“Kita bertemu lagi, Adeline,” tutur seorang pria yang sangat familiar bagi Adeline.Dia bangkit dan tersenyum saat Adeline menghampirinya ke dalam ruang pertemuan.Wanita itu mengangkat kedua alisnya seraya bertanya, “saya tidak menyangka bahwa yang datang adalah Anda, Nacho?”Ya, Nacho. Pria yang dia temui bersama Amber di resort pantai Madonna kala itu, kini tampak berdeda. Jas hitam rapi yang dikenakan menutupi tubuh atletisnya yang kecokelatan.“Kita sudah berteman saat itu. Kau bisa bicara santai padaku,” sahut Nacho menaikkan sebelah alisnya.Adeline tak menjawab, dan itu membuat Nacho jadi canggung. “Apa aku mengejutkanmu?”“Oh? Bukan seperti itu. Hanya saja Anda, ah … maksudku, kau terlihat seperti orang lain. Aku pikir kau seorang atlet selancar karena di pertandingan saat itu sangat professional,” balas Adeline disertai senyum tipis.“Banyak yang bilang begitu, tapi aku berselancar untuk bersenang-senang. Hanya saat senggang.”“Aku mengerti. Jadi kau Investor asing itu?” Ade
“Jangan konyol. Penyerangan apa maksud Anda?!” tukas Siegran tegas.Dia tak senang karena polisi itu menatap River amat sinis. Namun, alih-alih menjelaskan, polisi tadi malah mengeluarkan borgol dan hendak memasangnya di tangan River.“Tunggu dulu!” Siegran segera menghadang di depan River. “Opsir, tolong jelaskan apa maksud semua ini!”Polisi muda tadi menatap tajam seraya mendecak, “Tuan River Reiner dituntut setelah menyerang Tuan Frederick. Tolong menyingkir atau Anda bisa terkena masalah karena menghalangi tugas kami!”“Tuan?” Siegran menoleh ke belakang, tapi River hanya memampangkan wajah datar tanpa berniat mengelak tuduhan.‘Aish, Nenek memang keterlaluan!’ River membatin sengit.Dia jelas tahu kalau Leah yang melaporkan perbuatannya, setelah membuat cucu kesayangannya itu babak belur.Polisi lainnya menarik Siegran sembari berujar, “mohon kerja samanya, Tuan.”Rekannya yang lebih muda lantas meraih tangan River untuk memborgolnya. “Anda berhak diam dan mendapat pengacara, ap
Sensasi tegang menjalari tubuh Adeline. Kepalanya yang masih pusing semakin berdenyut karena melihat Frederick di hadapannya. Ya, entah mengapa pria itu ada di sini. Adeline benar-benar terkejut.Dengan sorot tajam, Adeline pun berkata, “sedang apa kau di sini?!”“Tentu saja menemui Princess. Apa Princess merindukanku?” sahut Frederick dengan suara rendahnya.Wajahnya tersenyum, tapi itu tampak menjijikkan bagi Adeline.“Sudah aku bilang jangan muncul lagi di hadapanku. Pergi, sebelum aku membunuhmu!” sentak Adeline menatap waspada.Alih-alih menjawab, Frederick malah membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam. Adeline menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Dia mendorong dada Frederick dan berlari keluar. Meski aneh membiarkannya lari begitu saja, tapi Adeline tak peduli. Dia hanya berpikir harus kabur dari Frederick!Sialnya, di depan kamar tersebut dipenuhi bodyguard. Mereka menghadang Adeline hingga wanita itu tak ada celah untuk kabur.“Anda mau ke mana, Nyonya?” tanya salah sa
WARNING: chapter ini mengandung adegan dewasa!“Menyingkir dariku!” Adeline berusaha menendang, tapi Frederick malah mencengkeramnya hingga wanita itu sulit bergerak. Pria itu menarik sebelah bibirnya ke atas seraya berkata, “saya sangat menyukai wajah Princess yang sedang marah. Itu terlihat semakin sexy.”‘Bajingan gila!’ batin Adeline mengumpat.Maniknya pun berubah selebar cakram begitu Frederick menegakkan badan dan melepas ikat pinggangnya. “A-apa yang mau kau lakukan?!” Adeline mendengus panik.Bukannya menjawab, sang pria malah melempar ikat pinggang itu ke lantai, lalu mengungkung Adeline dengan tubuh atletisnya. Meski otot perut dan dada bidang itu sangat sempurna, tapi Adeline tak bergairah sama sekali. Wanita itu kian merinding saat sorot mata Frederick seperti binatang buas yang tak sabar menerkamnya.Melihat wajah tegang Adeline, Frederick pun berbisik, “apa Princess mau coba mencicipi tubuh saya?”Adeline menyeringai sinis. Jangankan mencicipi, melihat saja dia sudah
