“Tuan River!” tukas Ashley saat berpaling dan melihat orang yang datang.Dia pun bangkit dari duduknya, lalu memberikan salam hormat.“Nona Muda Walter, kenapa kau di sini? Di mana putraku?” tanya River kemudian.Dia memindai sekitar dan melihat brankar di ruangan itu rapi. Artinya Johan memang tidak ada di sini.“Mo-mohon maaf. Ini gara-gara saya, putra Anda meminta saya bertukar ruang rawat,” balas Ashley ragu-ragu. “Tadi ada orang yang mengejar saya, jadi saya bersembunyi di sini. Mungkin sekarang mereka sudah pergi, jadi saya akan kembali ke ruang rawat saya.”“Tidak perlu. Katakan saja di mana putraku?” sahut River tanpa ekspresi.“Ah, mungkin ada di ruang rawat saya. Ruang B12 di lantai ini juga.”“Baiklah, kau bisa istirahat lagi,” tut
“Jenny? Sejak kapan kau datang?” Jenson bertanya saat melihat adik perempuannya. Gadis itu melipat kedua tangan ke depan dada, lalu membalas, “kau lebih penasaran aku datang daripada siapa kekasih Kak Johan?” Dirinya melirik Johan yang berada di sebelah Jenson. Saat kedua saudaranya menatap penuh tanya, Johan malah melengos sambil berdehem canggung. “Ke-kenapa kalian melihatku seperti itu? Di sini semakin dingin, lebih baik kita masuk sekarang,” tukas Johan yang hendak mangkir. Namun, dengan sigap Jennifer menghadangnya. Wajah gadis itu tertekuk, seolah tak mmbiarkannya pergi apapun alasannya. “Kak Johan tidak bisa menghindari lagi kali ini. Ayo beritahu kami. Siapa dia? Aku sangat penasaran, orang seperti apa yang bisa menarik perhatian Kak Johan!” Jennifer mendengus tegas. Johan berdehem lagi. Tapi belum sempat menimpali, Jenson kini menginterupsi. “Hah! Apa hanya aku yang tidak tau kalau kau punya pacar? Bisa-bisanya kau menyembunyikan ini dariku. Cepat katakan, Johan.” Law
***Hari itu juga Johan meminta keluar dari rumah sakit. Dia ingin pulang sebab tak mau bertemu Ashley lagi.“Kau yakin akan baik-baik saja? Daddy dengar lukamu tadi terbuka lagi,” tukas River cemas.“Tidak apa-apa, Daddy. Suasana rumah lebih menyenangkan. Itu membuatku lebih nyaman dan aku rasa lebih cepat sembuh,” sahut Johan beralasan.Akan tetapi, River tau putranya bohong. Untuk anak seperti Johan yang jarang mengeluh, alasan klasik ini tidak masuk akal.“Tidak. Kau menyembunyikan sesuatu. Katakan dulu pada Daddy, baru Daddy akan memikirkannya membawaku pulang atau tetap rawat inap di sini.” River melipat kedua tangan ke depan dada.Alih-alih langsung menjawab, Johan justru melirik Jennifer yang memicing di sampingnya.“Apa? Kak Johan tidak akan bicara karena ada aku di sini?” tukas Jennifer buka suara. “Oho! Tidak mau. Aku akan tetap menempel pada Kak Johan, jadi katakan alasannya. Cepat, Daddy menunggu jawaban Kak Johan.”Memang sial, Jennifer kini tau cara menghadapi Johan yang
***“Apa yang kau lakukan di belakangku, Maximilian?!” Sebastian mendecak murka setelah melesatkan peluru ke arah putranya.Max yang baru masuk ruangan ayanya itu langsung bergidik merinding. Terlebih anak timah tadi hampir melubangi telinganya. Namun, beruntung Sebastian tak sungguh-sungguh mengincarnya, hingga tembakan itu mengenai guci di belakang Maximilian.“Kau tidak akan menjawab Ayah?!” dengus Sebastian menatap tajam.Dia pun melemparkan tab ke lantai. Di sana terpampang situs berita yang memuat skandal besar tentang putra keluarga Howard. Ya, diduga Maximilian yang sakit hati karena putus dengan Ashley, malah membuat keributan di acara pertunangan mantan kekasihnya itu. Bahkan media menyebut nama Max secara terang sebagai pelaku jatuhnya lampu gantung dan terror bom asap di Picasso Hotel.Benar, atas perintah River, Siegran pun meminta media menerbitkan artikel tersebut.‘Sialan! Kenapa masalah ini sampai bocor ke media?!’ batin Max dengan rahang mengeras.Dirinya kian tegang
***Ini tahun ketiga anak-anak River belajar di Dalin Court International High School. Meski itu sekolah elit yang berisi siswa-siswa dari keluarga ternama, tapi mereka-lah yang paling popular. Bahkan mendapat julukan The Golden Hera.Banyak orang yang berusaha mendekati mereka demi naik lingkaran social. Sebab di Dalin Court, ada tiga tingkatan. Tingkat pertama berisi siswa dari keluarga presiden, anggota dewan dan pemilik perusahaan besar. Tingkat kedua ada keluarga pemilik perusahaan menengah, artis terkenal dan orang kaya baru. Lalu, tingkat ketiga para siswa keluarga sederhana yang berhasil masuk dengan beasiswa, mereka kelompok minor karena jumlahnya tak banyak. Tentu saja The Golden Hera yang berada di tingkat pertama dipuja banyak siswa.Begitu mobil mereka memasuki gerbang Dalin Court, beberapa orang langsung menyingkir. Mereka antusias melihat wajah The Golden Hera setelah libur panjang.“Hei, minggirlah. Kau akan menghalangi jalan My Queen Jenny!” Seorang pemuda bermata gel
“Katakan untuk datang ke ruanganku. Calon Presiden itu!” tukas River penuh tekanan di akhir katanya. Siegran tercengang. Dia yakin yang datang pasti Sebastian dan lelaki itu sangat licik. Jika dia sampai menemui River langsung, bisa jadi Sebastian memasang jebakan. Sebelum staff tadi menjawab, Siegran lebih dulu berkata, “tapi, Tuan, bukankah Anda masih ada jadwal lain?” “Kita tidak bisa mengabaikan calon Presiden ‘kan?” sahut River meliriknya. Jika River menghendaki, maka Siegran tak bisa membantah lagi. “Baik, saya akan menunda jadwal selanjutnya,” tutur Siegran yang lantas mendapat anggukan River. Staff tadi pun kembali menemui Sebastian dan menyampaikan informasi River. Namun, saat Sebastian hendak masuk lift untuk naik ke ruangan River, beberapa bodyguard Herakles menghadang. “Mohon maaf, Tuan. Anda tidak diperkanankan membawa pengawal ke ruangan Tuan River,” katanya. Ya, Siegran mellihat lelaki itu datang bersama beberapa anak buahnya. Demi menghindari hal buruk, dia pun
Adeline yang berjalan keluar Medital, tiba-tiba berhenti saat berpapasan dengan seorang pria paruh baya dengan luka di bawah mata kirinya.‘Dia?!’ batinnya yang langsung mengingat orang itu.Adeline seketika berbalik. Rupanya pria tadi juga berhenti.“Apa kabar, Nona Adeline? Ah, harusnya saya memanggil Nyonya Herakles, ya?” kata pria itu yang kini menoleh pada Adeline.‘Dia asisten Tuan Danieste tua!’ geming Adeline menatap waspada.Ya, pria itu memang orang kepercayaan ayah Sabrina. Setelah kehidupan putrinya hancur, Tuan Daniester tua yang mengurus kembali DNS Group. Sejak dulu dia memang membenci Adeline, tapi Sabrina bersikeras menahan Adeline di sisinya demi mengendalikan Heinry.“Apa Anda baru saja menemui Nyonya Sabrina?” tanya pria tadi.Adeline menyeringai tipis, lalu menimpali, “bukan urusan Anda!”Pria tersebut tersenyum, tapi Adeline tau itu ejekan untuknya.“Jika Anda benar-benar ingin menemui Nyonya Sabrina, haruskah saya antar? Anda dilarang menemuinya, bukan? Tapi kal
‘Jenny?!’ batin Johan melirik sang adik di dekat pintu masuk.Sorot matanya tampak tegang. Dia bahkan menggeleng samar, memberi kode agar Jennifer tak mendekat. Tapi bagi Jennifer yang melihat wajah Johan, tentu saja tak bisa diam.“Apa yang terjadi? Kalian berkelahi?!” tukas Jennifer masuk ruangan tersebut.Alisnya menyatu saat melihat sudut bibir Johan yang berdarah, juga pelipis Maximilian yang lebam. Ya, sebelum Jennifer datang, kedua pemuda itu sempat beradu jotos. Dan kini mereka saling mengacungkan pistol seolah tak segan melesatkan peluru masing-masing.Namun, tanpa diduga, Maximilian malah mengarahkan pistolnya pada Jennifer, hingga memicu Johan semakin tegang.“Brengsek! Apa yang kau lakukan?!” Johan mendecak dengan amukan tertahan.“Hah! Ini akan seru. Bagaimana jika aku melukainya sedikit saja?” tukas Max menyeringai sengit.“Sekali saja kau sentuh ujung rambutnya, aku tidak akan mengampunimu!” sambar Johan berang.Maximilian melirik tajam dan lantas menjawab, “dasar bajin
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de