Maafkan baru up setelah menghilang beberapa hari ya. Kuharap kalian berbaik hati memberikan rate buat karya ini.
Lina tengah membolak-balikkan majalah fashionnya ketika melihat Laila melintas menuju dapur. Laila yang sudah sejak tiga hari lalu tak dilihatnya, sejak malam itu wanita kampung itu mengurung diri di kamar anaknya.Lina geram. Semakin geram saat menyadari bahwa terdapat bercak merah-merah di sekitar leher Laila yang terkespos. Rambut wanita itu diikat tinggi layaknya ekor kuda sehingga menampakkan leher jenjang yang putih dengan bekas merah-merah yang Lina yakin bahwa itu adalah perbuatan anaknya. Lina bersumpah dalam hatinya bahwa ia tak akan menerima cucu yang dikandung perempuan itu.Lina segera menyeret Laila yang baru saja keluar dari dapur. Laila sudah berdandan rapi karena sesuai permintaan Malik, suaminya itu akan membawanya ke rumah sakit untuk kontrol luka di lengannya. Tapi tiba-tiba mertuanya menyeretnya ke kamar wanita enam puluh tahun itu. Laila sempat terkejut dan membelalak dengan langkah terseret.Tangan Laila dihempaskan begitu pintu kamar itu menutup dengan meningga
“Aneh apa sih, Mas. Biasa aja. Ayo, nanti keburu malam.” Laila buru-buru melepas seatbeltnya. Masing memalingkan muka dari suaminya agar tak ketahuan menyembunyikan sesuatu.Sementara Malik masih mengernyit mengikuti gerakan Laila yang serampangan. Wanita itu jelas sedang menyembunyikan sesuatu, dan ia tidak bisa memaksa Laila untuk mengungkapkannya padanya. Bisa jadi, Laila akan semakin tidak nyaman nantinya.Malik melepaskan seatbeltnya dengan cepat lalu dengan cepat pula mensejajari langkah Laila. Menggandeng tangan wanitanya hingga membuat Laila sempat berjengit.“Tahan sakitnya sebentar ya, Mbak. Akan sakit karena beberapa bulu ikut menempel di plesternya.” Kata seorang perawat yang sedang akan membuka perban luka Laila.Sedangkan wanita yang diajak bicara hanya melamun sambil sesekali meringis. Sakitnya karena bulu tangannya yang ikut tercabut rasanya tak sepadan dengan sakit di hatinya karena hinaan sang ibu mertua. Kilasan ingatan tentang dilemparnya amplop cokelat bersama kat
Di sepanjang jalan dari Jakarta menuju cianjur, kata-kata yang dilontarkan Laila hanya seputar perpisahan, ditinggalkan atau meninggalkan dan juga pengkhianatan. Perempuan itu seolah sedang memberikan kode-kode pada setiap ucapannya yang tidak dimengerti oleh Malik. Tapi berhasil membuat Malik gelisah sepanjang perjalanan itu.Ucapannya yang kemarin pun masih memenuhi kepala Malik. Tentang Malik yang akan berpaling darinya jika ia tidak berada di sampingnya. Ucapan itu terus terngiang di kepalanya tanpa mampu dicegahnya. Perasaannya makin diperjelas saat Laila terus-menerus menceritakan soal kepergian – ditinggal atau meninggalkan-.Malik terkesiap saat Laila tiba-tiba tersedu begitu berpelukan dengan ibunya. Wanita itu seakan mengatakan bahwa dirinya tidak baik-baik saja selama tinggal di kota. Atau hanya perasaan malik saja. Mungkin seperti itu biasanya jika anak perempuan jauh dari orang tuanya. Dia tak mengerti karena tidak memiliki saudara perempuan.Malik bertambah bingung saat
“Kok jadi diam? Lail ganggu ya? Ya udah dilanjut lagi ngobrolnya. Lail ke belakang lagi.” Katanya sembari mendekap nampan di depan dadanya. Malik mengusap lembut lengannya agar Laila mau memandangnya. Mata hitamnya ia ubah selembut mungkin saat menatap sang istri. Seakan ingin menyalurkan kegelisahannya pada istrinya yang pada dasarnya adalah penyebab kegelisahan itu.“Bantu Ibu siapkan makan siang. Sudah lewat waktunya sebenarnya. Kalian belum makan apa-apa dari tadi?” Pinta Bapak pada Laila dan dibalas anggukan darinya.Rasanya Malik sudah tak tahan ingin berduaan dengan Laila. Dia begitu banyak membuang waktu hingga istrinya terasa semakin menjauh darinya walaupun raganya menempel padanya. Setelah penyatuan yang mereka lakukan kemarin, Malik merasa menyentuh istrinya saja tidak pernah cukup baginya.Sebenarnya, usapan pada Laila beberapa saat yang lalu saja sudah menggetarkan dadanya, sentuhan itu seperti sengatan listrik yang mengenai ujung-ujung syaraf di jarinya hingga mengalirk
