“Kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi, Aaron?” Tanya Henry menatap tidak percaya pada Aaron yang berdiri di hadapannya.
Ditangan Henry, sebuah dokumen dengan tanda tangan emas milik Aaron Xavier membuat pria itu mengulas senyum lebarnya seolah masih berada dalam mimpi.
Aaron mengangguk singkat, iris matanya terlepas dari Ayana yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Kau urus sisanya, tapi ingat jangan sampai terburu-buru lagi seperti kemarin. Kau hampir membuat banyak karyawan mu kehilangan pekerjaan.” Tandas Aaron membuat Ayana yang mendengarnya nyaris menumpahkan seluruh isi perutnya. Oh pria itu bertingkah seolah ia adalah penyelamat seluruh umat. Bahkan lebih baik dari seorang pendeta.
Ayana memegang erat ujung gaunnya selama perbincangan Aaron dan Henry berlangsung. Seluruh tubuhnya sakit, namun ia masih harus memastikan bahwa apa yang dijanjikan Aaron benar-benar ditepati oleh pria itu.
Sekian detak jantung perbincangan Aaron dan Henry terkait kerjasama bisnis antara keluarga Xavier dan Giordano terus berlangsung aman membuat Ayana cukup lega untuk meninggalkan ruangan itu. Ia perlu meminum obat alerginya dan menenangkan dirinya terlebih dulu, sejak bangun pagi ini ia terlalu berantakan untuk bisa mengontrol dirinya.
*
Ayana tiba dirumah keluarga mereka ketika iris matanya menangkap sosok Hana yang tengah mencoba rasa makanan yang disiapkan pelayanan siang ini. Hana memang pandai memasak dan suka mengurus semua orang didalam rumah mereka.
Untuk sekian menit, Ayana kesulitan mengatur mimik wajahnya. Senyum kecil bahkan tidak ingin muncul disudut bibirnya. Ayana nyaris menangis melihat senyum cerah Hana.
Oh demi Tuhan ia memang pengkhianat yang handal. Ia di adopsi dari panti asuhan oleh keluarga ini, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Henry dan Hana adalah kakak terbaik yang ia miliki seumur hidupnya, dan semalam ia melakukan sebuah kesalahan yang pasti sangat menghancurkan hati Hana. Kakak perempuannya itu sangat mencintai Aaron.
Hana selalu bercerita tentang Aaron setiap kali ia menjenguk Ayana di Las Vegas. Mata Hana seolah dipenuhi dengan cahaya paling indah yang pernah dilihat Ayana setiap kali Hana bercerita tentang Aaron. Seolah didunia ini, tidak ada wanita lain yang paling mencintai Aaron Xavier selain Hana Giordano.
Ayana menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga sebelum berjalan menuju tangga sambil melambai pada Hana yang baru saja memanggilnya.
“Kau tidak ingin makan dengan ku, Ayana?” Tanya Hana dengan alis mata terangkat saat melihat Ayana yang tidak begitu bersemangat seperti biasanya setiap kali ia pulang ke rumah.
“Aku akan mandi dulu. Aku pergi dengan Felix tadi, bau keringat.” Ucap Ayana berbohong. Dan tentu saja Hana akan percaya, karena Ayana selalu menemani kekasihnya berolahraga setiap kali ia kembali ke London.
Hana tertawa lebar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat betapa Ayana dan Felix selalu saling mencintai.
*
Aaron Xavier menyelesaikan seluruh janji meetingnya hari ini dengan satu kepuasan. Ia Aaron Xavier tidak ada yang sulit baginya, semua akan selesai hanya dengan nama besarnya.
Aaron baru berniat untuk meninggalkan ruangan kerjanya ketika pesan masuk dari Hana mengalihkan perhatiannya.
‘Aaron, kalau kau tidak keberatan aku ingin mengundang mu untuk makan malam bersama kami. Aku ingin sekali berterima kasih pada mu karena telah membantu Henry.’
Aaron menarik sudut bibirnya sebelum mengambil jas nya dan berjalan keluar. “Tentu saja aku harus datang.”
Sedang didepan meja riasnya, Ayana memandang kosong pada pantulan dirinya dibalik cermin, sesekali jari lentiknya mencoba menutup bekas c*uman dari Aaron yang masih tersisa dileher jenjangnya. Hampir selesai.
“Ayana, kau didalam? turun bergabunglah untuk makan malam.” Suara berat Hendri menarik keluar Ayana dari lamunannya sejak tadi.
Setengah buru-buru Ayana menyisir rambut panjangnya mengambil cardigan berwarna biru langit menutup gaun malamnya yang sebatas mata kaki.
Sebelum meninggalkan kamarnya, Ayana kembali menatap cermin berkali-kali demi memastikan bahwa ia sudah tersenyum seperti biasanya didepan keluarganya.
“Tersenyumlah Ayana, singkirkan wajah muram mu itu!” Ayana nyaris mengutuk dirinya yang hampir frustasi karena ujung bibirnya sulit untuk melengkung. “Demi Tu…”
“Ayana cepatlah kami menunggumu.” Suara Henry kembali terdengar.
Dan ya, lagi-lagi ia membuat semua orang menunggu. Kali ini bukan karena ia sibuk belajar. Bersyukurlah karena semua orang sudah tahu kebiasaannya ini, jadi tidak akan ada yang curiga.
Dimeja makan dengan kayu cendana dan lilin di atasnya membuat semua orang duduk dengan tenang, hanya sesekali Henry yang berjalan mondar-mandir memanggil Ayana.
Di tempatnya mata biru Aaron sesekali menatap ke arah tangga ditengah perbincangannya dengan Hana yang sejak tadi begitu antusias menyambut kedatangan Aaron dirumah mereka.
“Lalu bagaimana kabar ibu mu? Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya.” Hana tersenyum senang.
“Seperti biasa, ia sibuk bepergian dengan teman-teman seusianya.” Jawab Aaron dengan suara beratnya yang mampu membuat tungkai kaki Hana bergetar.
“Sesekali kau harus…”
“Nah Ayana, kemarilah, aku sudah lapar.” Panggil Henry yang sejak tadi berdiri di ujung tangga menunggu adiknya turun.
Aaron melemparkan pandanganya pada Ayana yang sudah bergerak turun menuju arah meja makan. Gadis itu belum menyadari kehadirannya. bisa terlihat dari senyum cantik yang menghias sudut bibirnya. Ah Aaron pikir Ayana mungkin akan berakhir mogok makan selama beberapa hari setelah kejadian yang di alaminya. Tapi sepertinya gadis itu menikmatinya.
Hm ya, jadi kesimpulannya gadis itu hanya berpura-pura polos di hadapannya.
Ayana baru saja menarik kursi untuk duduk disamping Henry saat sialnya mata indahnya bertemu tatap dengan Aaron. Ayana nyaris jatuh jika saja Henry tidak buru-buru memegangnya.
“Kenapa dia ada disini, kak?” Ayana membawa tatapannya menatap Henry yang menatapnya bingung.
“Siapa? Aaron maksudmu?”
“Ya.” Jawab Ayana singkat. Matanya tak terlepas dari Henry. Ia tidak sudi untuk menatap Aaron yang terlihat tersenyum menghinanya.
“Ayana, dimana sopan santun mu? Aku yang mengundang Aaron untuk makan malam dengan kita.”
“Kenapa kau mengundangnya?” Sentak Ayana keras membuat Hana sontak meletakan alat makannya dengan kasar.
“Dia sudah membantu perusahaan keluarga kita, dia juga sudah banyak membantu Henry. Kenapa kau marah seperti itu?” Tanya Hana penuh emosi.
Tenggorokan Ayana tercekat dan matanya setengah mati kekesalan saat ia menoleh menatap Aaron. Sial pria ini telah memanipulasi seluruh keluarganya. Tidak akan ada seorang pun yang akan memahaminya saat ini.
“Ayana, jawablah!”
“A… aku hanya masih kesal pada kejadian kemarin pagi.” Ucap Ayana berbohong. Suaranya perlahan merendah, sebelum ia bergerak untuk duduk disamping Henry.