*** “Princess sudah bangun?” tutur Frederick saat melihat alis Adeline berkedut.Adeline merasa seluruh tubuhnya lemah, tapi dia bisa mendengar samar-samar suara lelaki yang dibencinya.‘Aku sangat pusing,’ batin Adeline dalam hati.Dia hendak memegang kepalanya, tapi sebelah tangannya tertahan karena masih diborgol.‘Aish, sial! Ternyata bajingan itu belum melepasku,’ cibir Adeline tak senang.Adeline berusaha bangun. Saat itulah netranya membola karena baru sadar bahwa pakaiannya berubah. Suite formal hitamnya kini berganti dress merah dengan potongan terbuka.“Apa yang kau lakukan padaku?!” Adeline memberang.Frederick yang semula duduk di sofa, kini bangkit dan menarik troli makanan. “Princess harus sarapan. Sejak kemarin Princess tidak makan apapun,” tukas Frederick mengalihkan topik.Sorot mata Adeline kian tajam. Wajahnya menegang seraya mendengus sengit. “Katakan, Frederick. Apa yang kau lakukan padaku?!”“Princess tidak ingat? Padahal tadi malam kita bersenang-senang,” sahu
“Kurang ajar!” Tangan River mengerat setir mobilnya dengan geram.Dia lantas menghubungi Siegran dan berkata saat teleponnya tersambung. “Beritahu aku semua vila atau bangunan mencurigakan di Flo Marina.”Begitu mendapat titah itu, Siegran langsung mengerahkan kemampuan melacaknya. Dibantu dengan beberapa antek River lainnya, dia pun menemukan dua tempat yang paling mencurigakan.Siegran segera menelepon River dan melaporkan, “Tuan, Flo Marina daerah terpencil. Di sana ada tiga vila besar dan salah satunya milik keluarga Anda.”“Berarti ada dua kemungkinan,” sahut River dari seberang.“Benar, Tuan. Pertama Vila Talagog yang tak jarang disewakan pemiliknya, lalu Vila Tua Louvre.”River terdiam beberapa saat setelah mendengar laporan Siegran. Dirinya pernah beberapa kali mendengar vila Talagog, tapi tidak dengan Louvre. “Sirgean, berikan lokasi Vila Louvre,” tukasnya tegas.Tak butuh waktu lama, sang asisten langsung mengirimkan lokasi. River menancap gas amat dalam, mengikuti instingny
“Kau lambat sekali!” Seorang pria mendecak.Adeline yang tercengang melihat kaki River tertembak, kini semakin tersentak saat menoleh ke arah pria yang menyeru tadi.“Na-nacho?!” Rongga dada Adeline seperti jatuh saat tahu teman yang dia percaya malah melukai suaminya.“Nacho, mengapa kau menembaknya?!” Adeline memekik kencang.Nacho berpaling ke arahnya dan lantas menjawab, “oh? Maaf, Adeline. Dia memang pantas ditembak.”“Bajingan. Ternyata kau berkomplot dengan Frederick. Mengapa? Mengapa kalian melakukan ini? Mengapa kau menembak suamiku?!” sentak Adeline histeris.River yang mengernyit sakit, langsung mengangkat tatapan ke arah Adeline. Amarahnya berkobar saat melihat wajah putus asa wanita itu.‘Tenang saja, Adeline. Aku tidak akan mati. Aku akan menyelamatkanmu!’ batinnya bertekad.Dia berusaha bangkit, tapi tanpa diduda Nacho kembali menembak lengan kanannya.“Ugh!” River mendapukkan alis saat peluru masuk tubuhnya.“Tidak! Berhenti, Nacho. Jangan menembaknya lagi!” Adeline m
“Adeline, kau tidak apa-apa?” River bertanya panik pada istrinya.“Tidak apa-apa,” sahut Adeline berpaling dengan wajah tegang. “Siapa yang melakukannya?”“Sepertinya Frederick atau anak buahnya mengejar kita. Tapi kau tidak perlu panik, aku pastikan kau akan aman,” tutur River menenangkan. Adeline mendapukkan alis saat menoleh ke belakang. Rupanya ada dua mobil yang mengejarnya. “Apa kau pandai naik wahana permainan?”“Heuh?” Adeline mengernyit mendengar pertanyaan River yang tak terduga. “Ah, ya … aku rasa.”“Baiklah, karena aku akan sedikit kasar!” sambar River yang lantas menancap gas amat dalam. Sorot matanya sangat tajam, begitu fokus di jalanan. Namun, mendadak sebuah sedan mewah menghimpitnya dari samping. River memutar setir dengan lihai hingga berhasil menyalip mobil itu, tapi sialnya seseorang dari mobil jeep di belakang malah mengacungkan pistol dan melesatkan peluru ke mobilnya.“Ahh! Mereka menembak!” Adeline tegang bukan main.“Tidak masalah. Kaca mobil ini anti pelu
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho