Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang.
Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron.
Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu.
“Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak.
Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya.
“Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles.
Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sinis Aaron meledek membuat wajah Ayana memerah ditengah udara dingin malam ini.
Jelas-jelas kau yang muncul tiba-tiba.” Oh mulut tajam Ayana tentu saja tidak akan mau kalah.
“Lalu kenapa kau kesini? Kau tidak lihat lorong ini sangat sepi?” Tanya Aaron seolah-olah akan membuat Ayana takut.
Ayana memutar kedua bola matanya sebelum berbalik dan berjalan kembali menuju ruangan perawatan.
“Kau sudah boleh pulang.” Tandas Ayana, lupa akan niatnya untuk berterima kepada Aaron tadi.
Hening untuk beberapa saat. Lorong gelap itu semakin membuat bulu roman Ayana merinding meski pun ia sudah sering menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya mendekati ruangan bocah kecil tadi.
Sudah beberapa detik berlalu namun masih juga tak ada jawaban dari Aaron.
Ayana melipat kedua tangannya, memejamkan matanya sekilas sebelum berbalik menatap Aaron. Pria itu sudah duduk disalah satu kursi didepan ruangan itu.
“Kau akan duduk disitu sepanjang malam?” Balas Ayana membuat Aaron mengangkat alisnya kesal.
“Pulanglah, kau sudah tidak punya urusan disini.” Usir Ayana lalu kembali menatap pada ruangan didalamnya.
Aaron mengangkat pergelangan tangannya dan menatap jam tangan mahal yang di pakainya sudah menunjukkan waktu setengah dua belas malam.
“Kelihatannya dia baik-baik saja, aku akan mengantar mu pulang.” Ucap Aaron yang sontak berdiri menjulang tinggi dibelakang Ayana membuat gadis itu nyaris berteriak.
“Aku perlu berbicara dengannya, selain itu aku perlu menemui Matthew setelah dia tenang.”
“Oh kau suka mengurus hidup orang lain.” Ucap Aaron membuat Ayana sontak menoleh dan menatapnya tajam.
Aaron tersenyum smirk menatap kekesalan pada mata Ayana, oh ia suka posisi mereka berdiri sekarang.
“Sebaiknya kau pulang jika tidak suka mengurus hidup orang lain, tuan Xavier.” Dorong Ayana berusaha menjauhkan Aaron dari dekatnya. Pesona pria itu mungkin akan segera membuatnya mencair.
“Aku harus mengantar mu pulang jika tidak Henry akan...”
“Apa kau tiba-tiba takut dengan kakakku?” Ayana membawa tatapan meledeknya pada Aaron. “Cih... Ini tidak seperti dirimu yang kemarin.” Sindir Ayana.
“Dengar gadis kecil, aku tidak pernah takut pada siapapun!” Aaron menarik tangan Ayana dan sedikit menekannya, memberikan gadis itu sedikit intimidasi.
“Kalau begitu pulanglah!” Jawab Ayana tanpa ketakutan.
“Bagaimana kau akan pulang?”
“Kekasihku akan menjemputku, jadi sebaiknya kau menghilang dari sini.” Ucap Ayana berhasil membuat Aaron cukup kaget.
Oh baiklah, gadis ini lagi-lagi menolaknya. Dan ia punya seorang kekasih. Oh damn, Aaron suka ini. Sebuah tantangan.
“Kekasih yang baik.” Aaron tertawa tanpa melepaskan tangannya, ia justru menarik Ayana semakin dekat padanya.
“Bagaimana jika ia bertemu dengan ku?” Tanya Aaron dengan wajah begitu dekat dengan Ayana. “Apa dia tahu kemarin kau tidur dengan ku?” Tandas Aaron membuat bola mata Ayana membulat.
“Kau mengancamku?!” Bisik Ayana tertekan.
Aaron menggeleng kecil sebelum tersenyum. “Karena itu jangan biarkan ia bertemu dengan ku, aku akan mengantar mu pulang.”
Ayana menelan salivanya kesal, ia terdiam beberapa detik demi memikirkan sebuah ide.
“Tapi tidak sekarang, aku perlu memastikan Matthew dan anak itu baik-baik saja.” Ayana berusaha membuat penawaran, ia yakin Aaron tidak mungkin berbaik hati menunggunya disini selarut ini.
“Baiklah, waktumu dua puluh menit, sebelum sepatu Cinderella mu berubah, aku perlu mengantar mu pulang. Aku juga perlu tidur.”
“Oh demi Tuhan siapa yang menyuruhmu kesini!” Ketus Ayana sebelum tangannya terlepas dari tangan Aaron. “Tunggu sebentar.”
Sambil menggerutu Ayana berjalan cepat menuju ruangan dimana anak kecil tadi dirawat. Tepat selangkah ia akan sampai didepan pintu ketika seorang dokter muda yang tadi merawat anak itu keluar dari sana.
“Ah, kau disini dokter... Ayana.” Ucap dokter tampan tersebut membuat Ayana mengulas senyumnya.
“Bagaimana keadaannya?” Iris mata Ayana menuju sosok kecil yang tengah terbaring.
“Dia baik-baik saja, pingsan akibat udara dingin dan sedikit kelelahan. Lihat tubuh kecilnya. Aku sudah memberikannya vitamin. Biarkan dia istirahat disini malam ini, besok dia sudah bisa pulang.”
Ayana mengangguk paham sembari menghela napasnya lega. “Terima kasih, dokter.”
“Oh ya, kau sudah hubungi keluarganya?” Tanya dokter muda bernama Tom tersebut.
Sekian detik kemudian Ayana baru tersadar, oh ya Tuhan sejak tadi ia tidak berpikir untuk menghubungi keluarga anak itu.
“Aku lupa...” Desis Ayana. “Aku akan berbicara padanya dulu.” Ucap Ayana lalu melangkah masuk ketika Tom menganggukan kepala.
***
Ayana menyisir rambut panjangnya saat berjalan mengikuti Aaron menuju mobil pria itu. Sekarang ia membenci dirinya yang duduk semobil dengan Aaron. Baru dua hari mereka bertemu dan Ayana sudah membenci seluruh hal tentang Aaron, meskipun ia tidak mengetahui kepribadian Aaron seutuhnya.
Ayana mendesah untuk kesekian kalinya, membuat Aaron nyaris menertawakannya. “Sepertinya terlalu berat duduk disebelah ku.” Tandas Aaron masa bodoh.
Ayana kembali mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum membalas tatapan Aaron yang menatap tajam padanya. Oh tatapan pria ini layak diberikan bintang satu, sangat tidak ramah.
Ayana mencoba untuk tidak lagi mendesah kesal, namun lagi-lagi ia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Entah kesialan apa yang ia bawa dari Los Angeles hingga mendapatkan penyambutan seperti ini di London.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah membelakangi Aaron dan menatap keluar jendela. Menciptakan keheningan panjang disana.
“Aku baru tahu kau seorang dokter.” Ucap Aaron memecah keheningan didalam mobil saat mereka berhenti dilampu merah..
Ayana membawa pandangannya dari luar jendela dan menatap Aaron yang memandang lurus ke depan.
Ayana berpikir untuk beberapa menit mencari jawaban untuk... Tidak bukan jawaban, Aaron tidak sedang melayangkan sebuah pertanyaan.
“Kau dekat dengan Henry dan pernah menjalin hubungan dengan Hana tapi tidak tahu.” Sinis Ayana.
“Mereka tidak pernah bercerita tentang mu.” Tandas Aaron yang berhasil membuat Ayana membisu, cukup terkejut dengan fakta tersebut. “Kau mungkin kurang penting bagi mereka. Makanya aku kaget kau mau mengorbankan diri untuk menyelamatkan Henry.” Ucap Aaron dengan senyum smirknya, satu tembakan telak untuk Ayana.
Ayana mengakui ia tidak begitu banyak mengenal teman-teman bisnis Henry ataupun Hana, tapi Henry sering mengajaknya ke beberapa pertemuan bisnis dengan beberapa rekannya. Hana? Ya, Ayana baru sadar ia tidak begitu tahu lingkungan pertemanan Hana seperti apa. Satu-satunya yang selalu diceritakan kakak perempuannya itu adalah Aaron, pria yang ia cintai.
Kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan Aaron, tanpa disengaja. Kejadian yang mengerikan baginya. Aaron seolah menjadi teman sekaligus musuh bagi Henry.
“Kenapa kau diam?” Tanya Aaron kemudian, saat ia menoleh Ayana hanya menatapnya tak berarti.
“Aku hanya tidak menyukai bisnis karena itu kami punya lingkungan pergaulan yang berbeda. Aku juga hanya menceritakan tentang mereka pada beberapa teman dekatku.” Ucap Ayana asal, padahal kenyataannya mulut cerewetnya selalu menceritakan tentang kedua kakak angkatnya yang baik hati pada semua orang.
Aaron mengangkat pundaknya seolah tidak peduli dengan itu. “Kau bekerja di Los Angeles?” Tanya nya lagi.
Ayana menggeleng pelan. “Sudah tidak, aku memutuskan berhenti setelah bekerja dua tahun disana.” Ucap Ayana di ikuti senyum kecilnya memikirkan alasannya kembali ke London karena Felix.
“Ah bagus, jadi kau akan mulai bekerja di London?” Tanya Aaron lagi.
Senyum diwajah Ayana mengerut saat ia menatap kesal pada Aaron. Oh sial, kenapa ia jadi mengobrol bebas dengan pria brengsek yang semalam baru saja mencelakainya? “Sepertinya aku tidak perlu bilang padamu.”
“Aku baru tahu ada dokter segalak dirimu.” Ledek Aaron membuat Ayana kembali melotot padanya.
“Aku tidak pernah segalak ini hingga aku bertemu denganmu tuan Xavier. Orang sepertimu tidak pantas mendapatkan kebaikan ku.”
“Kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu disini? Teruslah meledek ku dan aku akan menghentikan mobil ini disini lalu...” Ucapan Aaron terhenti saat jari telunjuk Ayana menempel sempurna di bibirnya. Oh sial, Aaron pikir tiba-tiba ada ribuan kupu-kupu dalam perutnya.
“Aku tidak akan berbicara lagi. Kau bisa mengemudi dengan tenang, aku ingin cepat sampai rumah.” Ucap Ayana membuat Aaron menatap gemas padanya.
***
To be continued
Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya. Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman. Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya. “Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat. Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus
Ferrari metalik milik Aaron berhenti sempurna didepan pagar rumah keluarga Giordano, yang berada di kawasan Compton Avenue. Di sebelahnya gadis cantik dengan rambut panjang yang sedikit berantakan itu menoleh padanya dengan tatapan datar. “Kau tidak mau aku antar sampai didalam?” Tanya Aaron usil. “Tidak! Jika kau ingin bertemu Hana gunakan cara lain. Aku tidak ingin ia bertanya-tanya kenapa kita datang bersama.” Ayana melepas seat belt nya hendak beranjak keluar ketika sesaat kemudian ia menghentikan gerakannya dan menatap Aaron. “Aku tidak berniat menemui Hana...” “Aaron,” Ayana memanggil nama pria itu pelan namun terdegar tajam, mencegahnya berbicara lebih lanjut. “Lain waktu jika kebetulan kau melihat ku seperti hari ini sebaiknya berhenti ikut campur, terutama di rumah sakit. Mereka semua tahu aku punya kekasih, mereka mungkin akan berpikir aku punya banyak kekasih.” Tandas Ayana sebelum menutup pintu mobil dengan sebuah hentakan keras. Aaron mengangkat alisnya tinggi dan be
Dari kejauhan Ayana bisa melihat Felix yang sudah berjalan keluar dari tempat loker dan berjalan menujunya. Sudah sejak tadi Mattew mengajarinya cara tersenyum didepan Felix, jadi ia harus bisa melakukannya.Ayana menarik sudut bibirnya ketika Felix membentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.Ayana menurutinya, ia juga rindu pada Felix. Ayana memejamkan matanya saat Felix mencium puncak kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dada nya.“Aku merindukan mu.” Bisik Felix membuat senyum Ayana semakin terbuka lebar.“Maaf, aku baru seminggu di rumah sakit, banyak yang harus aku lakukan.” Ayana melepas pelukannya dari Felix, tangannya bergerak merapikan anak rambut Felix yang terjatuh dikening pria itu.“Tentu saja aku paham, aku punya kekasih dokter, jadi aku harus bisa menerima kesibukannya.” Felix mencubit lembut pipi Ayana sebelum menarik gadis itu beranjak dari sana. “Oh ya bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa ada kendala?”Ayana menggeleng pelan sambil ikut melingkarkan tangannya dipingga
Lirikan mata Ayana terlepas dari tatapan Aaron yang menatapnya seperti seekor kucing yang siap menangkap santapannya.Setelah beberapa detik Ayana mengangguk dengan senyum kecilnya sebagai jawaban atas pertanyaan Henry. Tangannya sudah sibuk menyingkirkan tumpukan file yang berada di atas meja kerja Henry.“Aku bawa desert kesukaan mu. Kau harus habiskan sebelum aku pergi.” Ayana mengeluarkan desert yang ia bawa tadi dari dalam paper bag lalu mulai menatanya di atas meja kerja Henry.“Hm, jadi kau sedang mengancamku, Ayana? Baiklah.” Henry mendorong tempat desert tadi ke depan Aaron dan mempersilahkan pria itu untuk mengambilnya juga.“Cobalah, ini enak.” Ucap Henry dengan wajah sumringah, seolah desert itu dibuat sendiri oleh tangan Ayana. Aaron menyandarkan punggungnya santai saat iris matanya tertuju pada Ayana yang juga sedang menatap tajam padanya, ia yakin Ayana pasti sedang menahan kesal. Mata gadis itu seolah memiliki pedang di dalamnya. Ayana seakan mengancam Aaron agar tida
Aaron mengangkat satu alisnya pada Emma, sementara wajah Emma langsung berubah menjadi begitu manis. Oh ya Tuhan Ayana semakin yakin gadis itu punya dua kepribadian.“Eh… oh… Sorry.” Emma menurunkan tangannya kemudian merapikan rambutnya yang tidak berantakan menurut Ayana. Sementara Aaron masih menatapnya tajam tanpa bersuara.“Ayana,” Aaron memanggil Ayana. Suaranya serak, dalam, seksi seperti biasa.“Ya.” Ayana menjawab malas. Ia masih tidak puas membalas mulut Emma yang menghinanya tadi.“Bukankah kau harus kembali bekerja. Aku harus menepati janji ku pada Henry.”“Hm, tentu saja aku harus pergi jika tidak seseorang tidak akan bisa menemui kakakku.” Ayana menatap jijik pada Emma yang sudah seperti cacing kepanasan. Gadis itu pasti sangat kesal padanya tapi harus menahan diri karena ada Aaron disana.Ayana berjalan mendahului Aaron menuju lift dan mereka hanya berdua. Entah dimana karyawan-karyawan Henry yang tadi berlalu-lalang?“Emma menyukai Henry dan apa yang salah dengan itu?
Sesampainya di rumah sakit, Ayana langsung merogoh tas dan mencari ponselnya. Ia butuh vitamin Felix untuk menghilangkan virus Aaron barusan. Badannya panas dingin dan sedikit gemetar. Seperti ada lonjakan adrenalin.Ini bukan ciuman pertamanya, jadi kenapa harus separah ini rasanya? Ah ya, akhirnya Ayana sadar, karena ia di cium si brengsek Aaron cabul yang sialnya adalah teman Henry sekaligus mantan kekasih Hana. Dan mungkin saja disaksikan oleh petugas keamanan di ruangan CCTV lift. Demi Tuhan.Ayana memukul keningnya dengan benda tipis yang berada di tangannya sebelum melihat ada sebuah pesan singkat masuk dari Felix.Kita baru bertemu tadi tapi aku sudah merindukan mu :*Melihat emoticon kiss yang dikirim Felix sukses membuat Ayana mendengus kesal. Tega-teganya Aaron padanya, apa pria itu begitu benci padanya sejak pertemuan pertama mereka? Felix bahkan tidak pernah mencium bibirnya sebrutal yang dilakukan Aaron, tapi pria itu bahkan sudah menidurinya.Ayana mengusap bibirnya den
“Babe, aku tidak bisa menjemput mu pagi ini. Kami harus berkumpul untuk mulai latihan lebih pagi.” Suara Felix terdengar memelas dari ujung telepon.Ayana menyisir rambut tebalnya dan bersandar malas didekat jendela. Gadis itu menghela napas panjang sebelum mengiyakan permintaan maaf dari Felix.Sudah hampir satu bulan ia kembali ke London tapi ia baru dua kali bertemu dengan Felix. Ayana tidak yakin kesibukan masing-masing membuat mereka jadi jarang bertemu, namun dulu saat berada di Los Angeles, Felix bahkan sangat rajin menghubunginya, dalam sehari pria itu bisa melakukan tiga sampai lima kali panggilan video demi bisa melihat wajahnya. Sekarang mereka sudah berada di kota yang sama, tidak ada jarak lagi yang memisahkan namun rasanya lebih sulit menghubungi Felix dibanding saat mereka menjalani hubungan jarak jauh.“Tidak… tidak Ayana, kau yang terlalu sibuk, kau yang menghindarinya beberapa waktu lalu.” Ayana menutup wajahnya dengan kedua tangannya menghela napas panjang.Ia yakin