Henry sontak tertawa mendengar ketusan adik bungsunya itu. Ayana memang memiliki emosi yang sering meledak-ledak, tapi untuk masalah apapun yang Henry hadapi jika Ayana mengetahuinya maka ia akan berdiri paling depan untuk untuk membantunya.
“Ayana, aku dan Aaron sudah berbicara, hal itu sudah biasa dalam dunia bisnis, kau akan sering melihat hal ini terjadi.” Ucap Henry bak hembusan angin malam yang membuat seluruh bulu kuduk Ayana merinding.
“Sering terjadi?” Garpu yang digunakan Ayana menggantung diujung bibir mendengar ucapan Henry yang terdengar begitu santai. Oh kakaknya ini pasti sedang tidak waras.
Aaron mengangguk setuju saat meletakan alat makannya dengan sengaja menimbulkan bunyi yang berdentung keras membuat Ayana terpaksa membawa iris matanya pada pria yang sejak awal ia sumpahi mati-matian itu.
“Kau mau sekalian belajar bisnis Ayana? Kelak kau bisa membantu Henry.” Tawar Aaron yang tentu saja sengaja membuat Ayana kesal.
“Tidak, aku sama sekali tidak tertarik.” Lantang Ayana membuat Hana juga ikut bicara.
“Ayana lebih senang berhadapan dengan darah dari pada mengurus bisnis. Tidak masuk akal.” Hana tertawa keras membuat yang lain ikut tertawa termasuk Ayana yang terpaksa ikut melakukannya.
Hidangan makan malam itu terasa hambar di indera pengecap Ayana, posisi duduknya bahkan sudah tidak tenang sejak tadi, setiap detiknya ia hampir menjatuhkan gelas yang berada tepat didalam genggaman tangannya. Ayana nyaris gila mendapati makanan di atas piringnya yang belum habis sejak tadi. Kalau ia tidak salah ingat, tadi ia tidak mengambil banyak dan sudah berusaha secepatnya untuk makan. Bahkan ia hanya menelan setiap makanan yang masuk ke dalam mulutnya tanpa mengunyah.
***
To be continued
Sepanjang hidupnya, ini kali pertama Ayana benar-benar sangat kesal pada kakaknya, Henry. Tidak hanya menjamu Aaron dengan makan malam, Henry juga mengajak Aaron mengobrol santai didekat kolam dibelakang rumah mereka yang mengarah ke jembatan kota yang mewah. Dan yang paling menyebalkan adalah mau tidak mau ia harus ikut. Ia duduk disana seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Ketiga orang itu terlibat percakapan bisnis yang sedikit sulit dipahami Ayana. Ayana hampir menguap lebar saat panggilan suara dari Mattew seperti utusan dari surga yang baru saja menyelamatkan nyawanya. “Halo Mattew,” Jawab Ayana sengaja mengeraskan suaranya demi bisa berjalan menjauh dari ketiga orang yang sekarang sedang menatapnya itu. Baiklah mereka pasti akan mengerti ia sedang menjawab telepon masuk bukan? “Mattew, kau memang benar-benar menyelamatkan ku…” Ayana menghembuskan napas panjang dengan perasaan lega dan baru saja ingin kembali bersuara ketika suara panik Mattew terdengar menyambut
Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang. Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron. Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu. “Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak. Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya. “Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles. Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sin
Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya. Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman. Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya. “Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat. Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus
Ferrari metalik milik Aaron berhenti sempurna didepan pagar rumah keluarga Giordano, yang berada di kawasan Compton Avenue. Di sebelahnya gadis cantik dengan rambut panjang yang sedikit berantakan itu menoleh padanya dengan tatapan datar. “Kau tidak mau aku antar sampai didalam?” Tanya Aaron usil. “Tidak! Jika kau ingin bertemu Hana gunakan cara lain. Aku tidak ingin ia bertanya-tanya kenapa kita datang bersama.” Ayana melepas seat belt nya hendak beranjak keluar ketika sesaat kemudian ia menghentikan gerakannya dan menatap Aaron. “Aku tidak berniat menemui Hana...” “Aaron,” Ayana memanggil nama pria itu pelan namun terdegar tajam, mencegahnya berbicara lebih lanjut. “Lain waktu jika kebetulan kau melihat ku seperti hari ini sebaiknya berhenti ikut campur, terutama di rumah sakit. Mereka semua tahu aku punya kekasih, mereka mungkin akan berpikir aku punya banyak kekasih.” Tandas Ayana sebelum menutup pintu mobil dengan sebuah hentakan keras. Aaron mengangkat alisnya tinggi dan be
Dari kejauhan Ayana bisa melihat Felix yang sudah berjalan keluar dari tempat loker dan berjalan menujunya. Sudah sejak tadi Mattew mengajarinya cara tersenyum didepan Felix, jadi ia harus bisa melakukannya.Ayana menarik sudut bibirnya ketika Felix membentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.Ayana menurutinya, ia juga rindu pada Felix. Ayana memejamkan matanya saat Felix mencium puncak kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dada nya.“Aku merindukan mu.” Bisik Felix membuat senyum Ayana semakin terbuka lebar.“Maaf, aku baru seminggu di rumah sakit, banyak yang harus aku lakukan.” Ayana melepas pelukannya dari Felix, tangannya bergerak merapikan anak rambut Felix yang terjatuh dikening pria itu.“Tentu saja aku paham, aku punya kekasih dokter, jadi aku harus bisa menerima kesibukannya.” Felix mencubit lembut pipi Ayana sebelum menarik gadis itu beranjak dari sana. “Oh ya bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa ada kendala?”Ayana menggeleng pelan sambil ikut melingkarkan tangannya dipingga
Lirikan mata Ayana terlepas dari tatapan Aaron yang menatapnya seperti seekor kucing yang siap menangkap santapannya.Setelah beberapa detik Ayana mengangguk dengan senyum kecilnya sebagai jawaban atas pertanyaan Henry. Tangannya sudah sibuk menyingkirkan tumpukan file yang berada di atas meja kerja Henry.“Aku bawa desert kesukaan mu. Kau harus habiskan sebelum aku pergi.” Ayana mengeluarkan desert yang ia bawa tadi dari dalam paper bag lalu mulai menatanya di atas meja kerja Henry.“Hm, jadi kau sedang mengancamku, Ayana? Baiklah.” Henry mendorong tempat desert tadi ke depan Aaron dan mempersilahkan pria itu untuk mengambilnya juga.“Cobalah, ini enak.” Ucap Henry dengan wajah sumringah, seolah desert itu dibuat sendiri oleh tangan Ayana. Aaron menyandarkan punggungnya santai saat iris matanya tertuju pada Ayana yang juga sedang menatap tajam padanya, ia yakin Ayana pasti sedang menahan kesal. Mata gadis itu seolah memiliki pedang di dalamnya. Ayana seakan mengancam Aaron agar tida
Aaron mengangkat satu alisnya pada Emma, sementara wajah Emma langsung berubah menjadi begitu manis. Oh ya Tuhan Ayana semakin yakin gadis itu punya dua kepribadian.“Eh… oh… Sorry.” Emma menurunkan tangannya kemudian merapikan rambutnya yang tidak berantakan menurut Ayana. Sementara Aaron masih menatapnya tajam tanpa bersuara.“Ayana,” Aaron memanggil Ayana. Suaranya serak, dalam, seksi seperti biasa.“Ya.” Ayana menjawab malas. Ia masih tidak puas membalas mulut Emma yang menghinanya tadi.“Bukankah kau harus kembali bekerja. Aku harus menepati janji ku pada Henry.”“Hm, tentu saja aku harus pergi jika tidak seseorang tidak akan bisa menemui kakakku.” Ayana menatap jijik pada Emma yang sudah seperti cacing kepanasan. Gadis itu pasti sangat kesal padanya tapi harus menahan diri karena ada Aaron disana.Ayana berjalan mendahului Aaron menuju lift dan mereka hanya berdua. Entah dimana karyawan-karyawan Henry yang tadi berlalu-lalang?“Emma menyukai Henry dan apa yang salah dengan itu?