7. Kurang Kasih Sayang

Brandon memberi kode pada Ian untuk pergi. Ia menggenggam tangan Gracia dan menuntunnya masuk ke dalam lift. Akhirnya, Ian mengikuti setelah sebelumnya memberikan tatapan peringatan pada para karyawan yang mengusik Kelly.

Sebenarnya, Gracia masih sangat penasaran. Tetapi, ia harus memakai strategi untuk mengetahui apa yang terjadi pada Brandon selama ia pergi. Wanita cantik itu menatap Brandon dengan penuh cinta.

Keduanya larut dalam kerinduan. Saling berbalas ucapan dan sentuhan sayang. Hingga akhirnya Ian tak tahan untuk tidak protes.

“Ehm!” ian berdehem keras. “Bisakah kalian tidak bermesraan di depanku?”

“Ada apa denganmu, Ian? Gracia membalas keluhan sahabat Brandon. “Sejak pagi, sepertinya wajahmu terlihat tegang terus.”

Ian mendengus kasar, lalu menyindir Gracia. “Bagaimana tidak tegang jika tiba-tiba ada yang datang tanpa kabar dan dengan keras kepala tetap menginginkan posisi wakil CEO?”

“Cukup, Ian!” sentak Brandon tegas.

Setelah berdecak kesal, Ian keluar saat pintu lift terbuka. Ia sengaja mengendarai mobil agar Brandon dan Gracia duduk terpisah. Brandon kini duduk di kursi depan bersama Ian sedangkan Gracia di kursi belakang.

“Kita makan di mana, sayang?” Gracia bertanya pada Brandon.

“Rooftop hotel The Lavender.”

Gracia terlonjak senang mendengar jawaban singkat Brandon. Restoran itu sedang trend. Pemiliknya adalah Adeena Maldeva Richmont, salah satu kakak Brandon. Ia bisa sekalian mendekatkan diri dengan Kak Deena.

Mereka disambut pelayan yang membukakan pintu. Udara segar dengan wewangian bunga lavender menyerbu penciuman. Ian memilih duduk di depan kaca besar yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi.

Brandon langsung pergi ke sebuah ruangan setelah berbincang sebentar dengan manager restoran. Gracia menduga Brandon akan menemui kakaknya.

“Apa Kak Deena sedang ada di sini?” Gracia mengamati perginya Brandon.

“Kalaupun ada, ia pasti sedang sibuk.” Ian menyahut sambil memperhatikan buku menu.

“Oke. Mumpung tidak ada Brandon. Katakan, apa masalahmu padaku.” Gracia memicingkan matanya pada Ian.

Ian menatap Gracia sekilas lalu kembali mengamati buku menu. “Sejujurnya, aku curiga dengan kemunculanmu. Kamu yang harusnya bercerita, apa sebenarnya yang kamu lakukan di negara ini sekarang.”

Setelah pelayan mencatat menu pilihannya dan pergi, Ian menatap Gracia. Wanita itu tampak tidak memperdulikan pernyataannya barusan. Ia malah asyik berfoto-foto selfie.

“Bukankah riskan kamu memajang foto di media sosial? Badan penyelidik jadi tau bahwa kamu sudah kembali ke negara ini.” Sekali lagi, Ian mengeluarkan kalimat sarkasnya.

Gracia akhirnya terpancing. Ia meletakkan ponselnya di meja lalu balas menatap Ian.

“Kupikir dua tahun kita tidak bertemu, kamu sudah lebih dewasa dan bijaksana. Ternyata masih suka marah-marah tak jelas.” Gracia mencebikkan bibirnya.

“Katakan saja apa yang membuatmu kembali, Gracia.”

“Tentu saja karena Brandon.”

“Brandon atau uangnya?”

Pernyataan menohok itu membuat wajah Gracia merah. Wanita itu memilih mendengus kasar dan tidak melanjutkan pembicaraan. Untuk saat ini sebaiknya ia mengalah saja.

Sementara itu, Brandon menemui kakaknya di ruang kerja restoran. Deena sedang duduk menghadap laptopnya saat Brandon masuk.

“Kak Deena, Manager Hans bilang kakak ingin bicara?”

Deena mengangguk. “Duduklah.” Deena kemudian menutup laptopnya dan menatap sang adik. “Wanita itu benar-benar telah kembali.”

“Wanita itu memiliki nama, Kak. Gracia.” Brandon menyahut.

“Malas kakak menyebut namanya. By the way, kenapa Kelly tidak diajak?”

“Kenapa harus diajak?” Brandon menjawab dengan melontarkan pertanyaan.

Deena mencondongkan tubuhnya ke depan sang adik. Sejak kecil, Brandon memiliki sifat yang berbeda dari kakak-kakaknya. Sangat aktif, tidak suka bersosialisasi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Dengan banyaknya perbedaan, sulit memahami sifat Brandon. Granny Eliza sampai berkali-kali berkonsultasi ke psikolog anak dan Brandon harus mengikuti berbagai macam terapi perkembangan sosial emosi.

“Bagaimanapun juga, Kelly yang membantu kita untuk mencairkan dana perwalianmu, Brandon. Berbaik-baiklah dengannya.” Deena menjawab pertanyaan Brandon. “Lagipula, aku rasa Kelly adalah wanita yang baik.”

“Wanita yang mau saja dinikahkan dengan lelaki tak dikenal itu, baik?” Brandon mencebikkan bibirnya.

“Awalnya, aku pikir juga begitu. Tetapi setelah mendengar cerita Granny bahwa Kelly bahkan tidak menuntut sejumlah uang dari dana perwalianmu, aku rasa ia wanita yang berbeda.”

Namun bagi Brandon, Kelly tetaplah wanita yang bisa merusak hubungannya dengan sang tunangan. Ia juga kesal, Kak Deena malah membela Kelly dibanding Gracia.

“Paling tidak, berhati-hatilah pada kemunculan Gracia.”

Brandon mengembuskan napas berat. Sejak dulu, keluarga Richmont memang menduga bahwa Gracia mengincar harta mereka. Wanita itu bahkan memilih tidak cepat menikah dengan Brandon agar dana perwalian jatuh ke yayasan sosial yang ternyata milik keluarga Gracia.

Granny Eliza menebak, jika Gracia menikahi Brandon, ia belum tentu mendapat bagian yang banyak karena keluarga Richmont terbiasa memberlakukan perjanjian pisah harta dengan pasangan masing-masing.

Terutama karena kini keluarga Gracia tersandung masalah korupsi.

“Kakak tau, Gracia selama ini adalah wanita yang perhatian padaku. Dia yang selalu ada saat aku sedang terpuruk.”

Deena tersenyum miris. Keluarga Richmont memang sangat sibuk dengan urusan masing-masing hingga saat Brandon remaja hingga dewasa, lelaki itu menjadi sosok yang kurang kasih sayang keluarga. Saat itulah Gracia menawarkan kehangatan yang Brandon butuhkan.

“Maafkan kami. Masa itu kami benar-benar bingung bagaimana menghadapimu.”

“Yaah ... terus-terang, sampai sekarang pun aku masih bingung. Rasanya belum ada seorang pun yang mengerti tentang diriku ini.”

Deena menatap prihatin sang adik. “Apa kamu masih butuh bertemu psikolog?”

“Sepertinya, yang aku perlukan adalah partner hidup yang bisa menerima keadaanku.”

Deena menggeleng samar. “Gracia bukan wanita yang tepat.”

“Lalu, siapa? Kelly?”