*** Beberapa jam sebelumnya, para murid Dalin Schout tengah asik menikmati beragam acara prom night yang diadakan sekolah.Jennifer datang dengan gaun selutut warna navy yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Rambutnya disanggul elegan hingga menampakkan lehernya yang jenjang. Dia mengobrol santai bersama Ester yang juga mempesona di dekat meja minuman.Saat itulah, Alston-teman satu angkatan sekaligus kapten tim basket Dalin Schout, tiba-tiba menghampiri mereka.Dia mengulurkan tangan pada Jennifer, seraya berkata, “mau berdansa, Tuan Putri?”Alih-alih meraih tangan itu, Jennifer hanya tersenyum tipis. Meski Alston tampak menawan dengan setelan jas hitamnya, tapi Jennifer tahu kalau dia biang onar di sekolah ini. Sialnya, para guru tak ada yang mampu bertindak tegas, karena Alston adalah putra donator tertinggi di Dalin Schout.“Pergilah, Men! Kenapa kau mengganggu kami?” Ester mendecak risih.“Diamlah, dasar bintik!” sahut Alston memicing tajam. “Aku tidak ada urusan denganmu.
“A-aku … kenapa aku tiba-tiba pusing?” Jennifer mengeluh setelah beberapa saat.Heiner yang berjalan di sampingnya, lantas bertanya, “Jenny, apa kau sakit?”“Tidak tahu, aku hanya merasa sangat pusing dan ….”“Jenny!” Heiner menyeru.Beruntung dia berhasil menangkap gadis itu sebelum ambruk.“Jenny, kau baik-baik saja?” tukas Heiner berlagak panik. “Sepertinya kau sakit. Ayo, aku akan mengantarmu pulang.”Heiner pun memapah Jennifer dan membawa gadis itu menuju mobilnya. Alih-alih lewat aula depan, dia lebih memilih jalan belakang demi menghindari orang-orang.“Hati-hati,” tuturnya saat memasukan Jennifer yang setengah sadar ke mobilnya.Laki-laki itu memasang sabuk pengaman, lalu bergegas masuk juga.“Rasanya ada yang salah. A-aku sangat pusing,” Jennifer terus mengeluh.Heiner yang duduk di kursi kemudi, malah menyeringai tipis. Sial, eskpresi iblis kini melenggang di wajahnya.“Tenang saja, Jenny. Bertahanlah sebentar, kau akan merasa lebih baik,” sahut Heiner licik.Namun, tiba-ti
‘Jenson? Dia benar-benar Jenson? Tapi … ini tidak mungkin. Bukankah Jenson belum pulang?’ Jennifer terdiam kaku.Saat itu, Heiner yang baru saja membuka masker Ergy langsung mengernyit. Dia belum pernah melihat wajah itu sebelumnya.“Hah … siapa bajingan ini?” katanya kesal. “Aku tidak pernah melihatmu, tapi berani sekali kau ikut campur urusanku?!”Dia memperhatikan tato di leher kanan Ergy, lalu kembali berujar, “apa kau preman?”“Enyahlah, jika kau masih ingin hidup!” sambar Ergy menekan kesabarannya.Alih-alih menurut, Heiner malah tertawa lebar. “Kau pikir aku anak kecil yang langsung pergi hanya karena kau memintanya?!”Heiner yang emosi langsung melayangkan tinjunya ke arah Ergy. Namun, Ergy bisa menghindarinya, dan lantas merengkuh lengan Heiner untuk membekuknya ke belakang. Tanpa diduga, Alston yang hendak menusuk Ergy, malah tak sengaja menancapkan belatinya ke perut Heiner.“Ugh!” Kening Heiner seketika mengernyit seiring darah yang merembes dari perut kirinya. Dia memici
“Untuk apa aku bohong, Daddy?” Jennifer berkata yakin.Dia mengeluarkan ponselnya, lalu melanjutkan, “aku akan menelepon Jenson!”Gadis itu pun menekan nomor Jenson dan tak lama kemudian kakaknya berkata dari seberang. “Ada apa, Jenny?”“Kau di mana?” sahut Jennifer dengan kening mengernyit.“Apa maksudmu? Tentu saja di Jermanio, kenapa tiba-tiba—”“Bukannya kau sudah pulang?” Jennifer menyambar sebelum ucapan Jenson tuntas.Dari seberang, terdengar tawa Jenson. “Hei, kau lupa? Aku pulang liburan musim panas nanti.”Manik Jennifer seketika membesar, sangat bingung dengan situasi ini. Dia buru-buru beralih mode panggilan video. Dan saat Jenson mengangkatnya, Jennifer bisa melihat bahwa pemuda itu sedang berbaring di kamarnya yang ada di Jermanio. Adeline dan River juga mengetahuinya jelas.“Ti-tidak mungkin, ini mustahil. Jelas-jelas tadi aku bertemu denganmu di Dalin Schout.” Wajah Jennifer sangat bingung.Terlebih saat melihat rambut Jenson yang pirang dan lehernya yang bersih dari t
