*** “Saya sudah mengendalikan media dan membungkam para Wartawan yang datang ke Picasso tadi malam, Tuan,” tutur Siegran yang sedang mengemudi. Ya, meski pagi itu laman berita dipenuhi dengan tentang pertunangan Jenson dan Ashley, tapi tidak ada satupun yang menyebut perkara lampu gantung atau terror bom di Picasso Hotel. Bahkan tamu yang hadir juga tutup mulut. River yang duduk di kursi mobil belakang pun berkata, “kerja bagus, Siegran. Lalu, bagaimana dengan orang yang tertangkap di Picasso?” Alih-alih langsung menjawab, Siegran justru melirik River dari kaca kecil di bagian depan mobil. “Mohon maaf, Tuan. Lelaki itu bunuh diri dengan menelan racun,” sahut Siegran yang seketika membuat River mengernyit. “Orang-orang kita juga tidak bisa menginterogasinya karena lelaki itu memotong lidahnya.” Seringai sinis pun terkuar di bibir River. Tatapannya kian tajam saat membatin, ‘sial! Mereka menyiapkan penyerangan dengan baik!’ “Siegran, potongan tangan lelaki itu dan lemparkan pada H
“Bisa-bisanya kau keluar dengan perban di sana-sini.” Ashley mengamati luka Johan di sekitar wajah. Tatapannya turun ke dada pemuda itu. Dia tau dadanya-lah yang tertembak. Tapi tiba-tiba Johan melengos, lalu melangkah menuju pinggir atap di dekat Ashley. “Bunuh diri-lah di tempat lain dan saat sepi. Jangan merepotkan orang lain!” decak Johan yang seketika memicu alis Ashley mengernyit. “A-apa? Apa yang kau katakan? Siapa yang mau bunuh diri?!” Gadis itu menyambar sinis. Alih-alih menjawab, Johan justru mengeluarkan rokok dari celana pasien dan langsung menyulutnya. Tingkahnya yang seolah mengabaikan Ashley, membuat gadis itu kesal. “Aish, sial!” Ashley menyugar belahan rambutnya sambil memaki pelan. Dia memicing sinis pada Johan yang dengan santai mengepulkan asap rokoknya. ‘Hah! Dia mendengarku tidak sih? Atau dia sengaja mengabaikanku?’ batinnya yang lagi-lagi coba melirik luka Johan. ‘Saat itu dia tertembak. Aku lihat tadi malam dia belum siuman. Kenapa tiba-tiba dia malah k
“Sialan! Kenapa dia tidak ada di mana pun? Tuan Muda Max bisa marah jika kita tidak membawa Nona Ashley hari ini!” tukas seorang lelaki berpakaian perawat di sana. Rekannya yang baru saja keluar lift pun menimpali, “hah! Berhenti mengoceh dan cepat cari. Siapa tau gadis itu ada di atap.” Mendengar semua itu, Ashley langsung melebarkan irisnya. Dia menatap Johan, tapi pemuda itu hanya mengedutkan alisnya dalam diam. Ya, Johan yang tadinya hendak menuju lift, tak sengaja melihat dua anak buah Maximilian tersebut. Dia ingat wajah orang tersebut, mereka tak lain antek-antek Max yang hampir membawa Ashley kemarin malam. Namun, beruntung saat itu Siegran dan bodyguard Herakles menghalangi mereka, hingga Johan bisa membawa Ashley kabur. “Apa kau mau pergi dengan mereka?” bisik Johan yang lantas membuat Ashley menggeleng pelan. Tiba-tiba saja, salah satu lelaki tadi berjalan menuju ke arah mereka. “Hei, sepertinya aku mendengar sesuatu dari sana,” katanya. Johan melirik bayangan lelaki
Alis Jenson berkedut saat melihat Johan menggenggam erat tangan Ashley. Melihat arah mereka datang dari tangga darurat, sudah pasti dari atap. “Adikku, aku mencarimu karena kau tidak ada di ruang rawat. Padahal kau baru siuman, tapi kenapa malah keluar? Itupun bersama Nona Ashley?” Jenson bergantian menatap Johan dan sang tunangan. “Kalian dari atap? Tapi kenapa terlihat buru-buru?” Johan bungkam, sementara Ashley melirik ke samping tangga untuk memeriksa antek-antek Max. ‘Hah?! Apa mereka mengejar?’ batin gadis itu yang samar-samar mendengar langkah kaki mendekat. Tiap detik suaranya semakin jelas. Mungkin itu sudah dekat. Hingga tanpa ragu Ashley pun meraih tangan Jenson dengan sebelah tangannya, lalu menarik dua pemuda itu berlari menjauh. “Cepat, kita harus kabur dan sembunyi!” tukasnya tergesa-gesa. Jenson mengernyit, tapi dia tak ada kesempatan bertanya kenapa dia harus berlari. Pemuda itu malah mengamati rambut Ashley yang terurai memantul dari delakang. Gadis itu membawa
“Pria tua itu tertembak! A-apa ini terror?!” Seorang pendukung berteriak. Situasi pun semakin ricuh. Apalagi saat para pendukung melihat darah kakek tua itu mengucur deras dari dadanya. Banyak warga yang berhamburan lari, sementara sejumlah wartawan sibuk berdesakan untuk mengabadikan momen eksklusif ini. “Lindungi Tuan Sebastian!” pekik asisten Sebastian yang lantas membuat para Bodyguard bersiaga. Asisten Sebastian tadi menghampiri tuannya dengan wajah panik. “Apa Anda baik-baik saja, Tuan?” tanyanya cemas begitu melihat wajah dan baju putih Sebastian yang terkena darah. Sang tuan mengernyit. Rahangnya pun mengeras saat menahan amarah. Dia menarik bahu asistennya seraya berbisik tajam. “Temukan bajingan yang berani merusak acaraku!” “Saya mengerti, Tuan!” sahut sang asisten mengangguk. Sebastian pun beralih menatap kakek tua yang ambruk di bawahnya. Raut wajahnya seketika berubah cemas. “Astaga, tolong panggilkan ambulance. Cepat, siapapun tolong panggil tenaga medis. Kakek
“Tuan River!” tukas Ashley saat berpaling dan melihat orang yang datang.Dia pun bangkit dari duduknya, lalu memberikan salam hormat.“Nona Muda Walter, kenapa kau di sini? Di mana putraku?” tanya River kemudian.Dia memindai sekitar dan melihat brankar di ruangan itu rapi. Artinya Johan memang tidak ada di sini.“Mo-mohon maaf. Ini gara-gara saya, putra Anda meminta saya bertukar ruang rawat,” balas Ashley ragu-ragu. “Tadi ada orang yang mengejar saya, jadi saya bersembunyi di sini. Mungkin sekarang mereka sudah pergi, jadi saya akan kembali ke ruang rawat saya.”“Tidak perlu. Katakan saja di mana putraku?” sahut River tanpa ekspresi.“Ah, mungkin ada di ruang rawat saya. Ruang B12 di lantai ini juga.”“Baiklah, kau bisa istirahat lagi,” tut
“Sebentar lagi obatnya pasti akan bekerja!” tukas Ludwig yang seketika membuat gelas wine di cengkeraman Adeline terlepas. Bunyi pekak beling yang berhamburan, sontak menarik perhatian banyak orang yang tengah berada di acara lelang lukisan I&S Hotel. Dengan manik terbelalak, Adeline segera menyahut, “apa yang kau lakukan, Kak Ludwig?!” Bukannya menjelaskan, Ludwig Daniester malah mendekati adik tirinya. Dengan tatapan penuh hasrat berbahaya, pria itu menyeringai seolah mengejek Adeline. “Berhenti memanggilku Kakak, Adeline. Wanita ular sepertimu, hanya pantas untuk pria bernafsu binatang sepertiku.” Pria itu berbisik dengan sinisnya. “Jadi, mari kita nikmati malam ini bersama!” Adeline yang tahu rencana bejat Ludwig untuk menidurinya, sekejap panik bukan main. ‘Sialan! Ludwig telah menjebakku. Tidak bisa, aku tidak boleh diam saja!’ “Benarkah? Kalau begitu lihat, apa Kakak bisa menghadapiku?!” sungut wanita itu yang lantas membuat Ludwig mengernyit. Belum sempat sang pria berta
Sungguh gila, akhirnya permainan ranjang panas tak bisa terbendung, hingga malam penuh peluh pun menjadi sejarah mereka. Dan kala bangun di pagi hari, River tampak memasang ekspresi bengis karena Adeline sudah tidak ada di sampingnya. Pria itu menutup dahinya dengan lengan kiri seraya menyeringai tipis. ‘Ternyata dia sengaja bermain denganku agar bisa kabur, ya? Jangan senang dulu, Nona. Aku pasti menemukanmu, meski kau lari ke ujung dunia sekalipun!’ gemingnya bertekad keras. Namun, saat River bangkit dari ranjang, dia menyadari ada barangnya yang hilang. Wajahnya seketika berubah bengis sembari mengumpat, “sialan! Apa wanita itu yang mencurinya?!” Sedangkan di lobi hotel, seorang lelaki dengan potongan rambut cepak tampak cemas menanti seseorang. “Nona Adeline?!” pekiknya kemudian. Wajahnya tampak antusias saat melihat Adeline keluar dari lift dan berjalan ke arahnya dengan terburu-buru. “Akhirnya saya menemukan Anda,” lanjut lelaki tadi yang adalah Sopir Adeline. “Apakah Nona