WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa, pembaca harap bijak. Sensasi tegang langsung merayapi tubuh Adeline. Begitu menoleh, matanya seketika membelalak karena melihat orang yang paling dia benci berani menyentuhnya! “Sialan! Enyahlah dariku, Kak Ludwig!” umpat Adeline dengan wajah berang. Dia berupaya melepas pelukan sang kakak, tapi Ludwig malah semakin erat mendekap pinggulnya. “Jangan munafik, Adeline. Aku tahu, sebenarnya kau juga menginginkanku ‘kan?!” sahut Ludwig dengan nada serak. Napasnya terasa panas di tengkuk Adeline, pun juga aroma alkohol dari mulutnya, sungguh membuat Adeline merinding. ‘Si brengsek ini mabuk, aku tidak tahu hal gila apa yang akan dia lakukan!’ batin Adeline cemas dalam hati. ‘Tidak bisa, aku harus membuatnya keluar dari kamar ini!’ Dalam suasana tegang itu, Adeline pun berusaha mengendalikan diri. Maniknya mengerjap dan lantas berkata, “le-lepaskan aku dan kita bicara dulu, Kak. Aku—” “Apa kau pikir aku bodoh?!” Ludwig menyambar geram.
Adeline dengan cepat menginjak rem. Nyaris saja mobilnya menabrak pembatas jalan, tapi beruntung dia masih bisa mengendalikan sedannya tersebut. Wanita itu terengah-engah dengan tangan gemetar, wajahnya pun menegang saat menyadari bahwa dirinya baru saja lolos dari maut. ‘Sadarlah! Apa kau ingin mati, Adeline?!’ batinnya mempertingati diri sendiri. Wanita itu pun menunduk berusaha menguasai emosinya. Saat itulah dia tersadar bahwa ponselnya jatuh dan dalam posisi menelepon River. Adeline buru-buru meraih gawainya itu, lalu memutus panggilannya. “Astaga … kau gila, Adeline! Bagaimana bisa kau malah menghubunginya?!” umpatnya kesal pada diri sendiri. Dia yang sedang tertekan, kini memilih mematikan ponselnya. Adeline tak ingin terganggu atau memikirkan apapun hingga melempar benda pipih itu ke kursi sebelahnya. ‘Aish, sial! Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi padaku?!’ batinnya seiring dengan tangannya yang menyugar belahan rambut dengan frustasi. Adeline berniat membenamkan wa
“Ah, ini ….” Adeline tampak ragu saat River mengulurkan baju tidur wanita padanya. Memang konyol jika dia banyak tanya, tapi Adeline tak bisa menyembunyikan wajah penasarannya. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata, “jadi Anda tinggal dengan seseorang?” Rasanya Adeline ingin menyumpal bibirnya sendiri, dia kesal karena tak bisa mengontrol rasa ingin tahunya. “Ini pakaian sepupu saya. Saya pikir Anda lebih akan lebih nyaman kalau memakai baju wanita dari pada baju saya. Jika Anda keberatan—” “Tidak!” Adeline segera menyambar sampai membuat River mengangkat sebelah alisnya. “Maaf, saya tidak bermaksud menolaknya. Terima kasih, saya akan memakainya.” Wanita itu akhirnya meraih baju tadi. Namun, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia merasa kurang nyaman karena baju itu tampak kecil untuknya. Adeline berdiri di depan cermin dengan ekspresi tegang karena baju tersebut hanya menutupi sebagian pahanya. “Aku pikir tadi akan pas, tapi ternyata lebih pendek dari dugaanku,” guma
‘A-apa ini? Mengapa dia memberiku hadiah seperti ini?’ batin Adeline terkejut saat melihat cincin berlian pada kotak yang dibuka River. Sang pria mengeluarkan perhiasan mungil itu, lantas menaikan alisnya sebagai isyarat agar Adeline mengulurkan tangan. “Ini cincin mahal, mengapa Anda memberikannya pada saya padahal pernikahan ini hanya kontrak?” tutur Adeline penasaran. Ya, melihat sekilas, dia langsung tahu kualitas cincin tersebut. Adeline mengerti River seorang konglomerat, tapi dirinya tak menyangka bahwa calon suaminya itu tak segan mengeluarkan banyak biaya demi pernikahan palsunya. “Apa Anda tidak menyukainya? Kalau begitu saya ganti yang lain, bilang saja design apa yang Anda suka?” sahut River dengan wajah datar. “Bukan seperti itu. Hanya saja—” “Ini memang design paling sederhana, saya sengaja memilihnya agar Anda nyaman dan tidak ketahuan oleh orang lain. Selain itu, cincin juga bisa dibawa ke manapun.” River memangkas ucapan Adeline yang belum tuntas. Dan itu, seke
‘Kau tidak akan bisa lepas dariku, meski menikahi orang lain, Adeline!’ Manik Adeline gemetar saat membaca surat ancaman dari paket misterius. Walau si pengirim tidak menuliskan namanya, tapi Adeline tahu benar siapa dia. Dan saat meraih foto di bawah surat ancaman tadi, wajah Adeline sontak berubah tegang. ‘Sialan! Berani sekali Ludwig melakukan ini padaku!’ Dia mengumpat kesal ketika melihat beberapa foto dirinya sedang tidur dengan lingerie, menumpuk di sana. Tangannya meremas pinggiran potret memalukan itu. ‘Ludwig memang brengsek! Aku benar-benar tidak tahan dengannya. Mengapa di hidupku harus ada pria menjijikkan itu?!’ Adeline sungguh merinding dengan kelakuan kakak tirinya. Jika Ludwig memiliki foto-foto ini, bukankah artinya selama ini dia memata-matai Adeline? Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu langsung merobek foto-foto tadi dengan emosi. Dan tepat saat itu, ada ketukan dari luar pintu. “Siapa?!” Adeline bertanya dengan tegas. Sekarang dia tak bisa membiarkan se
“Sebaiknya Mommy pulang, karena saya harus segera berangkat,” tutur River coba menghindari topik pembicaraan.Sorot dinginnya kian kentara, sungguh menunjukan bahwa dia tak ingin bicara apapun lagi dengan ibunya. Namun, Anais bukan orang yang akan mengalah hanya karena orang lain memintanya.Dirinya bersikeras menetap dan lantas berkata, “Mommy akan lega jika kau benar-benar melupakan masa lalu. Mommy berharap kau bisa hidup normal tanpa memikirkan sesuatu yang bukan kesalahanmu, Reins. Tapi haruskah dengan Adeline?”Rahang sang putra mengeras, sesungguhnya River tak mau mengungkit masalah itu. Akan tetapi, Anais yang selalu cemas padanya, tidak bisa abai.“Adeline datang ke Dabin Community!” Anais kembali berkata yang seketika membuat River menatapnya. “Adeline sengaja mendekati Nyonya Lariat Anne agar masuk komunitas. Dia juga mengaku melakukan itu hanya demi mendapat restu Mommy. Adeline sangat ambisius, dan Mommy tidak membencinya. Hanya saja, Mommy tidak suka keluarga Daniester!”
“Bagaimana bisa terjadi kecelakaan?!” Adeline terkejut bukan main.Ini buruk. Dirinya khawatir jika Picasso Hotel terlibat dalam kecelakaan itu, maka urusannya bisa sangat panjang.Dari telepon seberang, Manager hotel tadi melanjutkan. “Se-sebenarnya dugaan awal kami, korban itu bunuh diri, Nona.”Sontak, Adeline pun membeku mendengar kabar tersebut. Dia seperti ketumpahan masalah hingga membuat wajahnya memucat.‘Mengapa ini harus terjadi? Jika semua orang tahu ada yang bunuh diri di hotel kami, maka ini bisa menjadi sejarah kelam bagi Picasso,’ batin Adeline dikebaki cemas. ‘Tidak bisa, aku harus melakukan sesuatu.’“Tuan Ben, apa ada orang lain yang tahu masalah ini?” Wanita itu bertanya pada sang Manager.“Sejauh ini yang tahu hanya beberapa staff yang berjaga shift malam, saya dan Anda. Sa
“Jaga bicara Anda, Tuan!” Manager Picasso Hotel pun mendengus dengan tatapan berang. “Sejak tadi kami sudah bersabar dengan kalian. Jika kalian tetap membuat keributan, kami tidak ragu menggunakan kekerasan!” Alih-alih menurut, wartawan yang menuduh pembunuhan Diane malah mendorong petugas keamanan yang menahan lengannya. Manager Diane juga memberang tegas. “Kalau begitu, mari periksa dengan terbuka! Perlihatkan pada kami daftar tamunya, pasti Diane Malleta ada di sini!” “Pihak hotel tidak ada kewajiban untuk menyerahkan daftar tamu pada—” “Cukup, Tuan Ben,” Adeline pun memotong ucapan Manager hotelnya. “Saya akan mengatakan semuanya.” “Nona?!” Adeline hanya mengangguk samar saat sang manager coba menghentikannya. Ya, dia yang berencana menyelidiki kasus ini secara tertutup, terpaksa membuka semuanya karena tak ingin tertuduh sebagai pembunuh. Terlebih