Wajah pucat, rambut berantakan dengan bekas ruam merah menghiasi permukaan kulit leher serta bagian dada dan perut ratanya, sangat sempurna untuk menjadi pemandangan pertama yang dilihat Ayana pagi ini begitu ia bangun.
Bibir bengkak dengan tepiannya yang berhiaskan beberapa luka. Tangan Ayana gemetar saat gadis muda itu mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pipi mulusnya.
Dua bola mata indahnya berhasil mengeluarkan air mata yang kembali membasahi pipinya. Ayana sungguh berantakan.
“Dad… a-aku, aku sudah menghancurkan arti nama yang kau berikan.” Ayana meringis dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu berteriak sekencang mungkin dengan sisa tenaga yang ia punya.
Ayana Giordano, gadis muda dengan dua bola mata indah itu merangkak turun dengan tubuh gemetar dan mulai mencari satu per satu pakaiannya. Namun lagi-lagi Ayana harus kembali menekuk kedua kakinya dan menangis didekat ranjang saat tak menemukan pakaiannya yang ia kenakan tadi malam.
“Dad ampuni aku, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantu Henry.” Ayana mengatupkan kelopak matanya saat kepalanya mendongak menatap pada langit-langit kamar hotel berwarna putih bersih.
Dunia Ayana hancur.
Mata indah Ayana kembali menyusuri seisi kamar itu mencari kira-kira kain atau sesuatu yang bisa ia pakai untuk menutupi tubuhnya.
Hingga belum sempat Ayana menemukan sesuatu didalam kamar luxury mewah itu bunyi intercom kamar berbunyi membuat jantung Ayana kembali berkejaran liar. Ia mengalami ketakutan yang hebat hingga matanya nyaris tak ingin terlepas dari arah pintu. Rasa kaku tiba-tiba menyekat tubuhnya.
Napas Ayana tercekat, oh sungguh ia tidak sanggup jika pria yang semalam telah mengambil keperawanannya itu kembali.
Tidak, Ayana ingin segera menghilang dari tempat ini. Ia tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan pria itu.
“Henry…” Napas Ayana memburu begitu mengingat nama kakak angkat yang telah ia anggap seperti kakak kandung sejak kecil.
Ayana tidak ingin kakaknya sampai tahu kejadian malam tadi. Henry pasti akan marah besar padanya.
Hanya dengan mengingat nama Henry, Ayana baru punya tenaga untuk bangkit berdiri, melawan rasa sakit pada seluruh tubuhnya yang oh sial, ia rasa nyaris terlepas dari setiap tempatnya.
Gadis itu membalut tubuhnya dengan selimut putih dan berjalan masuk menuju kamar mandi hotel.
“Nona, jika anda tidak membuka pintu saya akan masuk dengan access card cadangan.” Suara seorang wanita terdengar dari luar kamar begitu Ayana masuk kedalam kamar mandi.
Ayana menutup pintu kamar mandi dengan sangat pelan dan tidak membalas suara wanita itu. Ia juga sibuk mencari sesuatu didalam kamar mandi yang bisa digunakan untuk memukul jika orang itu berniat melakukan sesuatu yang jahat padanya.
Ceklek!
Ketika mata Ayana masih sibuk mencari-cari didalam sana, pintu kamar itu sudah terbuka dan suara ketukan sepatu seorang wanita terdengar dari luar sana.
Ayana memegang ketat selimut yang membungkus tubuhnya dengan punggung bersandar pada pintu kamar mandi.
Pegangan tangannya mengeras pada handle pintu kamar mandi, siap menyerang jika orang tersebut nekat membuka pintu.
Namun setelah beberapa detik suara ketukan sepatu itu terhenti dan Ayana yakin itu tepat didepan pintunya.
“Aku tahu anda ada didalam nona, tuan Aaron menyuruh ku membawa pakaian untuk anda. Aku letakan di atas nakas.” Ujar suara tersebut datar dan cenderung sangat santai, seolah ia telah terbiasa melakukan tugas tersebut.
Ayana menghembuskan napasnya pelan dan kembali membuka pintu saat ia mendengar pintu kamar telah tertutup kembali.
