La ceiba adalah sebuah pulau dengan pantai yang indah. Orang-orang San Pedro kerap kali mengunjungi Pelican Reef Resort yang terkenal dari La Ceiba, untuk berbulan madu. Namun, membutuhkan waktu hampir setengah hari untuk datang ke pulau itu. Dan biasanya harus menyewa kapal untuk menyeberang pulau.
“Berita buruk?” Anais bertanya dengan kening mengerut. Siegran segera membungkuk, lalu membalas, “mohon maaf, Nyonya. Saya sudah lancang.” Dia menatap River, dan mendapat kode untuk tutup mulut. “Bukankah Mommy mau pergi?” tukas River datar. Anais mengangkat sebelah alisnya seraya membalas, “jadi kau mengusir Mommy?” “Saya dan Siegran harus membahas pekerjaan. Saya tidak bisa fokus jika ada Mommy,” sahut River tanpa mengubah ekspresi. “Dasar, berandal. Mommy akan melepasmu kali ini, tapi jangan lupakan janjimu, Reins!” Anais pun keluar dari ruangan tersebut. Siegran menutup pintu, lalu memberi hormat pada River. “Katakan,” tukas CEO Hera Group itu sembari duduk di kursi kerjanya. “Tawanan itu bunuh diri, Tuan!” sahut Siegran yang sontak membuat tatapan River menajam. “Saya baru saja menerima pesan dari orang-orang yang menjaga di markas. Sepertinya gangster itu menelan semacam racun, hingga mulutnya berbusa.” Tangan River mengepal, otot lehernya menonjol seolah akan meledaka
Warning: chapter ini mengandung konten 21+***[Mohon maaf, Tuan. Pelayan Fantazia itu sudah meninggal satu bulan lalu]Sebuah pesan disertai foto makam Benji muncul di ponsel River.Berita itu seketika membakar amarah River. Dia meraih alkohol berkadar tinggi dan langsung meneguknya dari botol.‘Para bajingan sialan! Beraninya mereka mati sebelum aku menangkapnya!’ batin River mendengus.Ya, baik Benji ataupun anggota gangster yang berhasil ditawannya malah mati. River kehilangan semuanya, kini akan sulit untuk menuntut Ludwig dan Alfred.River ambruk ke sofa ruang kerjanya. Walau kepalanya berdenyut, tapi dia tak berhenti menenggak alkohol. Terlebih saat mengingat laporan anak buahnya tentang Benji, malah semakin mengamuk hingga melempar botol alkoholnya ke dinding.Suara pecahan itu, sontak menarik perhatian Adeline yang baru pulang. Dia bergegas naik ke lantai atas untuk mengeceknya.‘Mengapa semua lampu di sini mati? Apakah ada pencuri yang menyusup ke tempat ini?’ geming Adeline
Cairan hangat yang menggenangi tubuhnya, membuat Adeline sadar. Dia bangkit dari dada River yang sedari tadi dibuatnya bersandar.“Kau sudah bangun?” bisik pria itu dengan suara serak.Adeline menutupi payudara dengan kedua tangan seraya mendecak, “kau memandikanku?”Ya, usai membuat Adeline pingsan karena permainan ganasnya, River membawa istrinya itu ke kamar mandi. Dia memangku dan memeluk Adeline dalam bak mandi yang dipenuhi air hangat.“Tidak perlu menutupinya, aku kan sudah melihat dan mengigitnya,” tutur River yang seketika membuat wajah Adeline merona.“Be-berhenti bicara seperti itu!” sahut Adeline canggung.River menyeringai tipis, lalu menjawab, “mengapa? Kau malu? Bukankah tadi kau sangat bersemangat sampai memintaku menusukmu lebih dalam?”“Hei, berhenti atau aku akan—”“Akan apa? Melakukan ronde dua di sini?” sambar River menaikkan sebelah alisnya.Adeline sekejap berpaling dan mencibir, “dasar gila!”Dia berniat bangkit, tapi River segera memeluknya dari belakang.“Kau
“Sa-saat itu Freya mengajakku ke Club Fantazia untuk bridal shower sebelum pernikahan kalian.” Bianca berkata tanpa melihat River.Namun, River justru menajamkan pandangan. Dia mendekati Bianca, kedua tangannya menekan meja seolah mengintimidasi wanita itu.“Freya mengajakmu? Kau pikir aku tidak tahu Freya wanita seperti apa?!” decak River dingin.“Kau tidak percaya padaku? Jika aku berbohong, aku tidak akan menyerahkan rekaman itu, Reins!” sahut Bianca berdalih.River yang tahu kebiasaan Bianca saat berdusta, kini menyeringai samar.“Kau tidak berubah, Bianca. Saat berbohong kau selalu mengigit bibir dan matamu bergetar,” tukasnya yang sontak membuat wanita itu membelalak.“Jujurlah sebelum kau menyesal!” sambung River lebih tajam, ada aura mengerikan dalam ekspresinya.Mendengar ancaman itu, Bianca langsung panik. “Ti-tidak, Reins. Mengapa kau meragukanku?”“Baiklah, lupakan kerjasama Hera Group dan—”“Ya, aku berbohong!” sambar Bianca cepat. “Aku yang mengajak Freya datang ke Fanta
Harusnya Saya Membunuhnya***“Kau sudah siap?” tutur River di depan kamar Adeline.Tak ada sahutan, jadi River pun mengetuk pintu itu.“Adeline? Aku akan masuk.”Sementara di dalam, Adeline tak mendengar River karena terlalu fokus memakai dress. Dia kesulitan mengikat tali di bagian punggungnya.“Aish, susah sekali. Mengapa rubah itu memberiku gaun seperti ini?!” gerutunya kesal pada River.Ya, gaun merah dengan model telanjang punggung itu, memiliki tali yang cukup rumit. Tentu saja Adeline kesulitan memakainya.“Siapa yang kau panggil rubah, hm?” bisik River dari belakang.Adeline sontak terkejut, lehernya menegang saat menyadari River masuk dan kini tepat berdiri di belakangnya.“Sejak kapan kau ada di sini?” tukas wanita itu menatap River dari cermin.“Kalau susah, harusnya kau minta bantuan, istriku,” bisik River meraih tali dress Adeline.Dia membongkar simpulnya, mengikat ulang tali itu lalu menarik pinggul sang istri hingga merapat padanya. Sial, desiran aneh mengalir saat t
***“Argh, sialan! Beraninya dia menangkap putraku!” Sabrina melempar vas ke dinding.Usai tau bahwa River melaporkan Ludwig ke polisi, Nyonya Daniester itu murka. Bahkan yang membuatnya terkejut adalah saat Mickey memberitahunya bahwa River dulu nyaris menikah dengan Freya.Dengan wajah memanas, Sabrina mendecak, “menarik, ternyata anjing Herakles itu sengaja mendekati keluarga Daniester dan menikahi Adeline hanya untuk membalas dendam kekasihnya. Aku tak akan tinggal diam!”Saat itu, seseorang mengetuk pintu ruangan Sabrina.“Ini saya, Nyonya,” tutur Mickey yang langsung mendapat ijin masuk.Sabrina menatapnya tajam seraya mendengus, “bagaimana hasilnya?”“Maaf, tuntutan itu tidak dapat dihentikan, Nyonya. Tuan River sudah menyerahkan bukti ke pengadilan,” sahut Mickey yang sontak membangkitkan amarah Sabrina.Wanita tersebut memejam seraya menekan pelipisnya. “Brengsek!”“Tuan River sudah lama bergerak, Nyonya. Sepertinya Tuan Ludwig tidak ada harapan, bahkan Tuan Lazlo tidak bisa
***Seluruh keluarga I&S Group berduka. Freya, yang harusnya mendapat keadilan setelah Ludwig dan Alfred tertangkap, malah ditemukan tak bernyawa. Wanita itu diduga melompat dari lantai atap gedung dan menghebohkan seluruh rumah sakit.“Tidak … kenapa kau meninggalkan Mami, Freya? Semuanya sudah terungkap, harusnya kau bisa sembuh, kau bisa kembali ke duniamu. Mengapa … mengapa kau malah pergi dari Mami?!” Lariat Anne menangis hebat di pelukan Eldhan.Ya, suaminya itu merengkuh bahu Anne. Dia yang juga merasakan kesedihan mendalam, memeluk erat istrinya yang terus meraung di pemakaman. Bahkan saking histerisnya, Lariat Anne sampai tak sadarkan diri. Eldhan buru-buru mengangkat sang istri meninggalkan pemakaman putrinya dengan perasaan hancur.Di sana, River dan kedua orang tuanya juga hadir. Pria itu masih tinggal di depan makam Freya setelah semua pelayat pergi. Dia meletakkan mawar putih di pusara tersebut. Dengan manik gemetar, River memberi penghormatan terakhirnya.‘Maaf, aku gag
“Membunuh? Apa maksudmu?!” Adeline mendecak dengan manik selebar cakram. Bukannya menjelaskan, River malah merengkuh dagu Adeline dan menatapnya sangat tajam. “Jangan pura-pura bodoh, Adeline! Kau bertanya soal Freya, kau membuntutiku ke Medital dan kau ada di lokasi kejadian Freya meninggal. Kau, kau adalah orang terakhir yang mengunjunginya!” dengus River dengan ekspresi berang. “Jadi kau menuduhku pembunuh hanya karena aku mendatanginya?!” sambar Adeline dengan gigi terkatup. Sengatan amarah menderanya, dia tak menyangka bahwa River berpikiran sempit karena cinta pertamanya lenyap. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu menyahut, “lalu apa tujuanmu mengunjungi Freya?!” Ada jeda di antara mereka. Adeline yang bungkam membuat situasi kian tegang. ‘Aku tidak mungkin jujur padanya,’ batin wanita itu resah. Dia pun menajamkan pandangan seraya menjawab, “aku hanya penasaran!” Sekejap, seringai berbahaya merayapi bibir River. Panas naik ke wajahnya saat mendengar alasan selepe
Ashley terkejut melihat nomor asing menghubunginya beberapa kali. Bahkan ada pesan teks juga.‘Aku tidak mengenal nomor ini,’ batin gadis itu mengerutkan alisnya.Pikiran negative langsung menyerang. Dia mengira itu Maximilian karena mantan kekasihnya masih sangat gila. Namun, saat membuka pesan tadi, ternyata nama Johan yang terpampang.“Hah … tumben sekali dia menghubungiku. Dari mana dia mendapat nomor ponsel … ah benar, dia Bos di Oran Bar. Tentu saja dia bisa memiliki nomor pegawainya,” tutur Ashley kemudian.Tapi ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Johan yang menghubunginya, alih-alih Jenson?Jika itu Jenson, mungkin alasannya karena Ashley tidak datang ke acara makan malam. Tapi kalau Johan yang biasanya dingin padanya malah menelepon, pasti karena keadaan genting ‘kan?Ashley yang berniat abai, kini mencoba menelepon balik Johan.‘Apa yang harus aku katakan jika dia mengangkat teleponnya? Aku tidak biasa basa-basi dengan patung sepertinya,’ batin Ashley ragu-ragu.Detik berikutny
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad