WARNING: chapter ini mengandung adegan dewasa!“A-apa maksudmu?” Adeline bertanya bingung.River menaikkan sebelah alis. Tangannya merentang, memberi isyarat pada sang istri agar segera melucuti pakaiannya.Namun, Adeline malah melipat tangannya di depan dada dengan curiga.“Kau mau mempermainkanku?” katanya dengan ekspresi berubah datar.“Lakukan kalau kau penasaran.”“Cih!” Adeline langsung mendesis sambil membuang muka.‘Sebenarnya apa rencana pria ini?’ batin Adeline semakin penasaran.Dia berdehem, lalu berdiri di hadapan River. Matanya menatap lurus manik abu pria itu, tapi tangannya mulai menarik jas hitam pria itu dan membuangnya ke ranjang.“Aku tahu ini hanya permainan licikmu, Tuan Reiner!” bisik Adeline yang seketika memicu seringai tipis sang suami.Wanita itu menarik dasi dan melepas satu per satu kancing kemeja River. Aroma woody menyeruak dari tubuh pria itu, sungguh membuat Adeline ingin memeluknya. Dan saat Adeline menjatuhkan kemeja River, maniknya membola melihat p
“Apa maksudnya ini?!” tukas River dengan rahang mengeras.Tatapannya tajam, tapi juga gemetar. Siegran dan Dieter yang membawa berita itu bahkan tak sanggup melanjutkan.“Kenapa kalian diam?! Cepat katakan!” dengus River mendesak.Meski berat, tapi Siegran akhirnya berkata, “mo-mohon maaf, Tuan River. Sebenarnya kami sudah melihat berita ini beberapa hari lalu, tapi kami harus menyelidikinya lebih dalam.”River menyimak tajam, dan Dieter semakin menciut.“Polisi menemukan mayat bayi laki-laki yang dimutilasi di Danau Atitlan. Mereka bilang itu bayi prematur karena tubuhnya sangat kecil. Bahkan setelah diperiksa, bayi itu baru berusia beberapa minggu, Tuan.”“Maksudmu bayi itu Johan?!” sahut River tegas, tapi juga mengandung getaran. Sungguh, Siegran tidak berani langsung membenarkan. Dia menunduk dengan menyesal.“Wajah bayi itu hancur dan Polisi tidak bisa mengindentifikasinya. Ta-tapi … ciri-ciri yang mereka sebutkan sangat mirip dengan Tuan Muda Johan,” tutur Siegran terbata.Sial
Satu pesan dari Adeline langsung membuat River buncah. Dia memutar kemudi dan melesat kencang meninggalkan sirkuit untuk segera menemui Jennifer. Setelah tiba di mansion Devante, River bergegas naik ke lantai atas. “Adeline, bagaimana keadaan Jenny?” tukas River begitu membuka pintu kamar bayinya. Sang istri yang sedang berdiri di dekat ranjang Jenny, kini berpaling cemas saat River menghampirinya. “Perawat sudah memberinya obat penurun demam, tapi panasnya belum turun. Dokter bilang ini memang reaksi bayi setelah imunisasi, tapi aku sangat khawatir dengan Jenny,” tutur Adeline kalut. River pun memeluk wanita itu, dia bisa merasakan kecemasan Adeline. “Kau tenang saja, Jenny kita kuat. Dia akan baik-baik saja,” kata River menenangkan. Meski dia sendiri gelisah, tapi River tak mungkin menunjukannya pada Adeline. Dirinya mendekati Jenny, menyentuh pipi mungil bayi itu dan menjaganya bersama Adeline semalaman. “Tidurlah, istriku. Aku yang akan menemani Jenny.” River membelai bahu
“Apa yang kalian ributkan?” tukas River yang baru masuk kamar Jennifer.“Daddy!” Jennifer berbinar.Dirinya seketika berlari menghampiri River. Pria itu tersenyum, dia menggendong anak perempuannnya, lalu mengangkat tubuh Jennifer ke atas ala pesawat terbang.“Jenny, katakan pada Daddy. Apa yang kalian bicarakan tadi?” tukas River penasaran.Alih-alih menjawab, Jennifer justru bertanya, “Daddy, ikan buntal itu seperti apa?”“Heuh? Ikan buntal?” sahut River yang lantas mendapat anggukan putrinya. “Hem … ikan buntal itu panjang dan runcing. Kepalanya bundar, bibirnya menonjol dan perutnya besar. Dia tidak punya sisik, tapi tubuhnya diselimuti duri.”Mata bulat Jennifer berkaca-kaca saat mendengar penjelasan River. Dan itu membuat River heran.“Ada apa, Jenny? Kenapa kau jadi sedih?” Pria itu menaikkan kedua alisnya.“Apa aku jelek seperti ikan buntal?” Jenny bertanya dengan suara gemetar.“Siapa yang bilang Jenny-ku jelek?” Jennifer sekejap menunjuk kakaknya seraya berkata tegas. “Jens
