Sepanjang hidupnya, ini kali pertama Ayana benar-benar sangat kesal pada kakaknya, Henry.
Tidak hanya menjamu Aaron dengan makan malam, Henry juga mengajak Aaron mengobrol santai didekat kolam dibelakang rumah mereka yang mengarah ke jembatan kota yang mewah. Dan yang paling menyebalkan adalah mau tidak mau ia harus ikut. Ia duduk disana seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Ketiga orang itu terlibat percakapan bisnis yang sedikit sulit dipahami Ayana.
Ayana hampir menguap lebar saat panggilan suara dari Mattew seperti utusan dari surga yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
“Halo Mattew,” Jawab Ayana sengaja mengeraskan suaranya demi bisa berjalan menjauh dari ketiga orang yang sekarang sedang menatapnya itu.
Baiklah mereka pasti akan mengerti ia sedang menjawab telepon masuk bukan?
“Mattew, kau memang benar-benar menyelamatkan ku…” Ayana menghembuskan napas panjang dengan perasaan lega dan baru saja ingin kembali bersuara ketika suara panik Mattew terdengar menyambutnya.
“Ayana, tolong aku.”
“Ada apa Mattew? Jangan membuat ku panik.”
“Ayana aku, aku… kau harus kemari sekarang!” Teriak Mattew semakin kencang.
“Mattew tenanglah, kau menyuruh ku kemana malam-malam seperti ini?” Kesal Ayana.
“Aku panik Ayanna, oh penyakit ku itu akan kambuh, kau harus kemari.” Suara panik Mattew dari ujung telepon nyaris membuat Ayana gila.
Mattew adalah teman terdekatnya sejak mereka kuliah. Pria berdarah campuran inggris spanyol itu memiliki sejenis penyakit psikologis yang masih sulit di kendalikannya hingga saat ini.
Dalam situasi-situasi tertentu Mattew sering mengalami serangan panik yang membuatnya sulit mengontrol diri. Saat berada di Amerika, Ayana sering melihat Mattew mengalami serangan panik hingga nyaris kesulitan bernapas.
“Tarik napas mu dan beritahu aku apa yang terjadi pada mu dan dimana kau sekarang Matt?” Ayana perlahan menghembuskan napasnya seolah sedang menunjukannya pada Mattew.
Hening. Sepuluh detik berlalu, lagi hingga satu menit saat Ayana sudah tak mendengar suara apapun dari ujung telepon.
“Matt, kau dengar aku?” Oh sial, sekarang Ayana yang dilanda panik.
“Aku menabrak seorang anak kecil dipersimpangan jalan dekat London bridge, Ayana. Aku… sepertinya anak itu mati.” Suara bergetar milik Mattew membuat dua bola mata Ayana nyaris meloncat keluar.
“Aku akan kesana. Diamlah ditempat mu, jangan lakukan apapun.” Ayana menutup panggilan itu lalu berlari kembali ke halaman belakang rumah.
“Aku akan keluar sebentar, Mattew mengalami kecelakaan.” Ayana menatap lurus pada Henry, memberikan informasi itu yang tentu saja bukan ingin meminta ijin, walau Henry melarangnya pergi selarut ini, Ayana tetap akan pergi. Mattew sangat membutuhkannya saat ini.
“Aku akan mengantar mu.” Henry bangkit berdiri berniat menyusul Ayana ketika tangan besar Aaron menahannya.
“Aku juga akan pulang, biar sekalian aku yang mengantarnya.” Tandas Aaron yakin.
Meski Aaron adalah teman dekatnya, namun tetap saja ia tetap ragu untuk menitipkan Ayana pada Aaron. Itulah salah satu alasan kenapa Aaron tidak pernah mengenal Ayana meski mereka berdua sudah bersahabat selama tujuh belas tahun.
Menemukan keraguan dimata Henry, Aaron kemudian menepuk pelan pundak pria yang memiliki tinggi hampir sama dengannya itu.