Sore itu Laila berhasil mengalihkan perhatian suaminya dari kegelisahan dirinya sendiri sekaligus membawa Malik pada pergumulan panas untuk kedua kalinya bagi mereka. Di luar masih cukup terik hingga udara panas di dalam kamar menjadi dua kali lipat panasnya karena perbuatan mereka. Titik-titik keringat sisa penyatuan itu masih melekat menghiasi dahi Malik yang kini lunglai. Sementara Laila merebahkan diri di sampingnya dengan senyum mengembang tapi perih.Desir angin yang samar-samar meniupkan dedaunan dan ranting hingga bergemirisik menjadi bunyi latar belakang mereka sore itu. Syahdu dan nikmat. Setidaknya itulah yang dirasakan Malik. Sementara Laila, meski tersenyum nyatanya hatinya diliputi kepedihan mendalam karena rencana kabur meninggalkan suaminya. Sembilu di hatinya semakin mengiris pedih karena Malik yang terus mengecupi keningnya seusai penyatuan kedua mereka.Laila sudah bergerak ke kamar mandi meninggalkan Malik yang masih berbaring telungkup di ranjangnya yang berantaka
Mobil Malik melaju membelah jalanan beton yang kuat yang menghubungkan Cianjur dan Kota Jakarta. Laila belum mengatakan apapun atau menjelaskan apapun padanya soal kepulangan mereka yang sangat mendadak. Dua hari ini Laila semakin bertingkah sekehendak dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Malik hanya diam menunggu Laila yang berinisiatif menjelaskan. Namun kenyataannya, sepanjang jalan itu Laila hanya menceracau tentang hal remeh temeh. Padahal, ia sudah membantunya memperlancar kebohongannya pada sang Ibu walau Malik masih tidak sadar bahwa Laila benar-benar berbohong. Malik merasa bersalah pada mertuanya yang terlihat sangat kecewa pada mereka.Mobil mereka sudah berhenti di carport rumah Bagaskara. Keduanya masih bergeming, tidak ada satupun yang memulai membuka pintu. Laila kira, Malik akan segera membukakan pintunya. Melakukan hal-hal romantis speerti yang ia tonton di film-film. Sementara Malik kira, Laila diam karena akan menjelaskan apa yang ia ingin ketahui.
Tok Tok Tok “Masuk!” Teriak Malik dari dalam ruangannya. “Selamat siang Bapak Malik. Saya bawakan makan siang untuk Bapak..” Sapa Laila dengan nada seceria mungkin sambil mengangkat tentengan bekal makan siang, tak lupa ia mengulas senyum secantik mungkin agar dingin es di hati suaminya mencair. Di meja singgasananya, Malik mengulas senyum tipis. Tipis sekali sampai Laila tak menyadarinya. Tapi jelas matanya berpendar bahagia. Hatinya menghangat, rasa penat karena permalasahan di perusahaan tiba-tiba hilang karena senyuman istrinya. Pundaknya yang sedari kemarin terasa berat, kini ringan karena kedatangan istrinya yang membawa bekal untuknya. “Kemarilah..” Kata Malik. dan tidak perlu waktu lama, Laila sudah berada di depan meja suaminya. Meletakkan bekal makan siangnya di antara tumpukan berkas-berkas yang tidak dimengerti Laila. Meja itu penuh dengan tumpukan map, kertas, berkas, tablet da laptop yang semuanya menyala menunjukkan tabel-tabel. Semuanya itu cukup menunjukkan pada L
Sore itu, hujan dengan intensitas ringan menyambut kepulangan Laila dari kampus. Laila melangkah dengan hati ringan karena urusannya dipermudah oleh Tuhan. Benar-benar dipermudah. Mungkin ini yang dinamakan berkah menikah. Ah, dan yang pasti adalah doa dari orang tuanya.Beberapa saat yang lalu, Dosen pembimbingnya bersedia memberikan bimbingan hari itu juga setelah Laila menghubunginya beberapa menit sebelumnya. Laila mengajukan objek penelitiannya berikut dengan rumah sakit yang akan dia gunakan sebagai rujukan. Juga hipotesa penelitiannya sebagai gambaran besar yang akan menuntun langkahnya dalam penelitian itu. Dosennya tak banyak berkomentar, hanya sedikit memberikan saran sekaligus sebuah kartu nama seorang dokter psikiater yang akan membantu Laila.“Hubungi beliau, dan katakan padanya bahwa kamu mahasiswa saya. Beliau akan membantumu.”Betapa terkejutnya Laila. Tentu saja wanita itu senang bukan kepalang. Seperti kata pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Laila tidak