Dengan sangat cepat ia berlari mengambil goodie bag yang dibawah oleh wanita tadi kemudian berlari kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Ia harus bersiap dengan cepat dan menemui kakaknya Henry sekarang.
***
Taxi belum berhenti sempurna didepan gedung dua puluh lantai di depannya tapi Ayana sudah membuka pintu mobil dan bergegas turun membuat sang driver taxi nyaris mengumpat padanya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki Ayana berjalan dengan gerakan tercepat yang saat ini ia bisa. Gadis itu bahkan lupa untuk menyapa beberapa karyawan Henry yang tersenyum padanya.
Oh terserahlah jika setelah ini mereka akan mengatakan ia hanya anak angkat tidak tahu diri yang hanya bisa bersikap sombong. Saat ini yang ia pedulikan adalah mengatakan pada kakaknya agar tidak menyerahkan sisa saham perusahaan Giordano pada Aaron Xavier.
Ia sudah menyerahkan segalanya untuk pria brengsek itu. Ayana tidak ingin Henry juga kehilangan segalanya.
Napas Ayana memburu, dengan sepatu high heels yang ia pakai membuatnya terasa lambat dalam berlari.
“Oh f*ck, dia pikir semua wanita menyukai sepatu seperti ini!” Ayana mengumpat pada high heels tak berdosa yang ia pakai. Dengan sedikit tertatih Ayana menunduk dan melepaskan high heels yang memperlambat jalannya itu dan berlari dengan napas memburu menuju ruangan kerja Henry.
“Kak, kau tidak perlu menyerah…” Suara Ayana menggantung di atas udara saat iris mata indahnya bertemu tatap dengan pria yang tadi malam baru saja merenggut kesuciannya.
Aaron menyenderkan tubuhnya dengan angkuh di sofa besar, sedangkan Henry tengah duduk di depannya. Keduanya terlihat seperti sedang mengobrol santai. Sangat santai hingga Ayana nyaris menangis melihat situasi ini. Seandainya semua orang tahu bahwa hari ini ia mungkin akan berhasil mengalahkan Eliud Kipchoge, sang pelari marathon tercepat dunia saat ini.
Tubuh Ayana membeku di tempatnya. Untuk sepersekian detik Ayana kehilangan kata-kata. Otaknya kosong, hatinya teriris dengan kenangan menjijikan yang semalam ia lalui dengan Aaron.
Sepasang sepatunya menggantung di ujung tangannya, sebatas pada ujung dress mini yang ia pakai.
“Ayana, kenapa kau tidak bilang pada ku jika ingin kesini? Kita bisa datang bersama tadi.” Henry bangkit berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju Ayana saat mata gadis itu tengah bertemu tatap dengan mata tajam sekaligus menggoda milik Aaron.
“Ayana…” Panggil Henry lagi namun Ayana masih terhipnotis di tempatnya. Gadis itu bahkan sama sekali tidak bergerak. Matanya memanas oleh rasa malu, marah dan sakit hati saat menatap wajah iblis Aaron di depannya.
Kaki polos Ayana perlahan bergerak mundur, rasanya ia ingin berlari keluar dari tempat ini. Oh demi Tuhan seumur hidupnya ia tidak sanggup menatap wajah Aaron Xavier.
“Ayana, kau kenapa?” Henry semakin mendekat dan berhasil meraih lengan adik angkatnya itu.
Iris matanya bergerak turun menatap penampilan Ayana dengan sepatu di tangannya.
“A-aku…”
“Kemarilah.” Henry menarik lengan Ayana dan membawa adiknya itu duduk di sebelahnya saat pikiran Ayana tengah mengelolah apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Aku ingin pulang.” Ujar Ayana pada akhirnya saat sedikit kesadaran berhasil menyusup masuk ke dalam isi kepalanya.
Henry menautkan kedua alis tebalnya mendengar ucapan Ayana, bahkan kini wajah gadis itu jauh lebih pucat dari sebelumnya. Sedang di depannya Aaron menarik sudut bibirnya dan tersenyum pada Ayana yang menatap takut padanya.
“Kau baru tiba kenapa sudah mau pulang?”
“A-aku… aku hanya ingin, aku…”
“Ayana, ada apa dengan mu? Kenapa kau jadi gagap begini?” Henry mencubit cuping telinganya seraya menatap bingung pada Ayana yang bersikap berbeda dari biasanya.
‘Apa dia gugup karena ada Aaron?’ Henry membawa pandangannya pada wajah tampan sempurna milik Aaron yang terlihat tersenyum pada Ayana. Pandangannya kemudian kembali pada Ayana yang pucat.
Henry tidak yakin apakah asumsinya itu benar, tapi ia lebih percaya bahwa itu tidak benar.
Ayana sudah memiliki kekasih dan ia sangat mencintai Felix. Adik angkatnya itu juga tidak pernah salah tingkah atau berusaha mencari perhatian semua rekan bisnisnya.
Seluruh hatinya seolah sudah diserahkan untuk mencintai sang pemain hoki nomor satu di London tersebut.
“Ayana, kau sakit?” Henry mengangkat tangannya dan meletakannya di atas kening Ayana saat gadis itu tak juga kunjung menjawab. “Ayana apa yang terjadi pada mu, kenapa dengan bibir mu dan apa ini?” Henry menyingkirkan helai rambut Ayana yang menutupi lehernya, bercak kemerahan memenuhi lehernya membuat Ayana nampak sangat malu sekarang. Tadi ia buru-buru keluar dari hotel tanpa mempertimbangkan bercak di lehernya itu.
“Ayana jawab kakak! Apa Felix melakukan sesuatu pada mu hah?” Henry menarik ujung dasinya dengan kasar. Wajahnya penuh dengan amarah.
Dengan mata berair Ayana menoleh pada Aaron yang masih tersenyum tanpa dosa padanya. Senyum pria itu terasa begitu menjijikan baginya.
Karena tak juga mendengar jawaban dari Ayana, Henry bergegas mengambil ponselnya.
“Kakak akan bicara padanya, brengsek!”
Ayana menggeleng dengan cepat dan meraih ponsel yang masih ada dalam genggaman Henry.
“Dia tidak melakukan apapun pada ku…”
“Ayana jangan membelanya!”
“Felix tidak pernah menyentuh ku kak!” Napas Ayana tercekat oleh air mata. Ia yakin baik Henry maupun Aaron pasti akan menangkap tremor yang muncul pada tubuhnya. “Semalam aku tidak sengaja meminum Tequila…” Ujar Ayana berbohong membuat Henry sedikit menghembuskan napas lega.
***
To be continued
“Kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi, Aaron?” Tanya Henry menatap tidak percaya pada Aaron yang berdiri di hadapannya. Ditangan Henry, sebuah dokumen dengan tanda tangan emas milik Aaron Xavier membuat pria itu mengulas senyum lebarnya seolah masih berada dalam mimpi. Aaron mengangguk singkat, iris matanya terlepas dari Ayana yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Kau urus sisanya, tapi ingat jangan sampai terburu-buru lagi seperti kemarin. Kau hampir membuat banyak karyawan mu kehilangan pekerjaan.” Tandas Aaron membuat Ayana yang mendengarnya nyaris menumpahkan seluruh isi perutnya. Oh pria itu bertingkah seolah ia adalah penyelamat seluruh umat. Bahkan lebih baik dari seorang pendeta. Ayana memegang erat ujung gaunnya selama perbincangan Aaron dan Henry berlangsung. Seluruh tubuhnya sakit, namun ia masih harus memastikan bahwa apa yang dijanjikan Aaron benar-benar ditepati oleh pria itu. Sekian detak jantung perbincangan Aaron dan Henry terkait kerjasama bisnis antara
Sepanjang hidupnya, ini kali pertama Ayana benar-benar sangat kesal pada kakaknya, Henry. Tidak hanya menjamu Aaron dengan makan malam, Henry juga mengajak Aaron mengobrol santai didekat kolam dibelakang rumah mereka yang mengarah ke jembatan kota yang mewah. Dan yang paling menyebalkan adalah mau tidak mau ia harus ikut. Ia duduk disana seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Ketiga orang itu terlibat percakapan bisnis yang sedikit sulit dipahami Ayana. Ayana hampir menguap lebar saat panggilan suara dari Mattew seperti utusan dari surga yang baru saja menyelamatkan nyawanya. “Halo Mattew,” Jawab Ayana sengaja mengeraskan suaranya demi bisa berjalan menjauh dari ketiga orang yang sekarang sedang menatapnya itu. Baiklah mereka pasti akan mengerti ia sedang menjawab telepon masuk bukan? “Mattew, kau memang benar-benar menyelamatkan ku…” Ayana menghembuskan napas panjang dengan perasaan lega dan baru saja ingin kembali bersuara ketika suara panik Mattew terdengar menyambut
Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang. Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron. Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu. “Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak. Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya. “Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles. Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sin
Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya. Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman. Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya. “Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat. Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus
Ferrari metalik milik Aaron berhenti sempurna didepan pagar rumah keluarga Giordano, yang berada di kawasan Compton Avenue. Di sebelahnya gadis cantik dengan rambut panjang yang sedikit berantakan itu menoleh padanya dengan tatapan datar. “Kau tidak mau aku antar sampai didalam?” Tanya Aaron usil. “Tidak! Jika kau ingin bertemu Hana gunakan cara lain. Aku tidak ingin ia bertanya-tanya kenapa kita datang bersama.” Ayana melepas seat belt nya hendak beranjak keluar ketika sesaat kemudian ia menghentikan gerakannya dan menatap Aaron. “Aku tidak berniat menemui Hana...” “Aaron,” Ayana memanggil nama pria itu pelan namun terdegar tajam, mencegahnya berbicara lebih lanjut. “Lain waktu jika kebetulan kau melihat ku seperti hari ini sebaiknya berhenti ikut campur, terutama di rumah sakit. Mereka semua tahu aku punya kekasih, mereka mungkin akan berpikir aku punya banyak kekasih.” Tandas Ayana sebelum menutup pintu mobil dengan sebuah hentakan keras. Aaron mengangkat alisnya tinggi dan be
Dari kejauhan Ayana bisa melihat Felix yang sudah berjalan keluar dari tempat loker dan berjalan menujunya. Sudah sejak tadi Mattew mengajarinya cara tersenyum didepan Felix, jadi ia harus bisa melakukannya.Ayana menarik sudut bibirnya ketika Felix membentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.Ayana menurutinya, ia juga rindu pada Felix. Ayana memejamkan matanya saat Felix mencium puncak kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dada nya.“Aku merindukan mu.” Bisik Felix membuat senyum Ayana semakin terbuka lebar.“Maaf, aku baru seminggu di rumah sakit, banyak yang harus aku lakukan.” Ayana melepas pelukannya dari Felix, tangannya bergerak merapikan anak rambut Felix yang terjatuh dikening pria itu.“Tentu saja aku paham, aku punya kekasih dokter, jadi aku harus bisa menerima kesibukannya.” Felix mencubit lembut pipi Ayana sebelum menarik gadis itu beranjak dari sana. “Oh ya bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa ada kendala?”Ayana menggeleng pelan sambil ikut melingkarkan tangannya dipingga
Lirikan mata Ayana terlepas dari tatapan Aaron yang menatapnya seperti seekor kucing yang siap menangkap santapannya.Setelah beberapa detik Ayana mengangguk dengan senyum kecilnya sebagai jawaban atas pertanyaan Henry. Tangannya sudah sibuk menyingkirkan tumpukan file yang berada di atas meja kerja Henry.“Aku bawa desert kesukaan mu. Kau harus habiskan sebelum aku pergi.” Ayana mengeluarkan desert yang ia bawa tadi dari dalam paper bag lalu mulai menatanya di atas meja kerja Henry.“Hm, jadi kau sedang mengancamku, Ayana? Baiklah.” Henry mendorong tempat desert tadi ke depan Aaron dan mempersilahkan pria itu untuk mengambilnya juga.“Cobalah, ini enak.” Ucap Henry dengan wajah sumringah, seolah desert itu dibuat sendiri oleh tangan Ayana. Aaron menyandarkan punggungnya santai saat iris matanya tertuju pada Ayana yang juga sedang menatap tajam padanya, ia yakin Ayana pasti sedang menahan kesal. Mata gadis itu seolah memiliki pedang di dalamnya. Ayana seakan mengancam Aaron agar tida