Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya.
Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman.
Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya.
“Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat.
Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar ruangan.
Dengan naluri sebagai seorang dokter, Ayana kembali meletakan dokumen yang di pegangnya dan berlari keluar. Tepat didepan ruangannya seorang wanita muda kisaran tiga puluhan akhir nampak sedang mengeluhkan kinerja para perawat di rumah sakit. Sedangkan seorang pria yang tampak lebih tua dari wanita itu nampak duduk di atas kursi roda.
“Ada apa Bel?” Tanya Ayana pada Belle, salah satu perawat disitu.
“Dia pasien dokter Richard, dia baru keluar rumah sakit dua hari yang lalu, tapi istrinya kembali dan marah-marah katanya ada tindakan yang salah sehingga penyakit suaminya semakin parah.” Bisik Belle pada Ayana yang kemudian membawa tatapannya pada pria yang duduk di atas kursi roda itu.
“Lalu dimana dokter Richard? Kenapa kalian tidak membawanya pada dokter Richard?” Tanya Ayana sedikit khawatir, melihat wanita itu semakin membentak-bentak para perawat.
“Dokter Richard masih dalam perjalanan, shiftnya baru mulai jam empat sore.” Jawab Belle masih berbisik.
Ayana membasahi bibirnya dan saat ia membawa pandangannya ke area rumah sakit yang lebih luas, pandangan orang-orang yang berlalu lalang disana semakin banyak. Terutama para pasien dan kerabat mereka yang mungkin sedang berkunjung.
“Bilang yang lain untuk mengurus kerumunan, aku akan mencoba berbicara dengannya.” Perintah Ayana membuat Belle mengangguk paham lalu dan berlalu dari sana dengan seorang perawat lainnya.
“Nyonya, aku dengar suami anda adalah pasien dokter Richard, kalian bisa menunggu didepan ruangannya, ia masih dalam perjalanan kesini.” Ucap Ayana mulai menenangkan wanita yang masih tidak ingin tenang tersebut meski sudah berbicara dengan para perawat disana.
“Aku tidak ingin dokter Richard lagi, ganti dokter suami ku dengan dokter lain saja. Kami membayar mahal untuk rumah sakit ini, jika suami ku tidak ditangani dengan baik maka apa gunanya kami membayar mahal?” Wanita itu masih terus meloncatkan amarahnya yang kini tertuju pada Ayana.
“Baiklah, tapi anda dan suami anda perlu berkonsultasi kembali ke dokter Richard, ia perlu tahu sebelum merekomendasikan anda ke dokter lain.” Ucap Ayana lagi masih berusaha tenang.
Wanita tadi menatap Ayana dari dari ujung kepala kemudian berhenti pada name tag yang digunakan gadis itu.
“Dokter Ayana Giordano? Anda seorang dokter tapi ingin melihat suami ku mati disini hah? Kenapa anda tidak menanganinya sekarang saja? Lihat, tidak ada dokter yang mau menangani masalah ini. Kami harus menunggu sampai kapan?” Wanita itu membawa pandangannya dengan tangan kanan yang terangkat dan menunjuk asal.
“Tapi saya bukan spesialis dokter onkologi.” Ayana berusaha memberi penjelasan pada wanita tersebut. “Baiklah saya akan coba menghubungi dokter lain dibidang ini aarh…” Ayana belum menyelesaikan ucapannya ketika tangan wanita itu terangkat dan tanpa diduga-duga di tangannya sudah terdapat sebuah pisau lipat yang baru saja menggores bagian dalam permukaan tangan Ayana.
Ayana cukup kaget pada kejadian yang baru saja terjadi, begitu cepat hingga ia tidak cukup yakin apakah tangannya benar-benar terluka saat ini.
“Periksa suamiku sekarang jika tidak aku akan membuat keributan di rumah sakit ini!” Teriak wanita itu didepan wajah Ayana saat beberapa perawat pria disitu mendekat untuk melindungi Ayana. “Aku mohon dokter.” Ucap wanita itu dengan suara yang mulai gemetar, membuat Ayana yakin wanita itu hanya ingin menyelamatkan suaminya, sebenarnya ia pun penuh dengan ketakutan saat ia berteriak dan marah-marah.
“Aku sangat ingin membantu tapi,” Ayana membasahi bibirnya merasa iba melihat wanita itu dan suaminya.
“Apa kau ingin suami mu salah di diagnosis lagi?” Sebuah suara berat terdengar dari belakang Ayana membuat tidak hanya Ayana yang menoleh tapi orang-orang di sekitarnya juga. “Kau tidak dengar tadi yang dia katakan? Dia bukan dokter onkologi. Suami mu bisa salah dikasih obat.” Suara Aaron Xavier yang seksi dan berat berhasil membuat para perawat kembali tersenyum cerah saat menatapnya.
“Tapi jika…”
“Jika kau ingin suami mu mendapatkan pengobatan yang tepat maka kau harus sedikit bersabar, entah menunggu dokter spesialis suami mu saat ini atau dirujuk ke dokter lain.” Aaron memasukan kedua tangannya saat berbicara dengan wanita itu.
“Kau sudah menghabiskan waktu mu dengan marah-marah, jika kau mencari solusi lain dengan tenang, suami mu mungkin tidak akan sepucat sekarang.” Aaron berhasil membuat wanita tadi membisu, entah karena baru mengerti bahwa apa yang ia lakukan sejak tadi salah atau terpesona dengan ketampanan Aaron Xavier.
Setelah sekian menit dalam keheningan, akhirnya wanita itu baru mengangguk dan mengikuti arahan perawat yang membawanya ke ruangan tunggu spesialis onkologi.
Setelah kerumunan didepan ruangannya pergi, Ayana baru berbalik ingin masuk ke ruangannya tanpa ingin mengatakan sepatah katapun pada Aaron. Ah sial ia terlalu malu untuk berterima kasih pada pria itu. Lagi.
Demi Tuhan, ia baru bertemu Aaron minggu lalu dan ia sudah banyak berhutang terima kasih padanya.
“Apa kau lupa cara mengatakan terima kasih pada orang yang sudah menolongmu?” Tanya Aaron, yang hingga detik ini belum mendengarkan Ayana mengatakan terima kasih padanya.
Hei, apa gadis itu lupa sudah berapa kali ia menolongnya? Ya walaupun Ayana tidak meminta bantuannya, tapi tetap saja itu sudah aturan alam bukan.
Ayana menarik napasnya pelan, mencoba untuk membuka mulutnya berbicara dengan Aaron yang mengikutinya masuk ke dalam ruangan.
Namun tidak bisa, sesuatu dalam diri Ayana seolah menolak berterima kasih pada Aaron. Sejak awal Ayana tidak menyukai pria itu, jadi hal baik apapun yang dilakukan Aaron tidak pernah menyentuh hati kecilnya.
Langkah Ayana terhenti didepan sebuah lemari putih disudut ruangan, tangan kirinya yang tidak terluka menarik keluar kotak berukuran sedang dari dalam sana. Berniat untuk mengobati luka goresan di tangan kanannya.
“Duduklah,” Tanpa diduga Aaron menarik kotak yang dipegang Ayana tersebut lalu menarik gadis itu untuk duduk pada sofa berwarna grey yang berada tidak jauh dari meja kerjanya. Aaron pun ikut duduk disana. “Berikan tanganmu.” Tanpa menunggu ijin Ayana, Aaron sudah menarik tangan kanan gadis itu untuk di obati.
“Aku bisa sendiri.” Tandas Ayana menarik kembali tangannya.
“Akhirnya kau bisa bicara, aku pikir kau sangat terluka dengan ucapan wanita tadi.” Ledek Aaron yang sudah mengambil pembersih dari dalam kotak obat.
Iris mata Ayana bergerak mengikuti pergerakan Aaron, oh ia lebih takut disakiti pria di depannya ini.
“Aku lebih takut kau sakiti.” Tandas Ayana asal membuat Aaron mengangkat wajahnya dan menatap wajah cantik dokter muda di depannya itu.
“Kita belum memulai kenapa kau sudah takut tersakiti?”
***
To be continued
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus
Ferrari metalik milik Aaron berhenti sempurna didepan pagar rumah keluarga Giordano, yang berada di kawasan Compton Avenue. Di sebelahnya gadis cantik dengan rambut panjang yang sedikit berantakan itu menoleh padanya dengan tatapan datar. “Kau tidak mau aku antar sampai didalam?” Tanya Aaron usil. “Tidak! Jika kau ingin bertemu Hana gunakan cara lain. Aku tidak ingin ia bertanya-tanya kenapa kita datang bersama.” Ayana melepas seat belt nya hendak beranjak keluar ketika sesaat kemudian ia menghentikan gerakannya dan menatap Aaron. “Aku tidak berniat menemui Hana...” “Aaron,” Ayana memanggil nama pria itu pelan namun terdegar tajam, mencegahnya berbicara lebih lanjut. “Lain waktu jika kebetulan kau melihat ku seperti hari ini sebaiknya berhenti ikut campur, terutama di rumah sakit. Mereka semua tahu aku punya kekasih, mereka mungkin akan berpikir aku punya banyak kekasih.” Tandas Ayana sebelum menutup pintu mobil dengan sebuah hentakan keras. Aaron mengangkat alisnya tinggi dan be
Dari kejauhan Ayana bisa melihat Felix yang sudah berjalan keluar dari tempat loker dan berjalan menujunya. Sudah sejak tadi Mattew mengajarinya cara tersenyum didepan Felix, jadi ia harus bisa melakukannya.Ayana menarik sudut bibirnya ketika Felix membentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.Ayana menurutinya, ia juga rindu pada Felix. Ayana memejamkan matanya saat Felix mencium puncak kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dada nya.“Aku merindukan mu.” Bisik Felix membuat senyum Ayana semakin terbuka lebar.“Maaf, aku baru seminggu di rumah sakit, banyak yang harus aku lakukan.” Ayana melepas pelukannya dari Felix, tangannya bergerak merapikan anak rambut Felix yang terjatuh dikening pria itu.“Tentu saja aku paham, aku punya kekasih dokter, jadi aku harus bisa menerima kesibukannya.” Felix mencubit lembut pipi Ayana sebelum menarik gadis itu beranjak dari sana. “Oh ya bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa ada kendala?”Ayana menggeleng pelan sambil ikut melingkarkan tangannya dipingga
Lirikan mata Ayana terlepas dari tatapan Aaron yang menatapnya seperti seekor kucing yang siap menangkap santapannya.Setelah beberapa detik Ayana mengangguk dengan senyum kecilnya sebagai jawaban atas pertanyaan Henry. Tangannya sudah sibuk menyingkirkan tumpukan file yang berada di atas meja kerja Henry.“Aku bawa desert kesukaan mu. Kau harus habiskan sebelum aku pergi.” Ayana mengeluarkan desert yang ia bawa tadi dari dalam paper bag lalu mulai menatanya di atas meja kerja Henry.“Hm, jadi kau sedang mengancamku, Ayana? Baiklah.” Henry mendorong tempat desert tadi ke depan Aaron dan mempersilahkan pria itu untuk mengambilnya juga.“Cobalah, ini enak.” Ucap Henry dengan wajah sumringah, seolah desert itu dibuat sendiri oleh tangan Ayana. Aaron menyandarkan punggungnya santai saat iris matanya tertuju pada Ayana yang juga sedang menatap tajam padanya, ia yakin Ayana pasti sedang menahan kesal. Mata gadis itu seolah memiliki pedang di dalamnya. Ayana seakan mengancam Aaron agar tida
Aaron mengangkat satu alisnya pada Emma, sementara wajah Emma langsung berubah menjadi begitu manis. Oh ya Tuhan Ayana semakin yakin gadis itu punya dua kepribadian.“Eh… oh… Sorry.” Emma menurunkan tangannya kemudian merapikan rambutnya yang tidak berantakan menurut Ayana. Sementara Aaron masih menatapnya tajam tanpa bersuara.“Ayana,” Aaron memanggil Ayana. Suaranya serak, dalam, seksi seperti biasa.“Ya.” Ayana menjawab malas. Ia masih tidak puas membalas mulut Emma yang menghinanya tadi.“Bukankah kau harus kembali bekerja. Aku harus menepati janji ku pada Henry.”“Hm, tentu saja aku harus pergi jika tidak seseorang tidak akan bisa menemui kakakku.” Ayana menatap jijik pada Emma yang sudah seperti cacing kepanasan. Gadis itu pasti sangat kesal padanya tapi harus menahan diri karena ada Aaron disana.Ayana berjalan mendahului Aaron menuju lift dan mereka hanya berdua. Entah dimana karyawan-karyawan Henry yang tadi berlalu-lalang?“Emma menyukai Henry dan apa yang salah dengan itu?
Sesampainya di rumah sakit, Ayana langsung merogoh tas dan mencari ponselnya. Ia butuh vitamin Felix untuk menghilangkan virus Aaron barusan. Badannya panas dingin dan sedikit gemetar. Seperti ada lonjakan adrenalin.Ini bukan ciuman pertamanya, jadi kenapa harus separah ini rasanya? Ah ya, akhirnya Ayana sadar, karena ia di cium si brengsek Aaron cabul yang sialnya adalah teman Henry sekaligus mantan kekasih Hana. Dan mungkin saja disaksikan oleh petugas keamanan di ruangan CCTV lift. Demi Tuhan.Ayana memukul keningnya dengan benda tipis yang berada di tangannya sebelum melihat ada sebuah pesan singkat masuk dari Felix.Kita baru bertemu tadi tapi aku sudah merindukan mu :*Melihat emoticon kiss yang dikirim Felix sukses membuat Ayana mendengus kesal. Tega-teganya Aaron padanya, apa pria itu begitu benci padanya sejak pertemuan pertama mereka? Felix bahkan tidak pernah mencium bibirnya sebrutal yang dilakukan Aaron, tapi pria itu bahkan sudah menidurinya.Ayana mengusap bibirnya den
“Babe, aku tidak bisa menjemput mu pagi ini. Kami harus berkumpul untuk mulai latihan lebih pagi.” Suara Felix terdengar memelas dari ujung telepon.Ayana menyisir rambut tebalnya dan bersandar malas didekat jendela. Gadis itu menghela napas panjang sebelum mengiyakan permintaan maaf dari Felix.Sudah hampir satu bulan ia kembali ke London tapi ia baru dua kali bertemu dengan Felix. Ayana tidak yakin kesibukan masing-masing membuat mereka jadi jarang bertemu, namun dulu saat berada di Los Angeles, Felix bahkan sangat rajin menghubunginya, dalam sehari pria itu bisa melakukan tiga sampai lima kali panggilan video demi bisa melihat wajahnya. Sekarang mereka sudah berada di kota yang sama, tidak ada jarak lagi yang memisahkan namun rasanya lebih sulit menghubungi Felix dibanding saat mereka menjalani hubungan jarak jauh.“Tidak… tidak Ayana, kau yang terlalu sibuk, kau yang menghindarinya beberapa waktu lalu.” Ayana menutup wajahnya dengan kedua tangannya menghela napas panjang.Ia yakin
Alis Ayana terangkat menatap gadis itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Oh dia cantik dan seksi tapi apa tidak terlalu murah? Ayana tidak salah dengar, gadis itu baru saja menawarkan dirinya pada Aaron.Ayana menarik sudut bibirnya dan tersenyum tipis. Gadis itu jelas tahu apa yang lebih di inginkan Aaron.Tentu saja penawaran yang menyenangkan bukan? Seperti ia yang menjadi korban Aaron. Kali ini gadis itu dengan rela hati menawarkan dirinya pada Aaron Xavier. Pria itu tidak perlu bernegosiasi.“Regan, kau memang adik ku yang manis. Kau bisa dengar itu Aaron. Aku hanya perlu waktu.” Ucap Robert membuat Ayana berbalik dan menatapnya dengan jijik.“Dia adikmu, apa kau gila?” Tangan kanan Ayana terangkat mengarah bolak-balik pada kedua kakak beradik itu.“Kau tidak lupa sudah membuat janji dengan ku malam ini bukan?” Regan mengabaikan Ayana, gadis itu bergerak mendekati Aaron.Ayana mengangkat pundaknya masa bodoh, dengan santai ia beranjak keluar dari sana. Ia tidak peduli dengan apa y