“Apa yang kau lakukan? Ayo cepat bawa Tuan Muda Jenson!” Anak buah River yang berperawakan jangkung menyeru, saat rekannya hanya bengong.“Heuh? Ah, iya ….”Mereka pun mengangkat anak lelaki itu dan membawanya ke mobil.Namun, bukannya langsung melajukan mobilnya, antek River yang berambut cepak malah mengernyit bingung saat melirik anak kecil itu di kursi belakang.“Aish, ada apa lagi? Ayo cepat kita pergi!” tukas rekannya tak sabar.“Tunggu, kenapa aku merasa aneh, ya?”“Apa maksudmu?!” sahut rekannya lagi.Si rambut cepak menoleh penuh ke belakang dan memperhatikan anak lelaki yang pingsan.“Ada yang berbeda dengan Tuan Muda Jenson. Lihatlah, tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. Ah, tidak. Dia memang terlalu kurus dan badannya penuh lebam bekas pukulan. Apa benar dia Tuan Muda Jenson?” ujarnya ragu-ragu.Tentu saja berbeda sebab anak itu Ergy, bukan Jenson! Ya, Ergy yang malam ini dihukum masternya karena tidak berhasil berburu kelinci, malah tidak diberi makan. Ergy yang kelapa
“Berikan aku 20 milliar jika ingin anakmu selamat!”Terdengar suara garang seorang pria mengancam dari seberang. Dan itu sontak membuat manik River terbelalak dengan wajah tegang.River terdiam karena saking terkejutnya, tapi orang yang menculik Jenson itu kembali berkata. “Apa kau ingin anakmu benar-benar mati, Tuan River?!”‘Sialan!’ batin River mengumpat tajam.“Di mana putraku?!” decaknya sengit.Itu memicu Adeline mengeryit. “River, siapa itu? Apa dia orang yang menculik Jenson?!”Lawan bincangnya tetap diam. Tangannya yang memegang ponsel tampak gemetar dan kembali mendengus, “cepat katakan di mana putraku?!”Alih-alih membeberkan, penculik Jenson malah tertawa terbahak-bahak. Dia seolah senang mengendalikan River.“Hah … Tuan River. Aku tidak bodoh. Transfer dulu uangnya, baru aku akan memberitahu di mana putramu!” sambar penculik itu sinis.Bagi River, 20 milliar memang tidak ada artinya. Namun, penculik itu bisa memerasnya sebanyak mungkin, tanpa harus menyerahkan Jenson. “A
*** Satu bulan setelah Jenson siuman, River dan Adeline memutuskan membawanya ke Jermanio. Ya, dokter keluarga Herakles bilang, sistem pengobatan di sana canggih. Dan Jenson ada kesempatan untuk memulihkan pendengarannya.Malam sebelum berangkat, Jennifer diam-diam mengetuk pintu kamar Jenson. Namun, karena telinga kakaknya itu tidak normal, jadi dia tidak bisa mendengarnya.“Jenson?” tutur Jenny berbisik sembari mendorong pintu.Maniknya terpaku pada Jenson yang sedang merapikan mainan robotnya ke dalam kotak. Sepertinya anak itu sedang mengemasi barangnya karena besok sudah berangkat ke Jermanio. Jennifer pun berjalan mendekat tanpa suara. Matanya tampak sedih saat menatap kakaknya dari belakang.Ketika Jenson tidak sengaja menjatuh satu robotnya, dia baru menyadari kalau Jennifer ada di sana.“Jenny? Kapan kau datang?” Jenson bertanya dengan wajah datar. “Kau tidak tidur?”Jennifer mengambil robot yang tergeletak di lantai, lalu menyerahkannya pada Jenson. “Aku tidak bisa tidur.”
“Aish, benar-benar merepotkan!” Jennifer membalik ponsel. Mulutnya menyeringai, lalu menolak panggilan yang masuk.River dan Adeline menatapnya penasaran. Dan itu membuat Jennifer jadi canggung.“Siapa ‘soulmate’?” Adeline menaikkan sebelah alisnya.Jennifer tertawa kikuk, lalu menjawab, “Ester, Mommy. Minggu lalu dia mengambil ponselku dan mengubah kontak namanya jadi sealay ini.”Ya, Ester Lariete-teman sebangku Jennifer saat di taman kanak-kanak Rosenbreg, kini satu sekolah lagi saat mereka masuk sekolah menengah di Dalin Schout.“Apa yang kalian bicarakan?” Tiba-tiba Jenson menyahut dari seberang.“Kau tidak akan mengerti,” sahut Jennifer yang lantas menjulurkan lidahnya.Jenson hanya mendesis melihat tingkah adiknya itu.Namun, belum sempat membalas, Jennifer kembali bertanya, “kapan kau pulang, Jens?”“Kenapa? Kau kangen?”“Cih! Aku sudah belajar taekwondo. Aku ingin mengalahkanmu!” sambar Jennifer riang.Jenson tersenyum miring, lalu berkata, “mungkin liburan musim panas tahun
“Aish, sialan! Jelas-jelas dia menantangku!” Ester mengumpat. Tatapannya tampak tajam saat melihat lelaki di depan mobilnya memainkan gas motor. Jennifer tahu kalau Ester cukup pandai mengemudi, tapi dia tetap cemas karena temannya itu punya jantung yang lemah. Ya, meski sakit, Ester selalu bertingkah seolah tubuhnya baik-baik saja. “Hentikan, Ester. Kita pergi saja dari—” “Jenny, pegangan!” Ester menyambar dan sontak menginjak gas sangat dalam. Mobil sport itu melesat kencang bersamaan dengan motor laki-laki di sana. Mereka sama-sama melaju cepat. Namun, pada jarak sekitar lima meter, lelaki itu langsung membelok motornya hingga mereka tak sampai bersenggolan. Laki-laki itu terpaku melihat wajah cantik Jennifer dengan rambut panjangnya yang diterpa angin. Dan Jennifer menyadarinya. ‘Ah?’ Gadis itu membatin bingung. Akan tetapi, lelaki tadi bergegas pergi dengan memacu motornya kencang. Jennifer menengok ke belakang. Maniknya tak berkedip melihat lelaki dengan jaket kulit hita
*** Beberapa jam sebelumnya, para murid Dalin Schout tengah asik menikmati beragam acara prom night yang diadakan sekolah.Jennifer datang dengan gaun selutut warna navy yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Rambutnya disanggul elegan hingga menampakkan lehernya yang jenjang. Dia mengobrol santai bersama Ester yang juga mempesona di dekat meja minuman.Saat itulah, Alston-teman satu angkatan sekaligus kapten tim basket Dalin Schout, tiba-tiba menghampiri mereka.Dia mengulurkan tangan pada Jennifer, seraya berkata, “mau berdansa, Tuan Putri?”Alih-alih meraih tangan itu, Jennifer hanya tersenyum tipis. Meski Alston tampak menawan dengan setelan jas hitamnya, tapi Jennifer tahu kalau dia biang onar di sekolah ini. Sialnya, para guru tak ada yang mampu bertindak tegas, karena Alston adalah putra donator tertinggi di Dalin Schout.“Pergilah, Men! Kenapa kau mengganggu kami?” Ester mendecak risih.“Diamlah, dasar bintik!” sahut Alston memicing tajam. “Aku tidak ada urusan denganmu.
“A-aku … kenapa aku tiba-tiba pusing?” Jennifer mengeluh setelah beberapa saat.Heiner yang berjalan di sampingnya, lantas bertanya, “Jenny, apa kau sakit?”“Tidak tahu, aku hanya merasa sangat pusing dan ….”“Jenny!” Heiner menyeru.Beruntung dia berhasil menangkap gadis itu sebelum ambruk.“Jenny, kau baik-baik saja?” tukas Heiner berlagak panik. “Sepertinya kau sakit. Ayo, aku akan mengantarmu pulang.”Heiner pun memapah Jennifer dan membawa gadis itu menuju mobilnya. Alih-alih lewat aula depan, dia lebih memilih jalan belakang demi menghindari orang-orang.“Hati-hati,” tuturnya saat memasukan Jennifer yang setengah sadar ke mobilnya.Laki-laki itu memasang sabuk pengaman, lalu bergegas masuk juga.“Rasanya ada yang salah. A-aku sangat pusing,” Jennifer terus mengeluh.Heiner yang duduk di kursi kemudi, malah menyeringai tipis. Sial, eskpresi iblis kini melenggang di wajahnya.“Tenang saja, Jenny. Bertahanlah sebentar, kau akan merasa lebih baik,” sahut Heiner licik.Namun, tiba-ti
‘Jenson? Dia benar-benar Jenson? Tapi … ini tidak mungkin. Bukankah Jenson belum pulang?’ Jennifer terdiam kaku.Saat itu, Heiner yang baru saja membuka masker Ergy langsung mengernyit. Dia belum pernah melihat wajah itu sebelumnya.“Hah … siapa bajingan ini?” katanya kesal. “Aku tidak pernah melihatmu, tapi berani sekali kau ikut campur urusanku?!”Dia memperhatikan tato di leher kanan Ergy, lalu kembali berujar, “apa kau preman?”“Enyahlah, jika kau masih ingin hidup!” sambar Ergy menekan kesabarannya.Alih-alih menurut, Heiner malah tertawa lebar. “Kau pikir aku anak kecil yang langsung pergi hanya karena kau memintanya?!”Heiner yang emosi langsung melayangkan tinjunya ke arah Ergy. Namun, Ergy bisa menghindarinya, dan lantas merengkuh lengan Heiner untuk membekuknya ke belakang. Tanpa diduga, Alston yang hendak menusuk Ergy, malah tak sengaja menancapkan belatinya ke perut Heiner.“Ugh!” Kening Heiner seketika mengernyit seiring darah yang merembes dari perut kirinya. Dia memici
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho