“Benar, kami selalu mengadakan acara untuk menyambut anggota baru. Dan minggu ini adalah acara untuk Anda,” tutur Lariat Anne yang lantas membuat Adeline berbinar. “Saya akan mengirimkan undangannya ke alamat Anda.”“Ah, kalau bisa kirimkan ke Picasso Hotel saja. Saya lebih sering menghabiskan waktu bekerja di Hotel dari pada di rumah.” Adeline membalas dengan antusias.Dia rela melakukan apapun demi lari dari neraka yang diciptakan Sabrina. Dan di sinilah Adeline sekarang, dirinya semakin dekat dengan harapan kebebasan.“Baiklah, saya akan meminta asisten saya mengirimnya ke hotel Anda. Lalu, tolong berikan informasi akun rekening Anda. Saya akan mengirimkan uang pembayaran lukisan,” tukas Lariat Anne yang kini berpaling ke arah asisten di sebelahnya.Adeline yang tak paham ucapan Lariat Anne segera bertanya, “tunggu, apa maksud Anda, Nyonya? Awalnya saya memang berniat menjual lukisan itu pada Anda, tapi semuanya berubah karena kita sudah memiliki kesepakatan lain. Jadi Anda tidak p
“Dijodohkan? Sebenarnya apa yang Anda bicarakan?!” Anais yang sejak tadi diam, kini angkat bicara.Dan itu membuat rekan senimannya yang membuka rahasia Adeline tadi tersenyum sinis.“Apa Nyonya Anais tidak tahu jika calon menantunya sudah memiliki calon suami lain? Astaga, bisa-bisanya Anda dibodohi seperti itu?” sambarnya yang terdengar menyinggung.Situasi kini berubah tegang karena semua pasang mata tertuju dengan masalah Adeline yang terangkat ke publik. Tentunya Adeline tak bisa diam saja atau harga dirinya akan semakin jatuh.Wanita itu hendak buka suara, tapi Anais lebih dulu mendecak, “ck! Ternyata Anda tidak pernah berubah. Mengapa Anda selalu ikut campur urusan pribadi seseorang, Nyonya Cosseno?! Jika Anda punya banyak waktu luang, bukankah lebih baik Anda belajar memperbaiki sikap buruk Anda itu?!”Ibu River menatap tajam rekannya, dia amat kesal karena mereka memang tidak akur sejak lama.“Hei, jaga bicara Anda, Nyonya Anais! Jangan karena Anda menantu keluarga Herakles,
WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa, pembaca harap bijak. Sensasi tegang langsung merayapi tubuh Adeline. Begitu menoleh, matanya seketika membelalak karena melihat orang yang paling dia benci berani menyentuhnya! “Sialan! Enyahlah dariku, Kak Ludwig!” umpat Adeline dengan wajah berang. Dia berupaya melepas pelukan sang kakak, tapi Ludwig malah semakin erat mendekap pinggulnya. “Jangan munafik, Adeline. Aku tahu, sebenarnya kau juga menginginkanku ‘kan?!” sahut Ludwig dengan nada serak. Napasnya terasa panas di tengkuk Adeline, pun juga aroma alkohol dari mulutnya, sungguh membuat Adeline merinding. ‘Si brengsek ini mabuk, aku tidak tahu hal gila apa yang akan dia lakukan!’ batin Adeline cemas dalam hati. ‘Tidak bisa, aku harus membuatnya keluar dari kamar ini!’ Dalam suasana tegang itu, Adeline pun berusaha mengendalikan diri. Maniknya mengerjap dan lantas berkata, “le-lepaskan aku dan kita bicara dulu, Kak. Aku—” “Apa kau pikir aku bodoh?!” Ludwig menyambar geram.
Adeline dengan cepat menginjak rem. Nyaris saja mobilnya menabrak pembatas jalan, tapi beruntung dia masih bisa mengendalikan sedannya tersebut. Wanita itu terengah-engah dengan tangan gemetar, wajahnya pun menegang saat menyadari bahwa dirinya baru saja lolos dari maut. ‘Sadarlah! Apa kau ingin mati, Adeline?!’ batinnya mempertingati diri sendiri. Wanita itu pun menunduk berusaha menguasai emosinya. Saat itulah dia tersadar bahwa ponselnya jatuh dan dalam posisi menelepon River. Adeline buru-buru meraih gawainya itu, lalu memutus panggilannya. “Astaga … kau gila, Adeline! Bagaimana bisa kau malah menghubunginya?!” umpatnya kesal pada diri sendiri. Dia yang sedang tertekan, kini memilih mematikan ponselnya. Adeline tak ingin terganggu atau memikirkan apapun hingga melempar benda pipih itu ke kursi sebelahnya. ‘Aish, sial! Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi padaku?!’ batinnya seiring dengan tangannya yang menyugar belahan rambut dengan frustasi. Adeline berniat membenamkan wa
“Ah, ini ….” Adeline tampak ragu saat River mengulurkan baju tidur wanita padanya. Memang konyol jika dia banyak tanya, tapi Adeline tak bisa menyembunyikan wajah penasarannya. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata, “jadi Anda tinggal dengan seseorang?” Rasanya Adeline ingin menyumpal bibirnya sendiri, dia kesal karena tak bisa mengontrol rasa ingin tahunya. “Ini pakaian sepupu saya. Saya pikir Anda lebih akan lebih nyaman kalau memakai baju wanita dari pada baju saya. Jika Anda keberatan—” “Tidak!” Adeline segera menyambar sampai membuat River mengangkat sebelah alisnya. “Maaf, saya tidak bermaksud menolaknya. Terima kasih, saya akan memakainya.” Wanita itu akhirnya meraih baju tadi. Namun, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia merasa kurang nyaman karena baju itu tampak kecil untuknya. Adeline berdiri di depan cermin dengan ekspresi tegang karena baju tersebut hanya menutupi sebagian pahanya. “Aku pikir tadi akan pas, tapi ternyata lebih pendek dari dugaanku,” guma
‘A-apa ini? Mengapa dia memberiku hadiah seperti ini?’ batin Adeline terkejut saat melihat cincin berlian pada kotak yang dibuka River. Sang pria mengeluarkan perhiasan mungil itu, lantas menaikan alisnya sebagai isyarat agar Adeline mengulurkan tangan. “Ini cincin mahal, mengapa Anda memberikannya pada saya padahal pernikahan ini hanya kontrak?” tutur Adeline penasaran. Ya, melihat sekilas, dia langsung tahu kualitas cincin tersebut. Adeline mengerti River seorang konglomerat, tapi dirinya tak menyangka bahwa calon suaminya itu tak segan mengeluarkan banyak biaya demi pernikahan palsunya. “Apa Anda tidak menyukainya? Kalau begitu saya ganti yang lain, bilang saja design apa yang Anda suka?” sahut River dengan wajah datar. “Bukan seperti itu. Hanya saja—” “Ini memang design paling sederhana, saya sengaja memilihnya agar Anda nyaman dan tidak ketahuan oleh orang lain. Selain itu, cincin juga bisa dibawa ke manapun.” River memangkas ucapan Adeline yang belum tuntas. Dan itu, seke
‘Kau tidak akan bisa lepas dariku, meski menikahi orang lain, Adeline!’ Manik Adeline gemetar saat membaca surat ancaman dari paket misterius. Walau si pengirim tidak menuliskan namanya, tapi Adeline tahu benar siapa dia. Dan saat meraih foto di bawah surat ancaman tadi, wajah Adeline sontak berubah tegang. ‘Sialan! Berani sekali Ludwig melakukan ini padaku!’ Dia mengumpat kesal ketika melihat beberapa foto dirinya sedang tidur dengan lingerie, menumpuk di sana. Tangannya meremas pinggiran potret memalukan itu. ‘Ludwig memang brengsek! Aku benar-benar tidak tahan dengannya. Mengapa di hidupku harus ada pria menjijikkan itu?!’ Adeline sungguh merinding dengan kelakuan kakak tirinya. Jika Ludwig memiliki foto-foto ini, bukankah artinya selama ini dia memata-matai Adeline? Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu langsung merobek foto-foto tadi dengan emosi. Dan tepat saat itu, ada ketukan dari luar pintu. “Siapa?!” Adeline bertanya dengan tegas. Sekarang dia tak bisa membiarkan se
“Sebaiknya Mommy pulang, karena saya harus segera berangkat,” tutur River coba menghindari topik pembicaraan.Sorot dinginnya kian kentara, sungguh menunjukan bahwa dia tak ingin bicara apapun lagi dengan ibunya. Namun, Anais bukan orang yang akan mengalah hanya karena orang lain memintanya.Dirinya bersikeras menetap dan lantas berkata, “Mommy akan lega jika kau benar-benar melupakan masa lalu. Mommy berharap kau bisa hidup normal tanpa memikirkan sesuatu yang bukan kesalahanmu, Reins. Tapi haruskah dengan Adeline?”Rahang sang putra mengeras, sesungguhnya River tak mau mengungkit masalah itu. Akan tetapi, Anais yang selalu cemas padanya, tidak bisa abai.“Adeline datang ke Dabin Community!” Anais kembali berkata yang seketika membuat River menatapnya. “Adeline sengaja mendekati Nyonya Lariat Anne agar masuk komunitas. Dia juga mengaku melakukan itu hanya demi mendapat restu Mommy. Adeline sangat ambisius, dan Mommy tidak membencinya. Hanya saja, Mommy tidak suka keluarga Daniester!”
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s
“Hubungi tunangan Jenson!” Johan meminta dengan wajah datarnya.Jennifer seketika mempersempit jarak alisnya. Dia heran karena tiba-tiba sang kakak menyinggung gadis tersebut. Dengan ragu, dia pun bertanya, “ma-maksud Kak Johan … Ashley Walter?”“Ya, cari tahu apakah dia ada di kediaman Walter atau tidak.”Mendengar permintaan itu, malah memicu rasa curiga Jennifer membesar. Tidak biasanya Johan peduli pada orang lain. Terlebih ini tunangan saudara kembarnya.‘Hah! Entah kenapa aku jadi sebal pada Ashley Walter. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi dia sering membuat Jenson maupun Kak Johan terlibat masalah. Sebenarnya gadis seperti apa dia?’ batin Jennifer dalam hati. “Jenny?” Johan membuyarkan lamunan sang adik. Jennifer kembali mengangkat pandangan padanya. Sorot matanya berubah lebih tegas seolah tak menyukai pembahasan ini. “Kak Johan, kenapa kau peduli pada Ashley?!” decaknya menuntut penjelasan.Alis Johan sekejap mendapuk. “Apa yang kau bicarakan, Jenny? Aku bertanya karen