“Si-siapa dia?” Bartender itu bertanya bingung.Tapi Siegran bisa mengetahuinya kalau dia sedang berhobong.“Lihat baik-baik sebelum menjawab. Pemuda ini pernah ke sini ‘kan?!” Siegran bicara disertai tekanan.Bartender itu membuang pandangan, berusaha menghindari kontak mata dengan Siegran.“Tuan, di bar ini tidak hanya satu atau dua orang yang datang. Aku tidak bisa mengingat semua pelanggan.” sahutnya menaikkan bahu.Dia kembali meracik minuman dan menyerahkannya ke meja Siegran. Namun, tiba-tiba asisten Siegran menancapkan pisau tepat di sebelah tangan bartender itu. Seketika, bartender itu tersentak dengan tangan gemetar. Satu inchi saja meleset, mungkin tangannya sudah ditembus belati tersebut.“Kau masih tidak mau bicara?!” decak Siegran pelan, tapi nadanya mengandung ancaman.Bartender itu memejam dengan alis menyatu. ‘Aish, sialan! Apa yang harus aku lakukan?!’Dia perlahan menarik tangannya, tapi Siegran segera menahan lengan dan menariknya lebih dekat. Siegran dengan cepat
‘Tu-tunggu!’ Wajah Adeline kian tercengang saat melihat waktu di rekaman CCTV itu.Maniknya menyipit dan lantas melanjutkan. “Jika jam dan tanggal di video benar, artinya ini baru kemarin malam. Dan itu … bertepatan dengan cerita Jenny yang bertemu Jenson!”“Jelas-jelas Jenson masih di Jermanio, lalu siapa pemuda ini? Kenapa dia sangat mirip dengan Jenson?!” Adeline tak bisa menerka.Dirinya melirik River yang hampir tak sadarkan diri. Dan itu membuatnya semakin bingung.‘Se-sebenarnya apa yang kau lakukan di belakangku, River?!’ batinnya dengan iris gemetar.Dia kembali menoleh pada monitor laptop suaminya dan ambruk di sofa. Dirinya termenung cukup lama sembari memandangi sosok Johan di monitor tersebut.Setelah beberapa saat, River mulai menyadari keberadaan istrinya. Pria itu tersenyum tipis dengan tatapan yang samar. “Istriku? Sejak kapan kau di sini?” tuturnya setengah sadar.Namun, Adeline tak berpaling padanya. Leher wanita itu menegang dan terpaku pada laptop tadi. Adeline
“A-apa yang Anda katakan, Master?!” tanya Ergy tercengang.Namun, Ludwig hanya bungkam menikmati kebingungan Ergy. Lelaki paruh baya itu mengepulkan asap cerutu sembari menaikkan sebelah alisnya.Ergy menelan saliva, lalu berkata dengan ragu. “A-apa artinya Master Ayah kandung saya?”Seketika, seringai miring tercipta di mulut Ludwig. Tawanya pun menggelegar mendengar pemikiran konyol itu.“Ya, harusnya aku menanam benih di perut ibumu. Tapi sialnya bajingan itu muncul dan menghancurkan segalanya!” tukas Ludwig dengan rahang tegang.Dan itu semakin membuat Ergy bingung.“Aku adalah Pamanmu. Ibumu mengkhianati keluarga Daniester dan tergila-gila pada seorang bajingan!” Ludwig melanjutkan dengan tatapan sengit.“A-apa maksud Master?!” sahut Ergy menuntut penjelasan.“Ayahmu-River Reiner, pria brengsek dari keluarga Herakles sudah menghancurkan keluarga Daniester. Dia membuat semua keluarga Danister di penjara demi mendapatkan ibumu. Kakek, Nenek dan aku-Pamanmu, terpaksa mendekam di pen
***Di sekitar jalan La Daga, Ergy tengah memacu motor sportnya dengan kencang. Tatapannya tampak tajam seolah mengejar hewan buruan.‘Herakles? Kenapa Herakles tidak menginginkanku? Ayah, kenapa Ayah membuangku? Apa aku begitu hina sampai tidak pantas menjadi bagian dari keluarga?!’ batinnya amat perih.Maniknya gemetar saat mengingat kembali cerita Ludwig yang bilang kalau dirinya penyakitan.‘Ayah, jika aku tidak pantas menjadi putramu, maka jangan salahkan aku kalau kita menjadi musuh!’Tangannya memutar gas hingga motor itu melesat lebih cepat.Namun, tanpa diduga rupanya ada beberapa pengendara motor sport yang mengejarnya. Ergy bisa melihat dari spion kalau mereka anggota geng The Dragon yang sering mencari masalah dengannya.“Woah! Lihat, siapa ini?” pekik salah satu dari mereka.“Yeah, tidak disangka kita bertemu si bajingan Ergy di sini,” sahut rekannya. “Hei, brengsek. Kenapa kau kemari? La Daga daerah kekuasaan kami. Bajingan sepertimu akan mati jika berani datang ke sini!
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho