“Kau lambat sekali!” Seorang pria mendecak.Adeline yang tercengang melihat kaki River tertembak, kini semakin tersentak saat menoleh ke arah pria yang menyeru tadi.“Na-nacho?!” Rongga dada Adeline seperti jatuh saat tahu teman yang dia percaya malah melukai suaminya.“Nacho, mengapa kau menembaknya?!” Adeline memekik kencang.Nacho berpaling ke arahnya dan lantas menjawab, “oh? Maaf, Adeline. Dia memang pantas ditembak.”“Bajingan. Ternyata kau berkomplot dengan Frederick. Mengapa? Mengapa kalian melakukan ini? Mengapa kau menembak suamiku?!” sentak Adeline histeris.River yang mengernyit sakit, langsung mengangkat tatapan ke arah Adeline. Amarahnya berkobar saat melihat wajah putus asa wanita itu.‘Tenang saja, Adeline. Aku tidak akan mati. Aku akan menyelamatkanmu!’ batinnya bertekad.Dia berusaha bangkit, tapi tanpa diduda Nacho kembali menembak lengan kanannya.“Ugh!” River mendapukkan alis saat peluru masuk tubuhnya.“Tidak! Berhenti, Nacho. Jangan menembaknya lagi!” Adeline m
“Adeline, kau tidak apa-apa?” River bertanya panik pada istrinya.“Tidak apa-apa,” sahut Adeline berpaling dengan wajah tegang. “Siapa yang melakukannya?”“Sepertinya Frederick atau anak buahnya mengejar kita. Tapi kau tidak perlu panik, aku pastikan kau akan aman,” tutur River menenangkan. Adeline mendapukkan alis saat menoleh ke belakang. Rupanya ada dua mobil yang mengejarnya. “Apa kau pandai naik wahana permainan?”“Heuh?” Adeline mengernyit mendengar pertanyaan River yang tak terduga. “Ah, ya … aku rasa.”“Baiklah, karena aku akan sedikit kasar!” sambar River yang lantas menancap gas amat dalam. Sorot matanya sangat tajam, begitu fokus di jalanan. Namun, mendadak sebuah sedan mewah menghimpitnya dari samping. River memutar setir dengan lihai hingga berhasil menyalip mobil itu, tapi sialnya seseorang dari mobil jeep di belakang malah mengacungkan pistol dan melesatkan peluru ke mobilnya.“Ahh! Mereka menembak!” Adeline tegang bukan main.“Tidak masalah. Kaca mobil ini anti pelu
*** “Mohon maaf, Nyonya. Kondisi pasien sangat sangat kritis. Kami sudah berusaha melakukan apapun, tapi pasien tidak bisa melewati masa kritisnya.” Sang Dokter menyesal.“Ja-jadi apa maksud Dokter? Apa Cucu saya tidak bisa selamat?!” Leah menyambar dengan ekspresi tegang.Ya, mendengar Frederick kecelakaan dan mobilnya meledak, dia segera berkoar meminta orang untuk mencarinya. Bahkan dia mati-matian membawa Frederick yang sekarat ke rumah sakit. “Katakan sesuatu! Anda seorang Dokter, bukankah harusnya menyelamatkan pasien apapun yang terjadi?!” Leah kembali mendesak.“Tuan Frederick Chen mengalami koma, Nyonya. Dan kami tidak tahu kapan beliau akan sadar,” ujar Dokter tadi menjelaskan. “Untuk saat ini kita hanya bisa menunggu. Sungguh keajaiban jika Tuan Frederick bisa bangun.”Kaki Leah seketika lemas. Dia nyaris ambruk, tapi beruntungnya seorang pengawal menahan tubuhnya.“Ti-tidak … ini tidak mungkin. Cucuku tidak mungkin koma. Dia pasti bisa bangun, dia harus segera sadar!” Na
“Ma-mandi?!” tanya Adeline canggung.River mengangguk, lalu berkata, “tubuhku rasanya lengket. Aku ingin mandi agar lebih segar.”“Kau habis ditembak dan baru siuman. Lukamu belum kering, jadi kau tidak boleh terkena air,” Adeline melarang.“Tapi di sini sangat panas. Aku berkeringat,” tukas River merengek.Adeline merasa aneh. Padahal tempat ini ada pendingin ruangan dan dia merasa sejuk, tapi entah mengapa River malah berkeringat.“Ka-kalau begitu aku akan membasuhmu,” ujar wanita itu yang lantas memicu alis River naik sebelah.Adeline beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air hangat dan handuk. Lalu kembali menghampiri sang suami yang kini berusaha bangun.“Aku akan membantumu.” Wanita itu meletakkan bantal di belakang punggung River untuk bersandar.Dirinya mengamati wajah River yang masih pucat. Itu mengingatkannya ketika River demam di mobil dan ingin mengatakan sesuatu padanya.‘Kira-kira apa yang ingin dia katakan saat itu? Dia terlanjur pingsan sebelum mengatakannya. Apa aku
“Hei!” Adeline seketika menarik diri dengan manik lebar.Dia hendak memarahi River, tapi suaminya itu lebih dulu berkata, “bagaimana? Kau suka ‘kan?”Sial, semu merah menyerang pipi Adeline, menjadikannya sasaran empuk untuk digoda. “I-ini bukan cara untuk makan ice cream!” Adeline menyahut. Dia berusaha menata ekspresinya kembali datar.Bibir River tersungging sebelah, “aku tidak suka makan ice cream dengan cara biasa. Apa kau mau mencobanya lagi?”“Aku akui mint chocolate tidak buruk jika … dimakan seperti ini?” Adeline berkata sambil memutar bola matanya.“Kalau begitu kemarilah. Aku akan menunjukan cara makan mint chocolate yang lebih seru,” tukas River menaikkan sebelah alisnya.“Cih! Dasar rubah licik!” Adeline mendesis.Dia berdiri dan berniat pergi, tapi River dengan sigap menarik lengan wanita itu hingga Adelina jatuh di pangkuannya.“River! Apa yang kau lakukan? Kakimu masih sakit!” tukas Adeline berpaling dengan wajah tegang.“Kenapa? Kau mau kabur?” bisik sang pria pelan.
Mulut River tertutup rapat, maniknya pun menghindari tatapan Adeline.“Katakan saja jika benar,” tutur Adeline memecah sunyi.Ekspresinya berubah gelap. Meski tahu Freya sudah tiada, tapi kenangan wanita itu bersama River memang mengusiknya.Dia pun melonggarkan pelukan, dan River seketika berujar, “kau mau ke mana?”“Sepertinya kau tidak nyaman aku di sini. Aku akan tidur di sofa!” sahut Adeline dingin.River tahu sang istri merajuk karena dia tak mau menjawab pertanyaannya.Adeline hendak bangkit, tapi River mendekapnya erat.“Itu Mommy!” jawab pria itu akhirnya.“Heuh?” Adeline mengerutkan keningnya heran.“Aku bilang itu Mommy. Wanita yang mengalahkanku di pacuan kuda Huerta adalah Mommy!” tukas River lebih tegas. “Itu pertandingan saat aku masih remaja. Karena kalah, Mommy melarangku bermain game selama satu bulan!”“Ah ….”Netra Adeline kembali cerah. Dia melipat bibirnya ke dalam, berusaha menahan tawanya.“Kau mengejekku?” River bertanya seraya menaikkan satu alisnya.“Pft! Te
“Oh? Kau jadi datang?” tutur Lariat Anne berpaling pada Bianca.“Tentu saja, Bibi Anne. Jarang sekali Reins datang, jadi aku juga harus datang.” Bianca menyahut seraya melirik River.Ya, Wanita itu tak mungkin absen. Bahkan saat brand kosmetiknya sibuk mengalami masalah, Bianca tetap pergi hanya untuk melihat River.Bianca berpaling ke arah River, lalu bertanya, “ah … aku dengar kau dirawat di rumah sakit. Bagaimana keadaanmu sekarang, Reins?”Namun, sang pria hanya menyeringai tipis. Dia tahu bahwa Adeline terganggu karena Bianca bertingkah lancang.“Istriku, kakiku masih sakit. Jadi temani aku menonton pacuannya.” River sengaja mengatakannya untuk menghindari orang-orang.Dia lantas meraih tangan Adeline dan mengajaknya pergi.Akan tetapi, Bianca tiba-tiba berkata, “aku rasa Adeline lawan yang cocok untukku. Jadi kita lihat, siapa yang menang?!”“Maaf, Nona Bianca. Saya harus menemani suami saya!” sambar Adeline dengan tekanan di akhir katanya.“Cih! Bilang saja kau takut. Dasar pec
“Ha-hamil? Apa maksud Mommy? Adeline hamil?!” River memberondong tanya saking terkejutnya.“Yah … kau lihat ‘kan? Istrimu mual, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Ini tanda-tanda wanita hamil!” sahut Anais amat yakin.Dirinya berpaling ke arah Adeline, lalu bertanya, “benar ‘kan, Adeline? Apa kau sudah pernah melakukan pemeriksaan ke Dokter kandungan?”Oh, tidak! Wajah Adeline seketika membeku saat dua orang itu menatap dengan sorot penuh tanya. Adeline tidak tahu harus menjawab apa. Meski akhir-akhir ini River bersikap lembut, tapi dia masih mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya. Sebab River bukan orang yang fleksibel jika menyangkut aturan dalam kontrak.‘Ba-bagaimana ini? Jika River tahu aku hamil, dia pasti akan memintaku mengugurkan bayi ini,’ batin Adeline takut.“Katakan. Apa yan
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s