalu, gadis itu mulai keluar dari kamar mandi. Sambil menyeret langkah, Aneska beranjak ke lemari dan membukanya.Aneska bergeming di depan lemari sambil menatap tumpukan bajunya yang tak seberapa. Bayangan kejadian yang baru saja dialami kembali berkelebat di kepala. Gadi
Elvano meraup kasar wajahnya setelah dihantam badai kehilangan atas kepergian Aneska. Ya, istri yang sama sekali tak pernah diinginkannya itu berhasil memutar balik dunianya hanya dalam waktu sekejap. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hatinya. Dia bangkit dan meninggalkan kamar yang ditempati Aneska dalam kesendirian selama lima bulan itu dengan beban berat di pundak.Elvano membawa langkah beratnya menuju kamarnya sendiri, menghidupkan lampu, dan mengikis jarak dengan ranjang. Namun, langkah pria itu terhenti kala kakinya menginjak sesuatu. Dia menunduk dan memungut sebelum membentangkannya. Sekejap mata hatinya kembali perih melihat baju Aneska sudah koyak tak berbentuk.“Apa ini? Kenapa bisa robek begini?” tanya Elvano dengan dahi berkerut dalam.Pria itu mengempaskan tubuh lelahnya ke ranjang sambil terus menatap baju Aneska yang koyak. Dia menghela napas panjang, menunduk dalam sambil memejamkan mata dan berusaha untuk memutar kembali ingatan tentang kejadian semalam.Sa
“Anes memang enggak cerita apa-apa sama aku, Mas bule. Tapi dari sikap dan omongannya selama lima bulan ini, aku bisa menangkap bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua. Anes memilih untuk menyimpan semuanya sendiri, alih-alih ngomong sama aku.”Elvano tak mampu lagi berkata-kata. Lidahnya kelu mendengar semua ucapan Mala. Dia menyugar rambut dan mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi sambil memejamkan mata.“Meskipun aku sama Anes sudah temenan lama, tapi kita enggak mau ikut campur urusan pribadi kecuali salah satu di antara kita ngomong jujur.”Rasa penyesalan dan bersalah bergumul dalam dada Elvano hingga mencipta perih. Dia menggeleng lemah, menghalau semua sebah dalam hati. Namun, sesal makin erat mencengkeram dadanya.“Selama ini Anes selalu ceria seperti biasa, makanya agak kaget juga pas tahu dia pergi dari rumah. Tapi, syukurlah kalau begitu. Anes pasti punya alasan karena memilih untuk menyerah.”“Bisa tolong hubungi Anes dan tanyakan di mana dia sekarang?”“Maa
“Halo, Vin. Ada apa?”Gavin terkejut mendengar suara Elvano. Spontan, dia mematikan panggilan dan menatap lekat Aneska yang tertidur pulas. Dia menghela napas berat dan meraup wajah ketika kalimat racauan terakhir yang diucapkan gadis itu kembali terngiang di telinga.“Sadar, Mas. Aku Anes bukan Zaya. Jangan ... sakiiit.”Dalam keadaan tidak sadar pun gadis itu masih sempat mengigau tentang perbuatan yang dilakukan suaminya. Sekarang Gavin tahu siapa yang telah membuat Aneska begitu terluka. Darahnya menggelegak seketika. Dadanya bergemuruh hebat dengan tangan terkepal erat. Amarah menguasai diri, tetapi langsung lindap karena ingat kondisi Aneska.“Enggak, aku enggak boleh gegabah. Sekarang yang terpenting sembuhkan Anes dulu, baru buat perhitungan sama Mas Elvan.”Gavin mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi dan menengadah. Dia menyugar rambut dan mengembuskan napas kasar mengingat apa yang telah dilakukan sang kakak. Tepat saat itulah ponsel Gavin berdering nyaring. Dokter pria
“Bawa aku pergi dari sini, Mas. Aku mohon.”Meskipun lirih, Gavin masih bisa mendengar suara lemah Aneska. Dia bergeming sejenak sebelum terkejut melihat gadis yang ada dalam pelukannya tenggelam dalam kegelapan. Dengan perlahan, dokter pria itu membaringkan Aneska dan menyelimutinya. Dia tatap lekat wajah pucat gadis itu sebelum mengusap rambutnya.“Aku janji akan membawamu pergi dari sini, Nes. Ke mana pun kamu mau, aku akan mengantarmu.”Tepat saat itulah ponsel Gavin berdering nyaring. Melihat nama Viona yang terpampang di layar, dia menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan.“Iya, Oma.”“Kamu enggak pulang lagi, Vin? Sudah tiga hari kamu nginep di rumah sakit, kamu baik-baik saja, kan?”“Gavin baik-baik saja, Oma. Jadwal makin padat, makanya daripada capek bolak-balik mendingan Gavin nginep di sini saja. Jangan bilang Oma kangen, ya?”Terdengar suara Viona terkekeh di seberang telepon. “Iya, Oma kangen sama kamu. Rasanya ada yang kurang kalau kamu enggak ada di rum
Elvano berdecih lirih sambil mengayun langkah mendekati orang yang sejak tadi menunggunya. Dia menghela napas panjang ketika sudah berdiri di depannya.“Kamu kenapa ke sini, Zaya? Bukankah ini sudah terlalu malam?”“Aku tahu, Mas. aku kangen sama kamu.” Mazaya mendekat dan langsung memeluk erat Elvano.Elvano bergeming. Jika biasanya pesona Mazaya begitu memabukkan, tetapi tidak kali itu. pria itu perlahan melerai pelukan dan menjauhkan tubuhnya dari wanita di depannya. Saat Mazaya akan mendekat, telapak tangan kanannya teracung.“Pulanglah, Zaya. Aku sangat lelah hari ini.”“Tapi, Mas. Aku kangen banget sama kamu. Sebentar saja aku di sini, ya?”“Enggak! Pulanglah sebelum aku memanggil satpam untuk menyeretmu keluar!”Mazaya mengentakkan kaki ke lantai sambil bersedekap. Dia mengerucutkan bibir sambil membuang pandangan. Namun, melihat sikap Elvano yang tetap dingin, Mazaya makin kesal.“Kamu kenapa, sih, Mas? Biasanya kamu senang kalau ketemu aku. Kenapa sekarang beda? Apa s