‘Sialan! Dia menelan racun!’ batin Dieter geram.Dirinya berpaling ke arah rekannya, lalu berkata, “panggil ambulance, dia tidak boleh mati!”Ya, lelaki bertindik itu sepertinya memang ada kaitannya dengan kecelakaan Adeline. Dieter harus mengoreknya. Tapi sialnya, racun yang sengaja ditelan lelaki bertindik tersebut cukup mematikan. Usai mengejang dan mulutnya berbusa hebat, dia langsung tewas!“Astaga! Apa dia benar-benar meninggal?!” Seorang tamu menjerit.Tamu lainnya tersentak dan menyahut, “ada yang meninggal! Ada apa dengan acara ini? Ini membuatku merinding!”Tangan Dieter mengepal geram. Dia yang semula menyangga lelaki bertindik tadi, kini merebahkannya di lantai.‘Brengsek! Dia sengaja bunuh diri sebelum aku menginterogasinya!’ batin Dieter kesal.Sungguh, kejadian ini mirip insiden bulan lalu. Ketika Adeline nyaris tertembak, ada seseorang yang sengaja mati demi menutupi dalang di balik ini semua. Dan lagi-lagi, dalang itu begitu cerdik karena tidak meninggalkan petunjuk.
“Anda bilang apa? Bayi saya hilang?!” tukas River dengan wajah mengeras.Ekspresi suster yang datang ke ruang rawat Adeline semakin buncah. “Kami benar-benar mohon maaf.”River menatap Adeline yang masih terpejam, lalu berkata pada Suster. “Tolong jaga istri saya sebentar. Saya akan memanggil anggota keluarga saya.”Pria itu bergegas keluar. Langkahnya berapi-api saat dia menelepon Jade.“River?” Jade bicara dari seberang.“Apa Daddy sudah jauh?” River bertanya.“Katakan saja ada apa?” sahut sang Ayah mencium masalah.Rahang River mengeras saat berkata, “salah satu bayiku hilang!”“Apa? Maksudmu bayimu diculik?!” ujar Jade menyimpulkan.Anais yang duduk di kursi mobil samping pengemudi, langsung terbelalak. Dia menoleh pada suaminya dengan wajah cemas.“Apa yang terjadi?” tanya Anais, tapi Jade masih terdiam mendengarkan River bicara di telepon. “Jade, katakan padaku ada apa?!”“Johan diculik!” sahut Jade dengan gigi terkatup.“Di-diculik?!” Manik Anais bertambah lebar.“River meminta
*** “Adeline? Kau sudah sadar?” tukas Anais saat melihat menantunya mengedutkan alis. Ya, Adeline perlahan membuka mata. Dia masih sangat lemas, sekujur tubuhnya tak berdaya. “Mommy ….” Adeline memanggil lirih. Dia melirik perutnya yang sekarang datar. “Ah … bayiku?” Anais memegang bahu Adeline lembut, lalu berkata, “bayi-bayimu selamat. Kau melahirkan secara prematur dan Dokter menempatkan mereka di inkubator.” Mendengar itu, Adeline langsung lega. Dia ingat saat memberi sambutan di acara ulang tahun Picasso Hotel, lalu tiba-tiba lampu gantung di atasnya jatuh. “Mommy, di mana River?” tanya Adeline memindai sekitar, tapi tidak melihat suaminya. “Ah, dia keluar mengurus pekerjaan. Apa kau butuh sesuatu?” sahut Anais. Namun, belum sempat Adeline menjawab, pintu ruang rawat itu pun terbuka dan River muncul. “Adeline!” Pria itu menyeru antusias dan langsung menghampiri istrinya. River membelai kepala Adeline mesra, lalu berkata, “apa yang kau rasakan? Masih sakit?” “Aku hanya
“Adeline, sejak kapan kau di sini?” River bertanya datar.Tanpa menjawab, sang istri justru masuk ke ruang kerjanya. Dia menghampiri Siegran alih-alih River.“Siapa Johan?” Adeline bertanya tepat di hadapan asisten River tersebut.Dia sengaja melakukannya agar Siegran jujur, tanpa bisa bersekongkol dengan River.“Adeline, aku akan menemuimu setelah bicara dengan Siegran,” tukas River, tapi Adeline tak menggubrisnya.Itu membuat Siegran kian bingung. Sudah jelas River melarangnya membicarakan Johan di depan Adeline.“Katakan, Siegran!” Adeline mendesak.Dia bersikeras sebab samar-samar mendengarkan mereka bicara tentang bayi. “Adeline.” River pun meraih tangan istrinya.Wanita itu menoleh dengan ekspresi dingin. “Aku masih bicara dengan Siegran.”“Siegran sedang sibuk. Dan dia hanya akan menuruti ucapanku,” sahut River dengan sorot tenang, tapi nadanya mengandung tekanan.Adeline seketika menyeringai tipis. “Itu semakin membuatku curiga.”“Istriku, kau tahu aku tidak mungkin membohong
WARNING: chapter ini mengandung adegan dewasa!“A-apa maksudmu?” Adeline bertanya bingung.River menaikkan sebelah alis. Tangannya merentang, memberi isyarat pada sang istri agar segera melucuti pakaiannya.Namun, Adeline malah melipat tangannya di depan dada dengan curiga.“Kau mau mempermainkanku?” katanya dengan ekspresi berubah datar.“Lakukan kalau kau penasaran.”“Cih!” Adeline langsung mendesis sambil membuang muka.‘Sebenarnya apa rencana pria ini?’ batin Adeline semakin penasaran.Dia berdehem, lalu berdiri di hadapan River. Matanya menatap lurus manik abu pria itu, tapi tangannya mulai menarik jas hitam pria itu dan membuangnya ke ranjang.“Aku tahu ini hanya permainan licikmu, Tuan Reiner!” bisik Adeline yang seketika memicu seringai tipis sang suami.Wanita itu menarik dasi dan melepas satu per satu kancing kemeja River. Aroma woody menyeruak dari tubuh pria itu, sungguh membuat Adeline ingin memeluknya. Dan saat Adeline menjatuhkan kemeja River, maniknya membola melihat p
“Apa maksudnya ini?!” tukas River dengan rahang mengeras.Tatapannya tajam, tapi juga gemetar. Siegran dan Dieter yang membawa berita itu bahkan tak sanggup melanjutkan.“Kenapa kalian diam?! Cepat katakan!” dengus River mendesak.Meski berat, tapi Siegran akhirnya berkata, “mo-mohon maaf, Tuan River. Sebenarnya kami sudah melihat berita ini beberapa hari lalu, tapi kami harus menyelidikinya lebih dalam.”River menyimak tajam, dan Dieter semakin menciut.“Polisi menemukan mayat bayi laki-laki yang dimutilasi di Danau Atitlan. Mereka bilang itu bayi prematur karena tubuhnya sangat kecil. Bahkan setelah diperiksa, bayi itu baru berusia beberapa minggu, Tuan.”“Maksudmu bayi itu Johan?!” sahut River tegas, tapi juga mengandung getaran. Sungguh, Siegran tidak berani langsung membenarkan. Dia menunduk dengan menyesal.“Wajah bayi itu hancur dan Polisi tidak bisa mengindentifikasinya. Ta-tapi … ciri-ciri yang mereka sebutkan sangat mirip dengan Tuan Muda Johan,” tutur Siegran terbata.Sial
Satu pesan dari Adeline langsung membuat River buncah. Dia memutar kemudi dan melesat kencang meninggalkan sirkuit untuk segera menemui Jennifer. Setelah tiba di mansion Devante, River bergegas naik ke lantai atas. “Adeline, bagaimana keadaan Jenny?” tukas River begitu membuka pintu kamar bayinya. Sang istri yang sedang berdiri di dekat ranjang Jenny, kini berpaling cemas saat River menghampirinya. “Perawat sudah memberinya obat penurun demam, tapi panasnya belum turun. Dokter bilang ini memang reaksi bayi setelah imunisasi, tapi aku sangat khawatir dengan Jenny,” tutur Adeline kalut. River pun memeluk wanita itu, dia bisa merasakan kecemasan Adeline. “Kau tenang saja, Jenny kita kuat. Dia akan baik-baik saja,” kata River menenangkan. Meski dia sendiri gelisah, tapi River tak mungkin menunjukannya pada Adeline. Dirinya mendekati Jenny, menyentuh pipi mungil bayi itu dan menjaganya bersama Adeline semalaman. “Tidurlah, istriku. Aku yang akan menemani Jenny.” River membelai bahu
“Apa yang kalian ributkan?” tukas River yang baru masuk kamar Jennifer.“Daddy!” Jennifer berbinar.Dirinya seketika berlari menghampiri River. Pria itu tersenyum, dia menggendong anak perempuannnya, lalu mengangkat tubuh Jennifer ke atas ala pesawat terbang.“Jenny, katakan pada Daddy. Apa yang kalian bicarakan tadi?” tukas River penasaran.Alih-alih menjawab, Jennifer justru bertanya, “Daddy, ikan buntal itu seperti apa?”“Heuh? Ikan buntal?” sahut River yang lantas mendapat anggukan putrinya. “Hem … ikan buntal itu panjang dan runcing. Kepalanya bundar, bibirnya menonjol dan perutnya besar. Dia tidak punya sisik, tapi tubuhnya diselimuti duri.”Mata bulat Jennifer berkaca-kaca saat mendengar penjelasan River. Dan itu membuat River heran.“Ada apa, Jenny? Kenapa kau jadi sedih?” Pria itu menaikkan kedua alisnya.“Apa aku jelek seperti ikan buntal?” Jenny bertanya dengan suara gemetar.“Siapa yang bilang Jenny-ku jelek?” Jennifer sekejap menunjuk kakaknya seraya berkata tegas. “Jens