“Butuh sesuatu, Mas?” tanya Aneska sambil memasang senyum semringah.Di depannya Elvano berdiri dengan tatapan dingin. Masih tampak jelas bekas jejak kesedihan yang menumpuk di mata sebening madu milik istrinya. Namun, merasakan ponselnya terus saja bergetar, pria itu segera berbalik dan memasuki kamarnya untuk menjawab panggilan.“Iya, Zaya. Ada apa?”“Mas sudah sampai rumah?”“Iya, baru saja. Kenapa? Kangenkah? Bukankah baru saja kita bertemu?”“Ih, Mas Elvan bisa saja. Iya, aku selalu saja kangen sama kamu. Rasanya enggak mau pisah.”“Sabar, Zaya. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya.”“Bener, ya? Awas saja kalau kamu bohong. Jangan sampai gadis kampungan itu membuatmu melupakan aku.”“Tentu tidak, Zaya. Cintaku hanya untukmu seorang.”Mazaya terdengar tergelak di ujung telepon. “Ya, sudah, Mas. Selamat istirahat, have a nice dream.”Elvano terkekeh sambil menggeleng sebelum memutus panggilan. Lalu, mengempaskan tubuh ke ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Aneska mengernyit heran. Dia hendak membuka mulut, tetapi suara Mala segera mengalihkan perhatiannya.“Nes, bukannya itu suami bule kamu, ya? Sama siapa dia? Kok, kelihatan mesra banget, sih.”Aneska berusaha melongok melewati punggung Gavin. Namun, pria itu menggeser tubuhnya hingga menutupi penglihatan kakak iparnya.“Minggir, Mas. Aku mau lihat. Apa benar itu Mas Elvan."“Enggak usah, Nes. Lebih baik kamu cepat pulang, kan? Takutnya Mas Elvan sudah nungguin.”Aneska mendengkus kesal karena terus dihalangi pandangannya. Dia mencebik sebelum menggeser paksa tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming. Dia bahkan memaksa Aneska untuk berbalik dengan memegang kedua bahunya.“Lepasin, Mas!” seru Aneska sambil berusaha melepaskan tangan Gavin. “Aku mau lihat untuk memastikan apa benar itu Mas Elvan.”“Kamu yakin, Nes?”Melihat Aneska mengangguk, Gavin perlahan melepaskan tangannya. Dia menyingkir sambil terus menatap dan memperhatikan ekspresi gadis di depannya. Sementara itu, Aneska
“Memangnya apa yang sudah terjadi, Mas? aku benar-benar tidak tahu apa-apa?”Elvano enggan menjawab pertanyaan Aneska. Dia memilih bungkam dan melepas jas sebelum melemparnya ke keranjang. Lalu, mengempaskan kasar tubuhnya ke tepi ranjang sambil mengusap sudut bibir sebelah kiri.“Boleh aku lihat, Mas?” tanya Aneska sambil mengikis jarak dan berjongkok di depan suaminya.“Enggak usah. Keluarlah!”“Tolong sekali saja izinkan aku mengobatinya, Mas. Aku enggak mau nanti lukanya malah jadi infeksi.”“Terserah.”Aneska kembali berdiri dan berlari ke dapur untuk mengambil kotak obat. Lalu, menemui Elvano dan kembali berjongkok di depannya. Dengan perlahan, dia memalingkan wajah sang suami agar menatapnya, kemudian membersihkan lebam dan sudut bibir yang robek sebelum mengoleskan salep luka.“Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Mas? Mas berantem, ya? Sama siapa kalau boleh aku tahu?”“Keluarlah!”Aneska menghela napas panjang dan memilih menuruti perintah suaminya. Dia membawa langka
Hati istri mana yang tidak akan terluka mendengar bahwa suaminya akan menikahi wanita lain. Begitu juga dengan Aneska. Di mulut dia bisa mengumbar senyum dan bilang baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah remuk tak berbentuk lagi. Sejak awal menikah, Aneska sudah menanamkan diri agar sadar statusnya dinikahi untuk apa. Namun, mengetahui kenyataan yang diucapkan sang suami, benar-benar membuatnya sangat terluka.Setelah kejadian semalam, gadis itu masih bersikap seperti biasa. Dia masih menyiapkan makan dan baju ganti untuk Elvano. Tak bisa dipungkiri sakit yang meremukkan hatinya, tetapi sebisa mungkin dia simpan rapat hingga tak ada seorang pun yang tahu termasuk suaminya.Senin pagi yang cerah, Aneska dan Elvano sudah duduk di meja makan sambil menghadap sarapannya masing-masing. Tak ada kata yang terucap hingga Aneska memberanikan diri untuk membuka mulut.“Aku izin ke kampus sama rumah Papa nanti, Mas.”“Hem.”Elvano bergegas menyelesaikan makan dan bangkit. Lalu, melang
Gavin dan Aneska kompak menoleh mendengar suara Viona. Gavin segera mendekati sang nenek dan merangkul pundaknya, kemudian membawanya ke meja makan. Sementara itu, Aneska meneruskan mencuci piring sambil menajamkan telinga untuk mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan adik iparnya. dengan sang nenek.“Masa lalu Mas Elvan, Oma. Anes, kan, tahu kalau Mas Elvan pernah patah hati dan menutup diri dari yang namanya cinta. Makanya maklumi saja kalau sikapnya masih suka dingin dan kaku sama wanita. Tapi, Gavin yakin Anes pasti bisa mengubah Mas Elvan jadi lebih hangat.”“Kamu betul sekali, Vin. Tapi, selama ini sikap Elvan sudah mulia berubah, kok. Dia juga kelihatan sangat menyayangi Anes.”“Kadang apa yang terlihat tidak seperti aslinya, Oma.”Aneska sontak menoleh dan melayangkan tatapan tajam kepada Gavin. Sementara, Viona menjewer pria itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan.“Jangan suka menilai orang lain, Vin. Masih mending Elvan mau mencoba mengenal wanita. Lha, kamu sendir
“Perutku sakit banget, Mas. Hari ini adalah pertama aku PMS, memang biasanya begini.”Elvano masih menatap dingin Aneska, tanpa berkeinginan untuk membantunya berjalan menuju kamar. Dia berjalan di belakang gadis itu dan mendesah lirih sebelum memilih berlalu ke kamarnya. Namun, gerakannya untuk membuka pintu terhenti ketika mendengar suara Aneska. Tampak wajah gadis itu memucat dengan keringat dingin membasahi dahinya.“Malam ini makannya pesan saja enggak apa-apa, kan, Mas? perutku benar-benar sakit banget.”“Hem.”“Maaf, ya, Mas. Kalau begitu aku istirahat dulu.”Elvano masih bergeming sambil menatap sang istri yang masuk lebih dulu. Dia mendesah lirih sebelum masuk kamar untuk mengambil kunci mobil dan jaket dan kembali keluar. Perlahan, dia membawa kendaraan roda empatnya meninggalkan pekarangan rumah menuju salah satu kafe yang terletak di pusat kota. Lalu, memesan makanan dan minuman begitu sampai di sana.Ketika sedang menikmati makanan di depannya, suara seseorang terde
Elvano bergegas melajukan kendaraan roda empatnya kembali ke kantor setelah menutup telepon. Percakapannya dengan orang dari seberang telepon tadi kembali terngiang di telinga.“Maaf, Pak. Mbak Anes hampir pingsan dan sekarang ada di ruangan Bapak bersama Ibu Viona.”Elvano tergesa-gesa kembali ke kantor bukan karena khawatir dengan sang istri, tetapi kedatangan sang nenek yang tiba-tiba membuatnya berada dalam masalah besar jika ketahuan mengabaikan Aneska. Tak ingin membuat wanita tua itu terlalu lama menunggu, Elvano menekan kuat pedal gasnya agar segera sampai ke kantor. Lalu, setengah berlari kembali ke ruangannya.Elvano terengah-engah begitu sampai di depan pintu ruangannya. Dia bergeming sesaat untuk mengatur napas sebelum membuka pintu. Lalu, dua wanita yang sedang duduk di sofa langsung memenjarakan matanya. Tampak Viona mengusap lengan Aneska yang sedang meneguk air dari gelas.“O-Oma? Sedang apa di sini?” tanya Elvano sambil mengikis jarak dan duduk di sofa. Tatapannya
Elvano bergegas melajukan mobilnya menuju rumah Mayaza. Pikirannya berkecamuk hebat mendengar wanita itu merajuk. Tak ingin makin membuat Mazaya makin marah, Elvano segera menekan pedal gas agar segera sampai di rumahnya.“Zaya, buka pintunya! Plis, maafin aku!”Lima menit berselang, pintu di depannya masih bergeming. Pria itu kembali mengetuk pintu dan memanggil sang empunya rumah. Tak lama berselang, terdengar kunci diputar dan pintu dibuka. Dengan wajah ditekuk, wanita itu menatap Elvano sekilas sebelum berbalik dan berlalu. Namun, langkahnya tertahan ketika pria itu mendekat dan segera memeluknya dari belakang.“Maafin aku, Zaya. Aku percaya kata-kata kamu, kok. Jangan marah lagi, ya?”"Tapi tadi kata-kata Mas seolah-olah meragukanku.""Sekarang aku percaya semua kata-kata kamu, Zaya."Elvano menyematkan kecupan di pipi Mazaya sebelum membalik tubuh agar menghadapnya. Dia menangkup wajah wanita itu dan mencium bibirnya sekilas. Lalu, seutas senyum tipis disematkan Mazaya di bi