“Aku akan menjaganya, kau bisa pegang ucapanku.” Tandas Aaron yang walaupun memang brengsek namun selalu bertanggung jawa pada apa yang ia janjikan.
“Aku titip adikku.” Henry mengangguk pelan dan ikut menepuk pundak Aaron sebelum pria itu bangkit berdiri dan menyusul Ayana yang entah sudah berada dimana.
“Oh shit!” Ayana nyaris memukul keras mobilnya karena benda itu tidak ingin bekerja sama. “Jangan bercanda sekarang, aku sedang buru-buru!” Ayana mengarahkan seluruh tenaganya untuk membuka pintu itu alhasil saat pintu mobil terbuka ia harus terdorong ke belakang.
Ayana pikir lahan beraspal didepan rumah mereka baru saja berubah menjadi kasur empuk saat ia jatuh. Ini terasa baik-baik saja.
“Kau baik-baik saja?” Suara berat Aaron berhasil membuat seluruh bulu roma Ayana berdiri. Ini bahkan lebih dingin dari udara London dimalam hari.
Dengan cepat Ayana menunduk dan melihat tangan kekar Aaron bertengger sempurna pada pinggang rampingnya.
“Lepaskan.” Oh Ayana tidak ingin menatap mata Aaron, ia tidak berniat meniru adegan saling menatap seperti di film-film romantis ala Amerika Latin yang ia tonton.
“Dimana lokasinya? Aku akan mengantar mu.” Mengabaikan satu kata paling ketus yang keluar dari mulut Ayana barusan, Aaron lebih memilih menarik gadis itu ke mobilnya dan membuatnya diam.
“Tidak perlu, aku akan menyetir sendiri.” Ayana berkilah dan berusaha menarik tangannya dari genggaman tangan Aaron. Oh ia sama sekali tidak ingin duduk disamping pria terbrengsek didunia ini.
“Dimana tempatnya?” Lagi-lagi Aaron mengabaikan protes Ayana, pria itu mulai menyalakan mesin mobilnya.
Ayana menarik napas sebentar kemudian terpaksa memasang seat beltnya. Oh ia tidak punya waktu untuk berdebat dengan si brengsek ini bukan?
“Tower Bridge, cepat lah!” Jawab Ayana dingin ditambah sebuah perintah yang membuat Aaron harus menatap tajam padanya sekilas.
“Kau yang ingin mengantarku!” Seolah mengerti dengan tatapan itu, Ayana membalas tatapan dingin Aaron.
“Aku tidak mengatakan apapun.” Tandas Aaron.
“Ekspekresi mu mengatakan semuanya tuan Xavier.” Ayana menaikan alisnya sebelum membuang pandangannya ke depan.
Mobil Aaron melintasi jalanan malam yang cukup sepi karena waktu sudah menunjukan jam setengah sebelas malam. Itu lebih memudahkan mereka untuk tiba di Tower Bridge.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, Land Rover metallic dengan lampu yang masih menyala berada didekat ujung jembatan, sedang Ayana bisa melihat sosok kecil yang terbaring tanpa sadar didepan mobil.
“Disana…” Telunjuk Ayana mulai mengarah pada mobil tersebut.
Sedang Aaron melajukan mobil dengan tenang, Ayana sudah mengambil dua botol obat dari dalam tas kecilnya.
“Apa kau yakin ini bukan penipuan? Tempat ini begitu sepi.” Aaron menepikan mobilnya sambil mengitari sekeliling dengan mata tajamnya.
“Kalau takut, kau bisa pulang saja. Aku akan mengurus temanku sendiri.” Ayana menoleh sekilas pada Aaron sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan keluar.
“Ohoo, gadis kecil kau bilang aku penakut?” Aaron nyaris menertawakan Ayana yang terlihat sudah berlari menuju mobil didepan mereka.
“Matt… ini aku, buka pintunya.” Ayana mengetuk pintu mobil dengan keras. Didalam sana Mattew tengah tertunduk gemetar didepan kemudi mobil.
