“Ha-hamil? Apa maksud Mommy? Adeline hamil?!” River memberondong tanya saking terkejutnya.
“Yah … kau lihat ‘kan? Istrimu mual, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Ini tanda-tanda wanita hamil!” sahut Anais amat yakin.
Dirinya berpaling ke arah Adeline, lalu bertanya, “benar ‘kan, Adeline? Apa kau sudah pernah melakukan pemeriksaan ke Dokter kandungan?”
Oh, tidak! Wajah Adeline seketika membeku saat dua orang itu menatap dengan sorot penuh tanya. Adeline tidak tahu harus menjawab apa. Meski akhir-akhir ini River bersikap lembut, tapi dia masih mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya. Sebab River bukan orang yang fleksibel jika menyangkut aturan dalam kontrak.
‘Ba-bagaimana ini? Jika River tahu aku hamil, dia pasti akan memintaku mengugurkan bayi ini,’ batin Adeline takut.
“Katakan. Apa yan
“I-ini … bagaimana kau bisa mendapat foto ini?” Adeline membelalakkan matanya.“Mengapa kau terkejut?” sambar River dingin. “Aku ingin mengabaikannya saat tahu kau tidur dengan Frederick, tapi berbeda jika benih bajingan itu ada di perutmu!”Padahal tadi siang mereka masih mesra, tapi kini tatapan River amat tajam seolah melihat musuh. Bahkan Adeline seperti menyusut karena tekanan sang suami yang tak mengenal belas kasihan. Persis saat mereka pertama kali bertemu dulu, River kembali menunjukkan sisi iblisnya.“River, ini tidak seperti yang kau pikir—”“Memangnya kau ingat semua kejadian di vila Louvre? Kau yakin tidak basah karena rangsangan pria bajingan itu, hah?!” sambar River sinis.“Tutup mulutmu, River Reiner!” Adeline mendengus murka.Dia tak menyangka bahwa pria yang dicintainya akan mencecar habis-habisan.“Meski aku tidak ingat semua kejadian di vila itu, tapi aku tidak berbohong. Bayi ini anakmu! Aku sudah hamil sebelum penculikan itu!” decak Adeline dengan wajah tegang.A
‘Jadi dia benar-benar ingin bercerai?’ batin Adeline sesak.Ya, manik wanita itu gemetar saat melihat surat perjanjian cerai yang sudah ditandatangai River. Di sebelah nama pria itu tertulis jelas Adeline Daniester.‘Bodoh! Memang apa yang aku harapkan? Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Ada anak maupun tidak, itu tidak memengaruhi kontrak. Dan lagi, River tidak mungkin menerima bayi ini.’ Adeline melanjutkan seiring dadanya yang terasa perih.Netra Adeline terasa panas saat air matanya berkumpul di pelupuk mata. Namun, dia sekuat tenaga membendung tangisnya karena tak mau tampak menyedihkan.Dia meletakkan kembali surat perceraian itu ke meja dengan tangan mengepal.‘Sadarlah, Adeline! Sejak awal dia tidak menawarkan cinta. Kau sangat bodoh karena jatuh cinta padanya!’ batin wanita itu memperingati diri sendiri.Dia pun pergi dari ruangan tersebut. Pikirannya yang kacau membuatnya ingin menghirup udara segar. Bahkan entah mengapa dia ingin bertemu Amber dan minum sampai mabuk.
“Mo-mohon maaf, Nyonya. Tadi saya keluar sebentar setelah mengambil sample darah dari pembuluh vena pasien. Tapi saat kembali ke ruang pemeriksaan, Nyonya Adeline sudah tidak ada.” Sang Perawat menjelaskan dengan gugup.“Apa Anda yakin? Di toilet atau ruang pemeriksaan lain juga tidak ada?” sahut Anais.Namun, perawat tadi hanya menggeleng hingga memicu kecemasan.“Kenapa kalian khawatir seperti itu? Adeline sudah dewasa, bisa jadi dia pergi lebih dulu ke Picasso Hotel. Wanita itu gila kerja!” tukas River sinis.“Reins! Istrimu menghilang, bagaimana bisa kau setenang ini?!” Anais menyambar tak senang.“Mommy, Adeline bukan anak kecil. Dia tidak mungkin tersesat!” balas sang putra acuh tak acuh. “Hari ini sibuk, saya pamit.”Tanpa berlama-lama, River pun mangkir dari rumah sakit. Anais menarik napas sesaknya melihat punggung sang putra menjauh.“Dia persis seperti dirimu. Keras kepala!” Anais mencibir kesal sambil menyindir Jade.“Sudahlah, Sayang. Anak-anak sedang sensitive, kau tidak
“Apa kau yakin?” River bertanya seiring keningnya yang mengerut.“Saya yakin, Tuan,” sahut Siegran tanpa ragu. “Manager Picasso Hotel yang memberitahu saya bahwa Nyonya Adeline absen tanpa alasan yang jelas. Dan itu membuat para staff bingung.”River seketika terdiam.‘Mustahil Adeline tidak bekerja. Jika tidak ke Picasso Hotel, lalu ke mana dia seminggu ini?’ batinnya yang tanpa sadar mencoret-coret ujung dokumen yang harusnya dia tanda tangani.Siegran yang melihat tingkah sang tuan langsung membelalak.“Maaf, Tuan. Tapi dokumennya!” tukasnya menegur.River sontak bangkit dari lamunan. Dia mengangkat tangannya seraya menarik napas sesak.“Maaf, minta mereka menyiapkan dokumen yang baru. Aku akan menandatanganinya setelah acara pembukaan La Huerta,” tuturnya.“Baik, saya mengerti, Tuan,” sahut Siegran menerima dokumen itu.Mereka pun berangkat menuju La Huerta, tapi sepanjang perjalanan, pikiran River tak luput dari Adeline.‘Aish, sebenarnya di mana Adeline? Mengapa dia mematikan te
Usai memanggil dokter keluarga untuk memeriksa River, Siegran bergegas pergi ke apartemen di kawasan elit San Pedro. Dia menekan bel, tapi beberapa menit menunggu, pintunya tak kunjung dibuka. Di sisi lain, Amber hanya mengamati Siegran dari monitor kecil yang menempel di dinding apartemennya. ‘Aish, apa yang harus aku katakan padanya?’ batin wanita itu sambil berkacak pinggang. “Nona, saya mohon buka pintunya,” tutur Siegran yang tampak gelisah dari monitor. Amber menarik napas panjang, seraya berkata, “mengapa dia memasang wajah begitu?” Amber menekan tombol, lalu berujar, “dengar, Siegran. Kalau kau datang untuk menanyakan tentang—” “Saya merindukan Anda!” sahut Siegran memotong. Sang wanita seketika terdiam. Tangannya menyugar rambut dengan frustasi. ‘Sial! Dia tahu kelemahanku!’ cibirnya dalam batin. Akhirnya Amber membuka pintu dengan wajah tertekuk. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat agar Siegran memeluknya. Namun, asisten River yang kaku itu malah terdiam canggun
‘Bagaimana ini? Tuan River punya trauma di lautan, bisa bahaya jika beliau pergi sendiri,’ batin Siegran resah.Ya, untuk menyeberang ke La Ceiba menggunakan kapal saja butuh waktu hampir enam jam. River akan kelelahan jika memaksakan diri melintas dengan spead boat kecil. Belum lagi cuaca sedang buruk, tidak mustahil jika River terkena badai di tengah lautan.Siegran mengusap belakang lehernya yang terasa kaku, lalu kembali ke tempat nahkoda.“Saya mohon, kita harus segera menyusul Tuan River!” tukasnya buncah.Namun, nahkoda itu malah memampangkan wajah muram dan lantas menjawab, “maaf, Tuan. Kami tidak berani beroperasi sekarang. Tuan melihat sendiri kalau cuaca se—”“Nyawa seseorang dalam bahaya! Apa kalian akan tutup mata?!” Siegran menyambar sebelum Nahkoda itu menuntaskan katanya.“Tapi ….”“Saya akan membayar lima kali lipat!” Siegran berkata tegas.Dan itu membuat sang nahkoda berpaling pada rekannya. Dia tahu rekannya itu sedang butuh uang, dan dirinya coba memberikan tawara
River dan Siegran berpaling ke belakang. Mereka membelalak saat Adeline menodongkan pistol Five-seven dengan tatapan tajam. Itu adalah senjata api semi otomatis yang dulu dihadiahkan River untuk Adeline. “River?!” Ekspresi Adeline jatuh saat melihat suaminya.Dari jarak sepuluh meter, penampilan River yang biasanya menawan kini tampak berantakan. Terlebih kemeja dan rambutnya yang basah, pria itu terlihat menyedihkan. Namun, kabut resah di wajahnya sekejap pudar ketika melihat istrinya.Dia melangkah ke arah sang istri seraya berkata, “Adeline—”“Berhenti!” Adeline langsung menyambar hingga River terpaksa menghentikan kakinya. “Jangan mendekat, bicaralah dari sana!” “Tapi ….” River meredam ucapnya saat Adeline mundur. Istrinya itu menghindarinya seolah dia adalah wabah.“Kenapa kau datang ke sini?!” tukas Adeline dengan gigi terkatup.Miaw!Tatapan River beralih ke anak kucing putih yang digendong Adeline. Benar, di tengah hujan tadi Adeline keluar karena mendengar anak kucing menge
“Adeline!” Beruntung River berhasil menahan Adeline sebelum wanita itu menyerusuk ke tanah. Dia yang kebetulan datang ke vila, segera menarik Adeline di atas. “Apa yang kau lakukan?!” bentaknya. Adeline tercengang melihat ekspresi suaminya buncah. “A-aku hanya—” “Ini berbahaya, bagaimana jika kau jatuh dan bayi kita ….” River menghentikan ucapnya saat melihat alis Adeline menyatu. Wanita itu menghempas cekalan River seraya mendecak, “minggir! Aku harus menyelamatkan kucing itu!” Dia berpaling ke anak kucing yang kesakitan karena terjepit batang pohon tadi. Tapi belum sempat dirinya melangkah, River kembali mencengkeram seraya mendengus, “apa kau gila, Adeline?! Aku bilang itu bahaya!” “Kau tidak berhak melarangku!” sambar Adeline bersikeras. “Tetap di sini, biar aku yang mengambilnya!” River berkata tegas. Pria itu langsung melepas sepatu dan perlahan turun mengambil anak kucing yang malang tadi. Namun, tanpa sadar kakinya menginjak benda tajam hingga membuat keningnya menge
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s