River yang tengah meneguk segelas alkohol, kini tercengang. Dia mendengar jelas ucapan Adeline, tapi malah bertanya, “kau bilang apa?”Wajah Adeline memerah, dirinya yakin sang suami sedang mengejeknya. Namun, karena terlanjur mengatakannya, Adeline sekarang tak bisa mengelak.“Aku tahu kau mendengarnya,” sahut wanita itu menyelidik.Tapi River malah mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu apapun.Adeline pun mendesis, “cih! Aku bilang mari kita tidur bersama. Kau dan aku.”Seketika itu, manik River berbinar. Dia meletakkan gelasnya, lalu berjalan menghampiri Adeline.‘Tunggu aku, kucing kecil!’ batinnya dengan tatapan lekat.Adeline yang masih berdiri di tengah tangga tampak tegang.“A-aku tidak memaksa, aku hanya bertanya jika kau tidak keberatan … uhh!”River segera membungkam bibir Adeline dengan ciumannya. Wanita itu tersentak, tapi dia tidak sempat protes karena River mengulum penuh bibirnya yang merah. Pria tersebut mengigit nakal bawah bibir Adeline, tapi entah mengapa itu
“Orang itu sangat bersih, Tuan. Tidak ada jejak kejahatan ataupun catatan kriminal!” tukas Siegran sembari menyodorokan dokumen pada River.Sang CEO yang penasaran langsung meraih dokumen itu dan membuka isinya. Halaman pertama berisi potret sebuah panti asuhan, dan River mengenali sosok jangkung yang berada di tengah barisan anak-anak. Ya, orang itu Frederick Chen!“Apa maksudnya ini? Apa Frederick berasal dari panti asuhan?” tutur River menerka.“Bukan, Tuan. Tapi Tuan Frederick Chen merupakan donatur tetap yang menyumbang ratuan juta yuan setiap tahunnya untuk Panti Asuhan Desheng di China. Bahkan dia juga membangun yayasan untuk orang jompo dan penyandang disabilitas,” ujar Siegran menjelaskan dengan alis bertaut.“Itu mustahil!” River sekejap menyeringai.Tentu saja dia sullit percaya setelah melihat kelakuan brengsek Frederick. Dia bukan orang sesuci itu!Namun, kerutan di dahi River kian dalam saat Siegran berkata, “Ibu Tuan Frederick adalah seorang aktivis dan Dosen di Univers
“Kita bertemu lagi, Adeline,” tutur seorang pria yang sangat familiar bagi Adeline.Dia bangkit dan tersenyum saat Adeline menghampirinya ke dalam ruang pertemuan.Wanita itu mengangkat kedua alisnya seraya bertanya, “saya tidak menyangka bahwa yang datang adalah Anda, Nacho?”Ya, Nacho. Pria yang dia temui bersama Amber di resort pantai Madonna kala itu, kini tampak berdeda. Jas hitam rapi yang dikenakan menutupi tubuh atletisnya yang kecokelatan.“Kita sudah berteman saat itu. Kau bisa bicara santai padaku,” sahut Nacho menaikkan sebelah alisnya.Adeline tak menjawab, dan itu membuat Nacho jadi canggung. “Apa aku mengejutkanmu?”“Oh? Bukan seperti itu. Hanya saja Anda, ah … maksudku, kau terlihat seperti orang lain. Aku pikir kau seorang atlet selancar karena di pertandingan saat itu sangat professional,” balas Adeline disertai senyum tipis.“Banyak yang bilang begitu, tapi aku berselancar untuk bersenang-senang. Hanya saat senggang.”“Aku mengerti. Jadi kau Investor asing itu?” Ade
