Adeline dengan cepat menginjak rem. Nyaris saja mobilnya menabrak pembatas jalan, tapi beruntung dia masih bisa mengendalikan sedannya tersebut. Wanita itu terengah-engah dengan tangan gemetar, wajahnya pun menegang saat menyadari bahwa dirinya baru saja lolos dari maut. ‘Sadarlah! Apa kau ingin mati, Adeline?!’ batinnya mempertingati diri sendiri. Wanita itu pun menunduk berusaha menguasai emosinya. Saat itulah dia tersadar bahwa ponselnya jatuh dan dalam posisi menelepon River. Adeline buru-buru meraih gawainya itu, lalu memutus panggilannya. “Astaga … kau gila, Adeline! Bagaimana bisa kau malah menghubunginya?!” umpatnya kesal pada diri sendiri. Dia yang sedang tertekan, kini memilih mematikan ponselnya. Adeline tak ingin terganggu atau memikirkan apapun hingga melempar benda pipih itu ke kursi sebelahnya. ‘Aish, sial! Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi padaku?!’ batinnya seiring dengan tangannya yang menyugar belahan rambut dengan frustasi. Adeline berniat membenamkan wa
“Ah, ini ….” Adeline tampak ragu saat River mengulurkan baju tidur wanita padanya. Memang konyol jika dia banyak tanya, tapi Adeline tak bisa menyembunyikan wajah penasarannya. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata, “jadi Anda tinggal dengan seseorang?” Rasanya Adeline ingin menyumpal bibirnya sendiri, dia kesal karena tak bisa mengontrol rasa ingin tahunya. “Ini pakaian sepupu saya. Saya pikir Anda lebih akan lebih nyaman kalau memakai baju wanita dari pada baju saya. Jika Anda keberatan—” “Tidak!” Adeline segera menyambar sampai membuat River mengangkat sebelah alisnya. “Maaf, saya tidak bermaksud menolaknya. Terima kasih, saya akan memakainya.” Wanita itu akhirnya meraih baju tadi. Namun, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia merasa kurang nyaman karena baju itu tampak kecil untuknya. Adeline berdiri di depan cermin dengan ekspresi tegang karena baju tersebut hanya menutupi sebagian pahanya. “Aku pikir tadi akan pas, tapi ternyata lebih pendek dari dugaanku,” guma
‘A-apa ini? Mengapa dia memberiku hadiah seperti ini?’ batin Adeline terkejut saat melihat cincin berlian pada kotak yang dibuka River. Sang pria mengeluarkan perhiasan mungil itu, lantas menaikan alisnya sebagai isyarat agar Adeline mengulurkan tangan. “Ini cincin mahal, mengapa Anda memberikannya pada saya padahal pernikahan ini hanya kontrak?” tutur Adeline penasaran. Ya, melihat sekilas, dia langsung tahu kualitas cincin tersebut. Adeline mengerti River seorang konglomerat, tapi dirinya tak menyangka bahwa calon suaminya itu tak segan mengeluarkan banyak biaya demi pernikahan palsunya. “Apa Anda tidak menyukainya? Kalau begitu saya ganti yang lain, bilang saja design apa yang Anda suka?” sahut River dengan wajah datar. “Bukan seperti itu. Hanya saja—” “Ini memang design paling sederhana, saya sengaja memilihnya agar Anda nyaman dan tidak ketahuan oleh orang lain. Selain itu, cincin juga bisa dibawa ke manapun.” River memangkas ucapan Adeline yang belum tuntas. Dan itu, seke
‘Kau tidak akan bisa lepas dariku, meski menikahi orang lain, Adeline!’ Manik Adeline gemetar saat membaca surat ancaman dari paket misterius. Walau si pengirim tidak menuliskan namanya, tapi Adeline tahu benar siapa dia. Dan saat meraih foto di bawah surat ancaman tadi, wajah Adeline sontak berubah tegang. ‘Sialan! Berani sekali Ludwig melakukan ini padaku!’ Dia mengumpat kesal ketika melihat beberapa foto dirinya sedang tidur dengan lingerie, menumpuk di sana. Tangannya meremas pinggiran potret memalukan itu. ‘Ludwig memang brengsek! Aku benar-benar tidak tahan dengannya. Mengapa di hidupku harus ada pria menjijikkan itu?!’ Adeline sungguh merinding dengan kelakuan kakak tirinya. Jika Ludwig memiliki foto-foto ini, bukankah artinya selama ini dia memata-matai Adeline? Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu langsung merobek foto-foto tadi dengan emosi. Dan tepat saat itu, ada ketukan dari luar pintu. “Siapa?!” Adeline bertanya dengan tegas. Sekarang dia tak bisa membiarkan se
“Sebaiknya Mommy pulang, karena saya harus segera berangkat,” tutur River coba menghindari topik pembicaraan.Sorot dinginnya kian kentara, sungguh menunjukan bahwa dia tak ingin bicara apapun lagi dengan ibunya. Namun, Anais bukan orang yang akan mengalah hanya karena orang lain memintanya.Dirinya bersikeras menetap dan lantas berkata, “Mommy akan lega jika kau benar-benar melupakan masa lalu. Mommy berharap kau bisa hidup normal tanpa memikirkan sesuatu yang bukan kesalahanmu, Reins. Tapi haruskah dengan Adeline?”Rahang sang putra mengeras, sesungguhnya River tak mau mengungkit masalah itu. Akan tetapi, Anais yang selalu cemas padanya, tidak bisa abai.“Adeline datang ke Dabin Community!” Anais kembali berkata yang seketika membuat River menatapnya. “Adeline sengaja mendekati Nyonya Lariat Anne agar masuk komunitas. Dia juga mengaku melakukan itu hanya demi mendapat restu Mommy. Adeline sangat ambisius, dan Mommy tidak membencinya. Hanya saja, Mommy tidak suka keluarga Daniester!”
“Bagaimana bisa terjadi kecelakaan?!” Adeline terkejut bukan main.Ini buruk. Dirinya khawatir jika Picasso Hotel terlibat dalam kecelakaan itu, maka urusannya bisa sangat panjang.Dari telepon seberang, Manager hotel tadi melanjutkan. “Se-sebenarnya dugaan awal kami, korban itu bunuh diri, Nona.”Sontak, Adeline pun membeku mendengar kabar tersebut. Dia seperti ketumpahan masalah hingga membuat wajahnya memucat.‘Mengapa ini harus terjadi? Jika semua orang tahu ada yang bunuh diri di hotel kami, maka ini bisa menjadi sejarah kelam bagi Picasso,’ batin Adeline dikebaki cemas. ‘Tidak bisa, aku harus melakukan sesuatu.’“Tuan Ben, apa ada orang lain yang tahu masalah ini?” Wanita itu bertanya pada sang Manager.“Sejauh ini yang tahu hanya beberapa staff yang berjaga shift malam, saya dan Anda. Sa
“Jaga bicara Anda, Tuan!” Manager Picasso Hotel pun mendengus dengan tatapan berang. “Sejak tadi kami sudah bersabar dengan kalian. Jika kalian tetap membuat keributan, kami tidak ragu menggunakan kekerasan!” Alih-alih menurut, wartawan yang menuduh pembunuhan Diane malah mendorong petugas keamanan yang menahan lengannya. Manager Diane juga memberang tegas. “Kalau begitu, mari periksa dengan terbuka! Perlihatkan pada kami daftar tamunya, pasti Diane Malleta ada di sini!” “Pihak hotel tidak ada kewajiban untuk menyerahkan daftar tamu pada—” “Cukup, Tuan Ben,” Adeline pun memotong ucapan Manager hotelnya. “Saya akan mengatakan semuanya.” “Nona?!” Adeline hanya mengangguk samar saat sang manager coba menghentikannya. Ya, dia yang berencana menyelidiki kasus ini secara tertutup, terpaksa membuka semuanya karena tak ingin tertuduh sebagai pembunuh. Terlebih
“Apa maksud Anda? Saya tidak ada hubungannya dengan kematian Nona Diane Malleta!” Nada Adeline terdengar tegas.Dia tak percaya tiba-tiba polisi datang dan bermaksud menangkapnya. Meski mereka menunjukan surat perintah penangkapan, tapi Adeline tak bisa diam saja.“Hasil otopsi sudah keluar. Mendiang Nona Diane meninggal karena memakan kacang yang membuat alerginya kambuh. Pihak hotel dinyatakan bersalah padahal sebelumnya Nona Diane sudah mengatakan bahwa dia alergi kacang. Tapi, staff Anda malah memberinya makanan penutup yang mengandung kacang.”Mendengar ucapan polisi itu, Adeline pun tersentak. Apa yang dia cemaskan selama ini benar-benar terjadi, Picasso Hotel akhirnya terseret juga.Namun, belum hilang rasa terkejutnya, Polisi lainnya berkata, “Manager mendiang Nona Diane Malleta menuntut Anda sebagai pemilik Picasso Hotel karena kelalaian hingga membuat seseorang meninggal!”Bungkam, kini Adeline sungguh tak bisa mengelak lagi. Memang, pikirannya yang semrawut dengan masalah p
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho