“Katakan untuk datang ke ruanganku. Calon Presiden itu!” tukas River penuh tekanan di akhir katanya. Siegran tercengang. Dia yakin yang datang pasti Sebastian dan lelaki itu sangat licik. Jika dia sampai menemui River langsung, bisa jadi Sebastian memasang jebakan. Sebelum staff tadi menjawab, Siegran lebih dulu berkata, “tapi, Tuan, bukankah Anda masih ada jadwal lain?” “Kita tidak bisa mengabaikan calon Presiden ‘kan?” sahut River meliriknya. Jika River menghendaki, maka Siegran tak bisa membantah lagi. “Baik, saya akan menunda jadwal selanjutnya,” tutur Siegran yang lantas mendapat anggukan River. Staff tadi pun kembali menemui Sebastian dan menyampaikan informasi River. Namun, saat Sebastian hendak masuk lift untuk naik ke ruangan River, beberapa bodyguard Herakles menghadang. “Mohon maaf, Tuan. Anda tidak diperkanankan membawa pengawal ke ruangan Tuan River,” katanya. Ya, Siegran mellihat lelaki itu datang bersama beberapa anak buahnya. Demi menghindari hal buruk, dia pun
Adeline yang berjalan keluar Medital, tiba-tiba berhenti saat berpapasan dengan seorang pria paruh baya dengan luka di bawah mata kirinya.‘Dia?!’ batinnya yang langsung mengingat orang itu.Adeline seketika berbalik. Rupanya pria tadi juga berhenti.“Apa kabar, Nona Adeline? Ah, harusnya saya memanggil Nyonya Herakles, ya?” kata pria itu yang kini menoleh pada Adeline.‘Dia asisten Tuan Danieste tua!’ geming Adeline menatap waspada.Ya, pria itu memang orang kepercayaan ayah Sabrina. Setelah kehidupan putrinya hancur, Tuan Daniester tua yang mengurus kembali DNS Group. Sejak dulu dia memang membenci Adeline, tapi Sabrina bersikeras menahan Adeline di sisinya demi mengendalikan Heinry.“Apa Anda baru saja menemui Nyonya Sabrina?” tanya pria tadi.Adeline menyeringai tipis, lalu menimpali, “bukan urusan Anda!”Pria tersebut tersenyum, tapi Adeline tau itu ejekan untuknya.“Jika Anda benar-benar ingin menemui Nyonya Sabrina, haruskah saya antar? Anda dilarang menemuinya, bukan? Tapi kal
‘Jenny?!’ batin Johan melirik sang adik di dekat pintu masuk.Sorot matanya tampak tegang. Dia bahkan menggeleng samar, memberi kode agar Jennifer tak mendekat. Tapi bagi Jennifer yang melihat wajah Johan, tentu saja tak bisa diam.“Apa yang terjadi? Kalian berkelahi?!” tukas Jennifer masuk ruangan tersebut.Alisnya menyatu saat melihat sudut bibir Johan yang berdarah, juga pelipis Maximilian yang lebam. Ya, sebelum Jennifer datang, kedua pemuda itu sempat beradu jotos. Dan kini mereka saling mengacungkan pistol seolah tak segan melesatkan peluru masing-masing.Namun, tanpa diduga, Maximilian malah mengarahkan pistolnya pada Jennifer, hingga memicu Johan semakin tegang.“Brengsek! Apa yang kau lakukan?!” Johan mendecak dengan amukan tertahan.“Hah! Ini akan seru. Bagaimana jika aku melukainya sedikit saja?” tukas Max menyeringai sengit.“Sekali saja kau sentuh ujung rambutnya, aku tidak akan mengampunimu!” sambar Johan berang.Maximilian melirik tajam dan lantas menjawab, “dasar bajin
“Justru aku yang harus bertanya. Kenapa kau ke tempatku?!” Johan berkata sambil memicing sinis.“Kau bilang, tempatmu?!” Ashley menyambar bingung.Ya, pekerja paruh waktu yang dimaksud bartender itu memanglah Ashley. Gadis tersebut sengaja mencari kesibukan di luar karena enggan pulang ke mansion Walter. Apalagi Rose sudah bertingkah seperti nyonya rumah. Ashley sangat muak!Johan berpaling pada Bartender pria di sisi kanannya dan lantas berkata, “Paman, sepertinya kita tidak membutuhkan pekerja paruh waktu.”“A-apa? Apa maksudmu?” Ashley lebih dulu menyambar.“Pekerja di sini sudah banyak. Bahkan jika kekurangan orang, Paman bisa bilang pada padaku. Aku pasti akan menemukan orang yang tepat, bukan seorang yang amatir!” tukas Johan tanpa menggubris Ashley sedikitpun.“Be-begitukah? Tapi sepertinya Tuan Muda dan Nona itu sudah saling kenal ‘kan? Bukannya lebih mudah jika kalian bekerja sama?” tutur Bartender tadi ragu-ragu.Mendengar itu Ashley langsung berbinar. Agaknya paman bartende
“Cukup!” Johan mencekal tangan Ashley dan menjauhkan dari wajahnya. “Enyahlah, aku tidak butuh semua ini!”Pemuda itu pun bangkit dan melepas celemak yang dikenakannya.Ashley yang melihatnya pun bertanya, “apa yang kau lakukan? Kau mau ke mana?”Bukannya langsung menimpali, Johan justru meraih jas seragamnya dan menyampirkan ke pundak.“Kita lakukan sekarang. Balapan!” tukasnya.“Tapi kan kau terluka,” sahut Ashley mengernyit.“Meski aku terluka, kau tidak akan mengalahkanku!” sambar Johan mengangkat sebelah alisnya.Tanpa menunggu sahutan gadis itu, dirinya pun beranjak pergi.Ashley yang melihat lagaknya merasa sangat tertantang. “Sial, kenapa dia sombong sekali?! Lihat saja, kau akan malu setelah kalah dariku!”Dirinya menata kotak obat tadi, lalu bersiap menyusul Johan.Mereka pergi ke lintasan balap di sekitar perbatasan Dalin Court dan La Daga. Itu jalanan sepi yang biasa digunakan anak-anak muda balapan motor maupun mobil. Sore ini masih sepi sebab para anggota geng biasa berk
“Adeline? Kau sudah selesai mandi?” River sengaja mengubah topik. Dia pun mematikan panggilan dan lantas menghampiri sang istri. Akan tetapi, bagi Adeline tingkahnya sangat aneh. “Kenapa tidak menjawabku? Apa yang kau rencanakan, River?!” sahut Adeline menyidik dengan tatapan tajam. Bukannya langsung menimpali, suaminya itu justru membelai pipinya. River tersenyum tipis, entah mengapa sorot matanya seakan menyimpan rahasia. “Tidak ada. Kau pasti lelah ‘kan? Mau tidur sekarang?” bisik River. Adeline mengernyit. Tanpa diduga, dirinya mendorong River hingga pria itu ambruk ke sofa. Tanpa memberi celah, Adeline pun mengungkung pria itu dengan kedua tangannya. “Jangan berbohong!” tukasnya amat tegas. “Berapa lama kita hidup bersama? Aku sangat tahu kalau kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku!” Rambut Adeline yang masih basah, membuat airnya tak sengaja menetes ke dada River yang terkuar di balik piyamanya. Dan sial, itu malah memicu pandangan River terpaku pada leher jenjang Adeli
“Ya, Daddy tahu apa yang kau lakukan hari ini,” tutur River saat melihat putranya bungkam.Meski tak melihatnya langsung, tapi River memiliki banyak anak buah yang siap menjadi mata dan telinganya. Orang-orangnya itu selalu memberi laporan tentang apapun yang dilakukan anak-anaknya. Walau mungkin saja ketiga anak River tak nyaman, tapi River tak bisa mengambil risiko jika suatu yang buruk menimpa mereka. Setidaknya para anteknya siap membantu mereka.River pun mendekati Johan, lalu memandunya duduk di sofa ruangan tersebut.“Apa Daddy juga akan melarangku bermotor?” Johan pun menyidik. Dia cemas River akan marah mengenai balapan tersebut.“Tidak. Daddy tidak akan melarang apapun yang kau sukai.”“Lalu, sebenarnya apa yang ingin Daddy bicarakan? Jika ini tentang tunangan Jenson, maka Daddy tidak perlu khawatir. Saya—”“Apa kau sudah mengenalnya sebelum dia bertunangan dengan Jenson?” sahut River sebelum ucapan putranya tuntas.Johan sontak tertegun. Dia heran, mengapa kebanyakan orang
‘Aish, sial! Jadi wanita ular itu sengaja menipuku?! Dia bilang gaun itu darinya supaya aku membuangnya?!’ batin Ashley memicing ke arah Rose yang duduk di meja seberang. Di sana Rose menyeringai puas. Dia berhasil membuat Ashley semakin buruk di mata ayahnya. ‘Kau lihat sekarang, bocah sialan? Kasihan sekali. Aku akan membuat ayahmu benar-benar membencimu!’ geming Rose seiring sebelah alisnya yang terangkat. Jelas sekali dia mengejek Ashley. Gadis bodoh yang naif, bukanlah tandingan Rose. Dia saja sudah menyingkirkan mendiang istri Derek. Jika hanya Ashley yang masih remaja, tentu bukan masalah besar untuknya. Namun, tanpa diduga Ashley malah berkata sambil menatap tajam Rose. “Kenapa kau berbohong?” Rose mengerutkan kening. Belum sampai menjawab, Ashley kembali melanjutkan ucapannya. “Kau bilang padaku kalau gaun itu darimu. Kau bahkan melemparnya di depan kamarku!” “Hah!” Rose menyeringai sinis. Dalam hati, dia pun mengumpat. ‘sialan! Beraninya anak ini buka mulut. Kenapa dia
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de