“Ayana!” Mattew mengangkat wajahnya perlahan saat mendengar suara Ayana, sahabatnya. Dengan tangan gemetar ia membuka pintu mobil dan memeluk Ayana.
Dari kejauhan alis Aaron terangkat, menatap tidak suka pada pelukan kecil di hadapannya itu.
“Aku bawa obat mu, minumlah dulu agar kau bisa tenang.” Aku akan melihat anak itu. Oh ya, apa ada orang lain yang lewat tempat ini sejak tadi?”
“Hanya beberapa, tapi sepertinya mereka tidak menyadari, atau takut mungkin ini penipuan.” Ujar Mattew setelah meminum obat penenangnya.
Ayana mengangguk cemas lalu berjalan mendekati sosok kecil di depannya.
“Adik kecil?” Ayana menggoyangkan tubuh kecil itu namun tak ada respon apapun.
Iris mata Ayana terarah pada Aaron yang juga sudah duduk di depannya.
“Dia meninggal?” Tanya Aaron membuat jantung Ayana nyaris berhenti berdetak.
Namun, sedetik kemudian Ayana kembali bernapas normal sebelum berseru pada Aaron dengan buru-buru.
“Dia masih bernapas, bantu aku bawa dia ke mobil mu.”
“Mobil ku?” Tanya Aaron sedikit kaget, oh tidak hidung anak ini berdarah.
“Kau tidak mau?” Tanya Ayana tegas, sebelum Aaron menjawab ia sudah lebih dulu menggendong anak itu dan membawanya ke mobil Mattew.
“Kemari,” Aaron menggeleng-gelengkan kepala sebelum mengambil alih anak itu dalam gendongan Ayana. “Kau masuk lebih dulu.”
“Sebentar, aku akan bicara pada Mattew dulu.” Buru-buru Ayana meminta Mattew mengikuti ia dan Aaron yang akan membawa anak itu ke rumah sakit.”
*
To be continued
Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang. Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron. Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu. “Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak. Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya. “Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles. Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sin
Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya. Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman. Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya. “Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat. Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus
Ferrari metalik milik Aaron berhenti sempurna didepan pagar rumah keluarga Giordano, yang berada di kawasan Compton Avenue. Di sebelahnya gadis cantik dengan rambut panjang yang sedikit berantakan itu menoleh padanya dengan tatapan datar. “Kau tidak mau aku antar sampai didalam?” Tanya Aaron usil. “Tidak! Jika kau ingin bertemu Hana gunakan cara lain. Aku tidak ingin ia bertanya-tanya kenapa kita datang bersama.” Ayana melepas seat belt nya hendak beranjak keluar ketika sesaat kemudian ia menghentikan gerakannya dan menatap Aaron. “Aku tidak berniat menemui Hana...” “Aaron,” Ayana memanggil nama pria itu pelan namun terdegar tajam, mencegahnya berbicara lebih lanjut. “Lain waktu jika kebetulan kau melihat ku seperti hari ini sebaiknya berhenti ikut campur, terutama di rumah sakit. Mereka semua tahu aku punya kekasih, mereka mungkin akan berpikir aku punya banyak kekasih.” Tandas Ayana sebelum menutup pintu mobil dengan sebuah hentakan keras. Aaron mengangkat alisnya tinggi dan be
Dari kejauhan Ayana bisa melihat Felix yang sudah berjalan keluar dari tempat loker dan berjalan menujunya. Sudah sejak tadi Mattew mengajarinya cara tersenyum didepan Felix, jadi ia harus bisa melakukannya.Ayana menarik sudut bibirnya ketika Felix membentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.Ayana menurutinya, ia juga rindu pada Felix. Ayana memejamkan matanya saat Felix mencium puncak kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dada nya.“Aku merindukan mu.” Bisik Felix membuat senyum Ayana semakin terbuka lebar.“Maaf, aku baru seminggu di rumah sakit, banyak yang harus aku lakukan.” Ayana melepas pelukannya dari Felix, tangannya bergerak merapikan anak rambut Felix yang terjatuh dikening pria itu.“Tentu saja aku paham, aku punya kekasih dokter, jadi aku harus bisa menerima kesibukannya.” Felix mencubit lembut pipi Ayana sebelum menarik gadis itu beranjak dari sana. “Oh ya bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa ada kendala?”Ayana menggeleng pelan sambil ikut melingkarkan tangannya dipingga
Lirikan mata Ayana terlepas dari tatapan Aaron yang menatapnya seperti seekor kucing yang siap menangkap santapannya.Setelah beberapa detik Ayana mengangguk dengan senyum kecilnya sebagai jawaban atas pertanyaan Henry. Tangannya sudah sibuk menyingkirkan tumpukan file yang berada di atas meja kerja Henry.“Aku bawa desert kesukaan mu. Kau harus habiskan sebelum aku pergi.” Ayana mengeluarkan desert yang ia bawa tadi dari dalam paper bag lalu mulai menatanya di atas meja kerja Henry.“Hm, jadi kau sedang mengancamku, Ayana? Baiklah.” Henry mendorong tempat desert tadi ke depan Aaron dan mempersilahkan pria itu untuk mengambilnya juga.“Cobalah, ini enak.” Ucap Henry dengan wajah sumringah, seolah desert itu dibuat sendiri oleh tangan Ayana. Aaron menyandarkan punggungnya santai saat iris matanya tertuju pada Ayana yang juga sedang menatap tajam padanya, ia yakin Ayana pasti sedang menahan kesal. Mata gadis itu seolah memiliki pedang di dalamnya. Ayana seakan mengancam Aaron agar tida
Aaron mengangkat satu alisnya pada Emma, sementara wajah Emma langsung berubah menjadi begitu manis. Oh ya Tuhan Ayana semakin yakin gadis itu punya dua kepribadian.“Eh… oh… Sorry.” Emma menurunkan tangannya kemudian merapikan rambutnya yang tidak berantakan menurut Ayana. Sementara Aaron masih menatapnya tajam tanpa bersuara.“Ayana,” Aaron memanggil Ayana. Suaranya serak, dalam, seksi seperti biasa.“Ya.” Ayana menjawab malas. Ia masih tidak puas membalas mulut Emma yang menghinanya tadi.“Bukankah kau harus kembali bekerja. Aku harus menepati janji ku pada Henry.”“Hm, tentu saja aku harus pergi jika tidak seseorang tidak akan bisa menemui kakakku.” Ayana menatap jijik pada Emma yang sudah seperti cacing kepanasan. Gadis itu pasti sangat kesal padanya tapi harus menahan diri karena ada Aaron disana.Ayana berjalan mendahului Aaron menuju lift dan mereka hanya berdua. Entah dimana karyawan-karyawan Henry yang tadi berlalu-lalang?“Emma menyukai Henry dan apa yang salah dengan itu?
Sesampainya di rumah sakit, Ayana langsung merogoh tas dan mencari ponselnya. Ia butuh vitamin Felix untuk menghilangkan virus Aaron barusan. Badannya panas dingin dan sedikit gemetar. Seperti ada lonjakan adrenalin.Ini bukan ciuman pertamanya, jadi kenapa harus separah ini rasanya? Ah ya, akhirnya Ayana sadar, karena ia di cium si brengsek Aaron cabul yang sialnya adalah teman Henry sekaligus mantan kekasih Hana. Dan mungkin saja disaksikan oleh petugas keamanan di ruangan CCTV lift. Demi Tuhan.Ayana memukul keningnya dengan benda tipis yang berada di tangannya sebelum melihat ada sebuah pesan singkat masuk dari Felix.Kita baru bertemu tadi tapi aku sudah merindukan mu :*Melihat emoticon kiss yang dikirim Felix sukses membuat Ayana mendengus kesal. Tega-teganya Aaron padanya, apa pria itu begitu benci padanya sejak pertemuan pertama mereka? Felix bahkan tidak pernah mencium bibirnya sebrutal yang dilakukan Aaron, tapi pria itu bahkan sudah menidurinya.Ayana mengusap bibirnya den