“Jangan konyol. Penyerangan apa maksud Anda?!” tukas Siegran tegas.Dia tak senang karena polisi itu menatap River amat sinis. Namun, alih-alih menjelaskan, polisi tadi malah mengeluarkan borgol dan hendak memasangnya di tangan River.“Tunggu dulu!” Siegran segera menghadang di depan River. “Opsir, tolong jelaskan apa maksud semua ini!”Polisi muda tadi menatap tajam seraya mendecak, “Tuan River Reiner dituntut setelah menyerang Tuan Frederick. Tolong menyingkir atau Anda bisa terkena masalah karena menghalangi tugas kami!”“Tuan?” Siegran menoleh ke belakang, tapi River hanya memampangkan wajah datar tanpa berniat mengelak tuduhan.‘Aish, Nenek memang keterlaluan!’ River membatin sengit.Dia jelas tahu kalau Leah yang melaporkan perbuatannya, setelah membuat cucu kesayangannya itu babak belur.Polisi lainnya menarik Siegran sembari berujar, “mohon kerja samanya, Tuan.”Rekannya yang lebih muda lantas meraih tangan River untuk memborgolnya. “Anda berhak diam dan mendapat pengacara, ap
Sensasi tegang menjalari tubuh Adeline. Kepalanya yang masih pusing semakin berdenyut karena melihat Frederick di hadapannya. Ya, entah mengapa pria itu ada di sini. Adeline benar-benar terkejut.Dengan sorot tajam, Adeline pun berkata, “sedang apa kau di sini?!”“Tentu saja menemui Princess. Apa Princess merindukanku?” sahut Frederick dengan suara rendahnya.Wajahnya tersenyum, tapi itu tampak menjijikkan bagi Adeline.“Sudah aku bilang jangan muncul lagi di hadapanku. Pergi, sebelum aku membunuhmu!” sentak Adeline menatap waspada.Alih-alih menjawab, Frederick malah membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam. Adeline menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Dia mendorong dada Frederick dan berlari keluar. Meski aneh membiarkannya lari begitu saja, tapi Adeline tak peduli. Dia hanya berpikir harus kabur dari Frederick!Sialnya, di depan kamar tersebut dipenuhi bodyguard. Mereka menghadang Adeline hingga wanita itu tak ada celah untuk kabur.“Anda mau ke mana, Nyonya?” tanya salah sa
WARNING: chapter ini mengandung adegan dewasa!“Menyingkir dariku!” Adeline berusaha menendang, tapi Frederick malah mencengkeramnya hingga wanita itu sulit bergerak. Pria itu menarik sebelah bibirnya ke atas seraya berkata, “saya sangat menyukai wajah Princess yang sedang marah. Itu terlihat semakin sexy.”‘Bajingan gila!’ batin Adeline mengumpat.Maniknya pun berubah selebar cakram begitu Frederick menegakkan badan dan melepas ikat pinggangnya. “A-apa yang mau kau lakukan?!” Adeline mendengus panik.Bukannya menjawab, sang pria malah melempar ikat pinggang itu ke lantai, lalu mengungkung Adeline dengan tubuh atletisnya. Meski otot perut dan dada bidang itu sangat sempurna, tapi Adeline tak bergairah sama sekali. Wanita itu kian merinding saat sorot mata Frederick seperti binatang buas yang tak sabar menerkamnya.Melihat wajah tegang Adeline, Frederick pun berbisik, “apa Princess mau coba mencicipi tubuh saya?”Adeline menyeringai sinis. Jangankan mencicipi, melihat saja dia sudah
*** “Princess sudah bangun?” tutur Frederick saat melihat alis Adeline berkedut.Adeline merasa seluruh tubuhnya lemah, tapi dia bisa mendengar samar-samar suara lelaki yang dibencinya.‘Aku sangat pusing,’ batin Adeline dalam hati.Dia hendak memegang kepalanya, tapi sebelah tangannya tertahan karena masih diborgol.‘Aish, sial! Ternyata bajingan itu belum melepasku,’ cibir Adeline tak senang.Adeline berusaha bangun. Saat itulah netranya membola karena baru sadar bahwa pakaiannya berubah. Suite formal hitamnya kini berganti dress merah dengan potongan terbuka.“Apa yang kau lakukan padaku?!” Adeline memberang.Frederick yang semula duduk di sofa, kini bangkit dan menarik troli makanan. “Princess harus sarapan. Sejak kemarin Princess tidak makan apapun,” tukas Frederick mengalihkan topik.Sorot mata Adeline kian tajam. Wajahnya menegang seraya mendengus sengit. “Katakan, Frederick. Apa yang kau lakukan padaku?!”“Princess tidak ingat? Padahal tadi malam kita bersenang-senang,” sahu
“Kurang ajar!” Tangan River mengerat setir mobilnya dengan geram.Dia lantas menghubungi Siegran dan berkata saat teleponnya tersambung. “Beritahu aku semua vila atau bangunan mencurigakan di Flo Marina.”Begitu mendapat titah itu, Siegran langsung mengerahkan kemampuan melacaknya. Dibantu dengan beberapa antek River lainnya, dia pun menemukan dua tempat yang paling mencurigakan.Siegran segera menelepon River dan melaporkan, “Tuan, Flo Marina daerah terpencil. Di sana ada tiga vila besar dan salah satunya milik keluarga Anda.”“Berarti ada dua kemungkinan,” sahut River dari seberang.“Benar, Tuan. Pertama Vila Talagog yang tak jarang disewakan pemiliknya, lalu Vila Tua Louvre.”River terdiam beberapa saat setelah mendengar laporan Siegran. Dirinya pernah beberapa kali mendengar vila Talagog, tapi tidak dengan Louvre. “Sirgean, berikan lokasi Vila Louvre,” tukasnya tegas.Tak butuh waktu lama, sang asisten langsung mengirimkan lokasi. River menancap gas amat dalam, mengikuti instingny
“Maaf, aku akan datang lagi nanti,” tutur Johan dengan raut wajah dinginnya. Dia tak sengaja bertatapan mata dengan Jenson yang ditindih Ashley. Melihat situasi itu, benar-benar membuatnya canggung. Namun, bukannya buka suara, Jenson justru diam saja. Entah mengapa rasa puas muncul di hatinya, saat sang adik mengetahui betapa dekat hubungannya dengan Ashley. Ashley pun buru-buru menarik diri dari dekapan Jenson. Dia berbalik penuh ke arah Johan seraya berkata, “tunggu. Jika kau ada keperluan dengan Jenson, aku bisa pergi seka—”Belum tuntas ucapan gadis itu, Johan malah berbalik keluar ruang rawat tersebut.“Aish, kenapa dia pergi begitu saja?” ujar Ashley yang lantas menyusulnya.Ya, dia jadi tak enak hati. Rasanya gadis itu harus meluruskan keadaan dengan memberitahu Johan bahwa dia dan Jenson tidak sedang melakukan hal buruk. Selain itu, Ashley juga harus menanyakan mengapa Johan sampai menghubunginya terus kemarin. “Johan! Tunggu sebentar, aku ingin bicara,” pekiknya bergegas
Ashley terkejut melihat nomor asing menghubunginya beberapa kali. Bahkan ada pesan teks juga.‘Aku tidak mengenal nomor ini,’ batin gadis itu mengerutkan alisnya.Pikiran negative langsung menyerang. Dia mengira itu Maximilian karena mantan kekasihnya masih sangat gila. Namun, saat membuka pesan tadi, ternyata nama Johan yang terpampang.“Hah … tumben sekali dia menghubungiku. Dari mana dia mendapat nomor ponsel … ah benar, dia Bos di Oran Bar. Tentu saja dia bisa memiliki nomor pegawainya,” tutur Ashley kemudian.Tapi ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Johan yang menghubunginya, alih-alih Jenson?Jika itu Jenson, mungkin alasannya karena Ashley tidak datang ke acara makan malam. Tapi kalau Johan yang biasanya dingin padanya malah menelepon, pasti karena keadaan genting ‘kan?Ashley yang berniat abai, kini mencoba menelepon balik Johan.‘Apa yang harus aku katakan jika dia mengangkat teleponnya? Aku tidak biasa basa-basi dengan patung sepertinya,’ batin Ashley ragu-ragu.Detik berikutny
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu