“Berikan aku 20 milliar jika ingin anakmu selamat!”Terdengar suara garang seorang pria mengancam dari seberang. Dan itu sontak membuat manik River terbelalak dengan wajah tegang.River terdiam karena saking terkejutnya, tapi orang yang menculik Jenson itu kembali berkata. “Apa kau ingin anakmu benar-benar mati, Tuan River?!”‘Sialan!’ batin River mengumpat tajam.“Di mana putraku?!” decaknya sengit.Itu memicu Adeline mengeryit. “River, siapa itu? Apa dia orang yang menculik Jenson?!”Lawan bincangnya tetap diam. Tangannya yang memegang ponsel tampak gemetar dan kembali mendengus, “cepat katakan di mana putraku?!”Alih-alih membeberkan, penculik Jenson malah tertawa terbahak-bahak. Dia seolah senang mengendalikan River.“Hah … Tuan River. Aku tidak bodoh. Transfer dulu uangnya, baru aku akan memberitahu di mana putramu!” sambar penculik itu sinis.Bagi River, 20 milliar memang tidak ada artinya. Namun, penculik itu bisa memerasnya sebanyak mungkin, tanpa harus menyerahkan Jenson. “A
*** Satu bulan setelah Jenson siuman, River dan Adeline memutuskan membawanya ke Jermanio. Ya, dokter keluarga Herakles bilang, sistem pengobatan di sana canggih. Dan Jenson ada kesempatan untuk memulihkan pendengarannya.Malam sebelum berangkat, Jennifer diam-diam mengetuk pintu kamar Jenson. Namun, karena telinga kakaknya itu tidak normal, jadi dia tidak bisa mendengarnya.“Jenson?” tutur Jenny berbisik sembari mendorong pintu.Maniknya terpaku pada Jenson yang sedang merapikan mainan robotnya ke dalam kotak. Sepertinya anak itu sedang mengemasi barangnya karena besok sudah berangkat ke Jermanio. Jennifer pun berjalan mendekat tanpa suara. Matanya tampak sedih saat menatap kakaknya dari belakang.Ketika Jenson tidak sengaja menjatuh satu robotnya, dia baru menyadari kalau Jennifer ada di sana.“Jenny? Kapan kau datang?” Jenson bertanya dengan wajah datar. “Kau tidak tidur?”Jennifer mengambil robot yang tergeletak di lantai, lalu menyerahkannya pada Jenson. “Aku tidak bisa tidur.”
“Aish, benar-benar merepotkan!” Jennifer membalik ponsel. Mulutnya menyeringai, lalu menolak panggilan yang masuk.River dan Adeline menatapnya penasaran. Dan itu membuat Jennifer jadi canggung.“Siapa ‘soulmate’?” Adeline menaikkan sebelah alisnya.Jennifer tertawa kikuk, lalu menjawab, “Ester, Mommy. Minggu lalu dia mengambil ponselku dan mengubah kontak namanya jadi sealay ini.”Ya, Ester Lariete-teman sebangku Jennifer saat di taman kanak-kanak Rosenbreg, kini satu sekolah lagi saat mereka masuk sekolah menengah di Dalin Schout.“Apa yang kalian bicarakan?” Tiba-tiba Jenson menyahut dari seberang.“Kau tidak akan mengerti,” sahut Jennifer yang lantas menjulurkan lidahnya.Jenson hanya mendesis melihat tingkah adiknya itu.Namun, belum sempat membalas, Jennifer kembali bertanya, “kapan kau pulang, Jens?”“Kenapa? Kau kangen?”“Cih! Aku sudah belajar taekwondo. Aku ingin mengalahkanmu!” sambar Jennifer riang.Jenson tersenyum miring, lalu berkata, “mungkin liburan musim panas tahun
“Aish, sialan! Jelas-jelas dia menantangku!” Ester mengumpat. Tatapannya tampak tajam saat melihat lelaki di depan mobilnya memainkan gas motor. Jennifer tahu kalau Ester cukup pandai mengemudi, tapi dia tetap cemas karena temannya itu punya jantung yang lemah. Ya, meski sakit, Ester selalu bertingkah seolah tubuhnya baik-baik saja. “Hentikan, Ester. Kita pergi saja dari—” “Jenny, pegangan!” Ester menyambar dan sontak menginjak gas sangat dalam. Mobil sport itu melesat kencang bersamaan dengan motor laki-laki di sana. Mereka sama-sama melaju cepat. Namun, pada jarak sekitar lima meter, lelaki itu langsung membelok motornya hingga mereka tak sampai bersenggolan. Laki-laki itu terpaku melihat wajah cantik Jennifer dengan rambut panjangnya yang diterpa angin. Dan Jennifer menyadarinya. ‘Ah?’ Gadis itu membatin bingung. Akan tetapi, lelaki tadi bergegas pergi dengan memacu motornya kencang. Jennifer menengok ke belakang. Maniknya tak berkedip melihat lelaki dengan jaket kulit hita
*** Beberapa jam sebelumnya, para murid Dalin Schout tengah asik menikmati beragam acara prom night yang diadakan sekolah.Jennifer datang dengan gaun selutut warna navy yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Rambutnya disanggul elegan hingga menampakkan lehernya yang jenjang. Dia mengobrol santai bersama Ester yang juga mempesona di dekat meja minuman.Saat itulah, Alston-teman satu angkatan sekaligus kapten tim basket Dalin Schout, tiba-tiba menghampiri mereka.Dia mengulurkan tangan pada Jennifer, seraya berkata, “mau berdansa, Tuan Putri?”Alih-alih meraih tangan itu, Jennifer hanya tersenyum tipis. Meski Alston tampak menawan dengan setelan jas hitamnya, tapi Jennifer tahu kalau dia biang onar di sekolah ini. Sialnya, para guru tak ada yang mampu bertindak tegas, karena Alston adalah putra donator tertinggi di Dalin Schout.“Pergilah, Men! Kenapa kau mengganggu kami?” Ester mendecak risih.“Diamlah, dasar bintik!” sahut Alston memicing tajam. “Aku tidak ada urusan denganmu.
“A-aku … kenapa aku tiba-tiba pusing?” Jennifer mengeluh setelah beberapa saat.Heiner yang berjalan di sampingnya, lantas bertanya, “Jenny, apa kau sakit?”“Tidak tahu, aku hanya merasa sangat pusing dan ….”“Jenny!” Heiner menyeru.Beruntung dia berhasil menangkap gadis itu sebelum ambruk.“Jenny, kau baik-baik saja?” tukas Heiner berlagak panik. “Sepertinya kau sakit. Ayo, aku akan mengantarmu pulang.”Heiner pun memapah Jennifer dan membawa gadis itu menuju mobilnya. Alih-alih lewat aula depan, dia lebih memilih jalan belakang demi menghindari orang-orang.“Hati-hati,” tuturnya saat memasukan Jennifer yang setengah sadar ke mobilnya.Laki-laki itu memasang sabuk pengaman, lalu bergegas masuk juga.“Rasanya ada yang salah. A-aku sangat pusing,” Jennifer terus mengeluh.Heiner yang duduk di kursi kemudi, malah menyeringai tipis. Sial, eskpresi iblis kini melenggang di wajahnya.“Tenang saja, Jenny. Bertahanlah sebentar, kau akan merasa lebih baik,” sahut Heiner licik.Namun, tiba-ti
‘Jenson? Dia benar-benar Jenson? Tapi … ini tidak mungkin. Bukankah Jenson belum pulang?’ Jennifer terdiam kaku.Saat itu, Heiner yang baru saja membuka masker Ergy langsung mengernyit. Dia belum pernah melihat wajah itu sebelumnya.“Hah … siapa bajingan ini?” katanya kesal. “Aku tidak pernah melihatmu, tapi berani sekali kau ikut campur urusanku?!”Dia memperhatikan tato di leher kanan Ergy, lalu kembali berujar, “apa kau preman?”“Enyahlah, jika kau masih ingin hidup!” sambar Ergy menekan kesabarannya.Alih-alih menurut, Heiner malah tertawa lebar. “Kau pikir aku anak kecil yang langsung pergi hanya karena kau memintanya?!”Heiner yang emosi langsung melayangkan tinjunya ke arah Ergy. Namun, Ergy bisa menghindarinya, dan lantas merengkuh lengan Heiner untuk membekuknya ke belakang. Tanpa diduga, Alston yang hendak menusuk Ergy, malah tak sengaja menancapkan belatinya ke perut Heiner.“Ugh!” Kening Heiner seketika mengernyit seiring darah yang merembes dari perut kirinya. Dia memici
“Untuk apa aku bohong, Daddy?” Jennifer berkata yakin.Dia mengeluarkan ponselnya, lalu melanjutkan, “aku akan menelepon Jenson!”Gadis itu pun menekan nomor Jenson dan tak lama kemudian kakaknya berkata dari seberang. “Ada apa, Jenny?”“Kau di mana?” sahut Jennifer dengan kening mengernyit.“Apa maksudmu? Tentu saja di Jermanio, kenapa tiba-tiba—”“Bukannya kau sudah pulang?” Jennifer menyambar sebelum ucapan Jenson tuntas.Dari seberang, terdengar tawa Jenson. “Hei, kau lupa? Aku pulang liburan musim panas nanti.”Manik Jennifer seketika membesar, sangat bingung dengan situasi ini. Dia buru-buru beralih mode panggilan video. Dan saat Jenson mengangkatnya, Jennifer bisa melihat bahwa pemuda itu sedang berbaring di kamarnya yang ada di Jermanio. Adeline dan River juga mengetahuinya jelas.“Ti-tidak mungkin, ini mustahil. Jelas-jelas tadi aku bertemu denganmu di Dalin Schout.” Wajah Jennifer sangat bingung.Terlebih saat melihat rambut Jenson yang pirang dan lehernya yang bersih dari t
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s