"Deal," ucap Javas menggigit potongan steak sapi terakhir dari piringnya. "Papi sudah baca artikel yang memuat tentang karir kamu?" seru Papinya Javas yang menghentikan gerakan Javas. "Sejak awal kamu terlalu idealis sampai menolak tawaran Papi tapi apa yang kamu lakukan sekarang, Papi pikir itu lebih mengarah mewujudkan mimpi kamu. Dengar! bisnis startup mungkin ide yang brilian tapi akan mudah tertinggal tanpa sokongan dan suntikan dana yang besar apalagi negara kita sedang mengalami retensi. Kegiatan pergi wisata itu jadi pilihan terakhir untuk menghamburkan uang. Apa kamu masih belum paham juga, Jav?" "Itu semua bagian dari proses dan resiko yang harus aku ambil kan Pi, apapun hasilnya nanti yang jelas aku cukup bangga sama diriku sendiri meski aku tahu ini bukan hasil kerja keras ku sendiri ada banyak teman dan pegawai yang membantu." Papi Javas tertawa kecil, "Padahal akan lebih mudah kalau kamu nurut sama Papi seperti kakak kamu, walaupun posisi Papi ngga sekuat dulu setidak
"Beri aku waktu, tolong." Javas tak menjawab, ia memilih sibuk menyalakan TV dan mulai memilih lagu yang akan diputar. Zehra menaruh bantal kecil untuk menutupi pahanya yang tersingkap karena roknya yang sudah cukup ketat harus tertarik ke atas saat dia duduk. Mengabaikan tatapan lekat Javas yang melihatnya."Karena kamu ngga bisa nyanyi kamu cukup mendengarkan aku nyanyi, ok!" Zehra terkesima menyaksikan Javas yang ternyata memiliki suara berat dan merdu walaupun belum dikatakan sempurna tapi Javas begitu menjiwai lagu barat yang ia pahami jika lagu itu menceritakan tentang curahan hati seseorang yang selalu disalahkan dan dijadikan cadangan meski ia sudah memberi segalanya tentang ego yang terluka karena tak cukup dihargai.Javas menoleh pada Zehra yang sedari tadi menatapnya dalam, tertegun sejenak saat mata Zehra yang sendu tersenyum menenangkan dengan gerakan ragu tangan gadis itu terulur pada pundaknya mengusap lembut sembari tersenyum manis. Gadis itu seperti ingin mengatak
Zehra masih termenung terpaku di tempatnya. Kepalanya tak berani bergerak sedikit pun. Membersihkan diri bersama? Apakah ini cara lain dalam melayaninya? la ingat ketika Javas menciumnya di ruang karaoke pria itu dan di kamar hotel.Mencumbunya dengan cara yang tidak pernah dirasakan Zehra selama ini ia berpacaran tidak pernah diberi sentuhan yang begitu intim. Bukan hanya sekedar berciuman bibir. Javas mencium lehernya, dan dadanya. Dan ia yakin, malam ini seluruh kulit di tubuhnya akan disentuh oleh pria itu. Itulah sebabnya Javas menyuruhnya untuk mandi."Apa kamu akan terus duduk terbengong di tempat itu sepanjang malam?" sergah Javas tak sabaran melihat Zehra yang bukannya gegas meraih tangannya, malah berdiri mematung di tempat.Zehra tergelagap, matanya mengerjap dua kali. "Aku akan mandi duluan, aku mandinya cepat kok." dan Zehra langsung bergegas ke pintu kamar mandi dengan setengah berlari. Mengunci pintu tersebut rapat-rapat, seolah itulah satu-satunya sekat yang bisa menol
Tok...tok"Mbak, permisi.""Iya sus, sebentar.""Maaf Mbak tapi dokternya sudah datang untuk berkunjung"Zehra lekas membuka pintu dan langsung mendapatkan tatap kaget dari seorang dokter paruh baya dengan kacamata tebalnya dan juga dua dokter jaga yang mulai ia kenal."Maaf, dok" sapa Zehra meringis karena tak pandai membuka percakapan."Adik ini, anak dari Bapak Deris, yah?""Iya, dok Saya Zehra anak kedua papah, jadi gimana dok, perkembangan papah Saya""Yah, belum ada perkembangan lebih dong dik Zehra, karena Pak Deris belum diambil tindakan dalam hal ini operasi untuk mengangkat satu ginjalnya yang sudah tidak berfungsi malah akan jadi masalah baru kalau dibiarkan lebih lama, nak"Zehra mengangguk sesekali ia melirik pada dokter wanita yang tadi memanggilnya, dr. Betharia atau biasa dipanggil dr.Ibeth."Iya, saya paham dr. Sebenarnya baru saja saya pergi ke kasir untuk menyelesaikan administrasi dan pembayarannya. Jadi apa bisa dioperasi secepatnya dr?""Kalau begitu biar kami p
"Apa yang akan gue lakukan? Entahlah Jav, gue belum punya rencana apapun bahkan gue tau kalau sekarang gue kalah cepat dari lo," Theo spontan menoleh pada Javas yang tengah memicingkan matanya, bahkan bisa dilihat tubuh Javas yang tampak siaga. “Jadi maksud lo. Lo suka sama Lyra?”“Jav,” sambar Theo yang lantas kikuk karena tak benar tahu akan bicara apa, dia hanya meringis mendapatkan dua pasang tatapan yang menunggunya bicara.“Maksud gue, buat sekarang itu bukan hal penting yang harus dibahas, Lo tahu ‘kan El nggak seserius itu. Jadi kita ganti topik nya, ok!...soal orang tua lo apa mereka tau hal ini, Jav?”“Kenapa juga harus bahas mereka sih?”Theo memajukan tubuhnya, menaruh kedua tangannya di atas lutut. “Buat gue penting, biar seandainya nanti mereka menanyakan kesibukan lo, dan lo lagi berduaan sama cewek itu, gue jadi tau apa yang harus gue jawab.”“Keluarga Sastro yang complicated sekaligus fenomenal.” gumam Elkan yang jelas terdengar oleh ketiganya.“Shut up, El!” sambar
Javas melangkah lebar-lebar lengkap dengan raut wajah tegang lalu melempar undangan asal ke arah sofa panjang yang berada di tengah ruang besar, ia menoleh mendapati Zehra yang berdiri di dapurnya bersama alat masaknya, tengah terdiam mereka berbalas tatap, Javas yang mengakhiri duluan ia berjalan menuju kamarnya miliknya untuk membersihkan diri.Zehra menghempaskan napasnya panjang, akan sikap Javas yang berubah drastis, ia kembali menuangkan telur yang sudah di kocok di atas pan yang sudah diberi margarin lalu menaruh satu lembar roti kupas dan ikan tuna kaleng yang berbentuk lembaran tepat di atas telur yang hampir matang lalu tutup lagi dengan roti kupas kemudian di balik dan sdikit di tekan agar cepat matang merata ia melakukan hal yang sama hingga mendapat tiga porsi.Zehra tersenyum bangga, setidaknya ia berhasil memasak menu makan malam yang mengandung protein dan karbo dari roti gandum kupas. Ia mengedarkan pandangan lalu menggelengkan kepalanya. Pasalnya di dapur yang sebag
*** Belum sempat Zehra memejamkan matanya, dering ponsel mengganggu Zehra yang terlelap tidur. Sekilas melihat deretan nomor di layar membuatnya otomatis menggeser ke tanda merah lalu kembali menutup mata. Ponselnya berdering lagi. Dengan enggan, Zehra menerima panggilan tersebut. "Halo! Siapa ini?" tanya Zehra ketus. "Apa kamu serius nggak kenalin suara aku? Bukannya kamu udah pernah menghubungi aku di nomor yang sama?" tanya orang di seberang sana dengan nada tersinggung. "Nggak! Aku nggak tahu dan aku nggak menyimpan nomor orang nggak penting," jawab Zehra kesal. Tuttt... tuttt... tuttt. Zehra dongkol mendengar nada panggilan terputus di screen ponselnya. "Ya ampun, siapa sih, orang yang iseng nelpon jam segini? Aku butuh tidur lagi sebelum kerja rodi nanti malam!" gerutu Zehra lalu merebahkan diri kembali di atas tempat tidur. Jelang beberapa menit, tone sebuah pesan masuk membuat Zehra kembali menengok ponselnya. Temui aku di apartmenku jam delapan malam! Aku berubah pikir
Zehra membuang wajahnya kesal, merasa bodoh sudah begitu percaya diri. Lain kali ia harus pastikan Javas menyetujuinya.Javas hanya tertawa kecil, "Sebaiknya kamu menurutiku agar semuanya lebih mudah jika nggak mau melibatkan orang lain."Zehra mengerutkan keningnya, sedetik kemudian air mukanya berubah. "Apa yang kamu maksud dengan melibatkan orang lain?""Well, menurutmu bagaimana aku bisa menemukanmu secepat dan seakurat ini?"Zehra menggeleng kecil dan ia mulai kesal. "Mana aku tahu! Jadi gimana caranya kamu bisa tau aku ada disini dan dapat alamat temanku?""Teman wanitamu yang rambutnya di cat warna pirang,""Gista, apa dia yang kamu maksud?""Aku nggak ingat namanya, yang jelas Theo bilang padaku kalau dia temanmu yang bekerja sebagai barmaid di club malam yang sama kamu,""Gimana kalian bisa bertemu?""Aku kira kamu sedang bekerja sebagai pemandu karaoke lagi, aku memesan kamu sama Bosmu, tapi dia malah memberikan ku, temanmu itu dan buntungnya aku, karena dia mengaku mengenal