“Itu bukan Reins!” Anais menyeru dengan manik lebar. Adeline yang juga menyadarinya langsung lega. Dia memeluk Jenson dan Jennifer dan kembali duduk. Rupanya seseorang yang jatuh adalah peserta pacuan yang tak sengaja menyenggol kuda peserta lainnya. Akhirnya dua orang itu berhenti karena sepertinya ada yang cedera. Namun, peserta pacuan lainnya tetap bertanding. “Mommy, Daddy tidak apa-apa ‘kan?” Jennifer bertanya sambil memegang tangan Adeline. Anak kecil itu tampak khawatir. Adeline berpaling padanya sembari menjawab, “ya, Daddy akan baik-baik saja, Sayang. Kau tahu, Daddy sangat pandai berkuda.” “Ya, Dadddy hebat. Daddy tidak akan jatuh!” sambar Jennifer berbinar. Mereka kembali fokus ke arena. Itu adalah putaran terakhir yang menentukan pemenangnya. Kuda River dan Siegran bersaing sengit. Bahkan River yang semula memimpin, sudah beberapa disalip oleh asistennya tersebut. Namun, pada jarak sepuluh meter dari garis finis, kuda River berlari lebih kencang dan berhasil melewati
“Nona! Nona Jenny?!” Siegran memekik sembari mencari di sekitar kandang kuda.Namun, alih-alih Jennifer yang muncul, justru seorang penjaga kandang itu yang menghampiri Siegran.“Ada apa, Tuan?” Dia bertanya bingung.“Apa Anda melihat Nona Jenny? Gadis kecil yang tadi memilih kuda poni ini,” sahut Siegran buncah.Penjaga itu mengernyit, lalu membalas, “bukankah Nona muda tadi ada di dalam kandang?”“Dia tidak ada di sana. Sepertinya Nona Jenny keluar melihat kuda poninya, tapi saat kami menyusulnya, dia tidak ada di sini.” Siegran semakin bingung.Jenson yang berdiri di dekat kuda poni putih milik Jennifer, tiba-tiba berkata, “Paman Siegran, sepertinya Jenny pergi ke suatu tempat. Dia meninggalkan helmnya.”Ya, helm pink Jennifer tergeletak di dekat kuda poni. Jenson mengambilnya dengan cemas.Saat itulah, River tiba di sana. Dia heran melihat semua orang bingung.“Ada apa dengan kalian?” tukasnya mendapukkan alis.“Daddy, Jenny hilang!” Jenson menyambar yang sontak membuat manik Rive
*** “Maaf, Tuan. Tapi area di luar jalur lintasan La Huerta sangat berbahaya. Itu hutan, dan mungkin ada hewan liar di sana. Ini berbahaya untuk Anda,” tutur seorang staff peternakan La Huerta saat River memintanya membuka gerbang belakang. Itu membuat River Frustasi. Ya, dia tidak menemukan Jennifer di seluruh sudut tempat itu. Jadi kemungkinan besar anak perempuannya keluar area La Huerta. “Putriku hilang, aku harus mencarinya meski harus ke neraka sekalipun. Jadi cepat buka gerbangnya!” decak River kukuh. Staff La Huerta itu bimbang. Dia hafal benar kawasan ini, dan dirinya tak mau dituntut jika memang terjadi sesuatu pada keluarga Herakles. “Anda tenang saja. Kami tidak akan menyalahkan Anda hanya karena membuka gerbang ini,” sambar Siegran angkat bicara. “Buka sekarang!” River kembali mendesak. Staff tadi buru-buru merogoh kunci dari sakunya. Dia gemetaran karena kesulitan menemukan kunci gembok gerbang yang tak pernah dibuka bertahun-tahun itu. “Tolong cepatlah,” tukas Si
***Mendengar Jennifer mengatakan hal aneh, esoknya River langsung bicara dengan dokter.“Sepertinya putri Anda syok, Tuan. Terlebih dia jatuh ke jurang dan kepalanya terluka. Bisa saja putri Anda salah mengira bahwa dia bersama kakaknya saat di hutan. Kemungkinan lain, putri Anda juga salah mengingat,” tutur Dokter menjelaskan.“Jadi ada yang salah dengan kondisi putri saya? Kepalanya menghantam batu, saya khawatir dia mengalami cedera parah.” River menyahut dengan alis bertaut.“Kondisi paling parah, mungkin putri Anda mengalami gegar otak. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih dalam untuknya,” timpal sang Dokter.Itu membuat River sesak. Dia sudah kehilangan satu putra, kini hampir kehilangan anak bungsunya.Dengan ekspresi serius, River pun membalas, “tolong obati putri saya secara maksimal. Saya tidak ingin hal buruk terjadi padanya.”“Baik, Tuan,” sahut Dokter tadi.River bangkit dan keluar dari ruang dokter itu, lalu berniat kembali menemui Jennifer di ruang rawat. Alih-alih la
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho