***‘Brengsek! Beraninya mereka bermain-main denganku!’River melepas jas hitam dan dasinya. Tangannya menggulung lengan kemeja sampai sebatas siku, lalu berkata, “kau bisa menebak siapa pelakunya?”Siegran yang mengikuti River ke ruang kerjanya, kini mengernyit dengan tatapan penuh selidik.“Mungkinkah Howard Company?” tuturnya menerka.“Bingo!” sahut River seraya menaikkan sebelah alisnya.Sebelumnya dia mendapat telepon dari nomor tak dikenal dan mendapat peringatan. Siapa yang menyangka rupanya penelepon anonim itu mempermainkannya dengan memasang bom asap di Picasso Hotel?!Ya, usai menemukan bom rakitan di bawah meja ballroom Picasso Hotel, ternyata bom itu tidak meledak. Melainkan hanya mengeluarkan asap tebal yang memenuhi ruangan dan membuat sesak napas. River amat kesal karena dibodohi. Sebab itu dirinya bertekad menemukan pelakunya.“Hanya Howard Company yang diuntungkan dari rusaknya acara malam ini. Selain itu, bukankah kau bilang putra mereka yang menculik Johan dan Nona
“Jangan bergerak, Nona!” tukas Jenson mencekal tangan Ashley.Sang gadis menatap waspada, seiring tangan Jenson saat menarik uraian rambutnya yang tersangkut di anting.“Sekarang sudah aman,” bisik pemuda itu tersenyum tipis.Alih-alih berterima kasih, Ashley justru menghempas cengkeraman Jenson darinya.“Jaga batasanmu, Tuan Muda Jenson!” decak Ashley sengit. “Jangan berlagak dekat, karena kita—”“Tunangan!” sahut Jenson segera menyambar.Gadis di hadapannya mengernyit, tapi belum sampai Ashley menimpali, Jenson kembali berkata, “benar, bukan? Kita sudah bertunangan, maka saya bertanggungjawab melindungi Anda, Nona!”“Lucu sekali! Kita hanya bertunangan, bukannya menikah!” Ashley membantah sinis.“Ah … jadi Anda ingin kita menikah?” sambar Jenson seraya menaikkan sebelah alisnya.Sungguh, Ahsley benar-benar tak menduga jawaban itu. Dia kini melihat jelas perbedaan karakter Jenson dan Johan.“Cih! Kenapa kau percaya diri sekali?!” Gadis tersebut mendesis sambil menyeringai tipis.“Akh
“Sayang!” Rose bergegas menarik Derek. Dia memeluk lelaki tersebut seraya melanjutkan. “Tenanglah, Sayang. Kau bisa benar-benar membunuh Ashley jika seperti ini.” Ya, wanita simpanan Derek itu mulai berani muncul di depan umum. Awalnya dia hanya mengunjungi Derek di mansion Walter. Namun, setelah istri Derek tiada, Rose tak segan-segan mengambil perannya dan itu membuat Ashley semakin muak. “Anak ini sudah keterlaluan. Bagaimana bisa dia kabur di acara pertunangan dan hampir—” “Aku tau kau marah, tapi mungkin Ashley punya alasan,” sahut Rose sebelum ucapan Derek tuntas. Dirinya melirik Ashley yang terbaring di brankar, lalu bertanya, “benar ‘kan, Ashley? Ibu tau kau mungkin punya hubungan dengan putra kedua keluarga Herakles, tapi ayahmu sudah menjodohkan—” “Diamlah!” Ashley langsung menyambar sengit. “Ibu kau bilang? Sejak kapan kau jadi ibuku?! Berhenti mengoceh dan keluarlah. Hanya melihat wajahmu sudah membuatku mual!” “Ashley!” Derek mendecak murka. Namun, Rose segera mena
*** “Saya sudah mengendalikan media dan membungkam para Wartawan yang datang ke Picasso tadi malam, Tuan,” tutur Siegran yang sedang mengemudi. Ya, meski pagi itu laman berita dipenuhi dengan tentang pertunangan Jenson dan Ashley, tapi tidak ada satupun yang menyebut perkara lampu gantung atau terror bom di Picasso Hotel. Bahkan tamu yang hadir juga tutup mulut. River yang duduk di kursi mobil belakang pun berkata, “kerja bagus, Siegran. Lalu, bagaimana dengan orang yang tertangkap di Picasso?” Alih-alih langsung menjawab, Siegran justru melirik River dari kaca kecil di bagian depan mobil. “Mohon maaf, Tuan. Lelaki itu bunuh diri dengan menelan racun,” sahut Siegran yang seketika membuat River mengernyit. “Orang-orang kita juga tidak bisa menginterogasinya karena lelaki itu memotong lidahnya.” Seringai sinis pun terkuar di bibir River. Tatapannya kian tajam saat membatin, ‘sial! Mereka menyiapkan penyerangan dengan baik!’ “Siegran, potongan tangan lelaki itu dan lemparkan pada H
“Bisa-bisanya kau keluar dengan perban di sana-sini.” Ashley mengamati luka Johan di sekitar wajah. Tatapannya turun ke dada pemuda itu. Dia tau dadanya-lah yang tertembak. Tapi tiba-tiba Johan melengos, lalu melangkah menuju pinggir atap di dekat Ashley. “Bunuh diri-lah di tempat lain dan saat sepi. Jangan merepotkan orang lain!” decak Johan yang seketika memicu alis Ashley mengernyit. “A-apa? Apa yang kau katakan? Siapa yang mau bunuh diri?!” Gadis itu menyambar sinis. Alih-alih menjawab, Johan justru mengeluarkan rokok dari celana pasien dan langsung menyulutnya. Tingkahnya yang seolah mengabaikan Ashley, membuat gadis itu kesal. “Aish, sial!” Ashley menyugar belahan rambutnya sambil memaki pelan. Dia memicing sinis pada Johan yang dengan santai mengepulkan asap rokoknya. ‘Hah! Dia mendengarku tidak sih? Atau dia sengaja mengabaikanku?’ batinnya yang lagi-lagi coba melirik luka Johan. ‘Saat itu dia tertembak. Aku lihat tadi malam dia belum siuman. Kenapa tiba-tiba dia malah k
“Sialan! Kenapa dia tidak ada di mana pun? Tuan Muda Max bisa marah jika kita tidak membawa Nona Ashley hari ini!” tukas seorang lelaki berpakaian perawat di sana. Rekannya yang baru saja keluar lift pun menimpali, “hah! Berhenti mengoceh dan cepat cari. Siapa tau gadis itu ada di atap.” Mendengar semua itu, Ashley langsung melebarkan irisnya. Dia menatap Johan, tapi pemuda itu hanya mengedutkan alisnya dalam diam. Ya, Johan yang tadinya hendak menuju lift, tak sengaja melihat dua anak buah Maximilian tersebut. Dia ingat wajah orang tersebut, mereka tak lain antek-antek Max yang hampir membawa Ashley kemarin malam. Namun, beruntung saat itu Siegran dan bodyguard Herakles menghalangi mereka, hingga Johan bisa membawa Ashley kabur. “Apa kau mau pergi dengan mereka?” bisik Johan yang lantas membuat Ashley menggeleng pelan. Tiba-tiba saja, salah satu lelaki tadi berjalan menuju ke arah mereka. “Hei, sepertinya aku mendengar sesuatu dari sana,” katanya. Johan melirik bayangan lelaki
Alis Jenson berkedut saat melihat Johan menggenggam erat tangan Ashley. Melihat arah mereka datang dari tangga darurat, sudah pasti dari atap. “Adikku, aku mencarimu karena kau tidak ada di ruang rawat. Padahal kau baru siuman, tapi kenapa malah keluar? Itupun bersama Nona Ashley?” Jenson bergantian menatap Johan dan sang tunangan. “Kalian dari atap? Tapi kenapa terlihat buru-buru?” Johan bungkam, sementara Ashley melirik ke samping tangga untuk memeriksa antek-antek Max. ‘Hah?! Apa mereka mengejar?’ batin gadis itu yang samar-samar mendengar langkah kaki mendekat. Tiap detik suaranya semakin jelas. Mungkin itu sudah dekat. Hingga tanpa ragu Ashley pun meraih tangan Jenson dengan sebelah tangannya, lalu menarik dua pemuda itu berlari menjauh. “Cepat, kita harus kabur dan sembunyi!” tukasnya tergesa-gesa. Jenson mengernyit, tapi dia tak ada kesempatan bertanya kenapa dia harus berlari. Pemuda itu malah mengamati rambut Ashley yang terurai memantul dari delakang. Gadis itu membawa
“Pria tua itu tertembak! A-apa ini terror?!” Seorang pendukung berteriak. Situasi pun semakin ricuh. Apalagi saat para pendukung melihat darah kakek tua itu mengucur deras dari dadanya. Banyak warga yang berhamburan lari, sementara sejumlah wartawan sibuk berdesakan untuk mengabadikan momen eksklusif ini. “Lindungi Tuan Sebastian!” pekik asisten Sebastian yang lantas membuat para Bodyguard bersiaga. Asisten Sebastian tadi menghampiri tuannya dengan wajah panik. “Apa Anda baik-baik saja, Tuan?” tanyanya cemas begitu melihat wajah dan baju putih Sebastian yang terkena darah. Sang tuan mengernyit. Rahangnya pun mengeras saat menahan amarah. Dia menarik bahu asistennya seraya berbisik tajam. “Temukan bajingan yang berani merusak acaraku!” “Saya mengerti, Tuan!” sahut sang asisten mengangguk. Sebastian pun beralih menatap kakek tua yang ambruk di bawahnya. Raut wajahnya seketika berubah cemas. “Astaga, tolong panggilkan ambulance. Cepat, siapapun tolong panggil tenaga medis. Kakek