River dan Siegran berpaling ke belakang. Mereka membelalak saat Adeline menodongkan pistol Five-seven dengan tatapan tajam. Itu adalah senjata api semi otomatis yang dulu dihadiahkan River untuk Adeline. “River?!” Ekspresi Adeline jatuh saat melihat suaminya.Dari jarak sepuluh meter, penampilan River yang biasanya menawan kini tampak berantakan. Terlebih kemeja dan rambutnya yang basah, pria itu terlihat menyedihkan. Namun, kabut resah di wajahnya sekejap pudar ketika melihat istrinya.Dia melangkah ke arah sang istri seraya berkata, “Adeline—”“Berhenti!” Adeline langsung menyambar hingga River terpaksa menghentikan kakinya. “Jangan mendekat, bicaralah dari sana!” “Tapi ….” River meredam ucapnya saat Adeline mundur. Istrinya itu menghindarinya seolah dia adalah wabah.“Kenapa kau datang ke sini?!” tukas Adeline dengan gigi terkatup.Miaw!Tatapan River beralih ke anak kucing putih yang digendong Adeline. Benar, di tengah hujan tadi Adeline keluar karena mendengar anak kucing menge
“Adeline!” Beruntung River berhasil menahan Adeline sebelum wanita itu menyerusuk ke tanah. Dia yang kebetulan datang ke vila, segera menarik Adeline di atas. “Apa yang kau lakukan?!” bentaknya. Adeline tercengang melihat ekspresi suaminya buncah. “A-aku hanya—” “Ini berbahaya, bagaimana jika kau jatuh dan bayi kita ….” River menghentikan ucapnya saat melihat alis Adeline menyatu. Wanita itu menghempas cekalan River seraya mendecak, “minggir! Aku harus menyelamatkan kucing itu!” Dia berpaling ke anak kucing yang kesakitan karena terjepit batang pohon tadi. Tapi belum sempat dirinya melangkah, River kembali mencengkeram seraya mendengus, “apa kau gila, Adeline?! Aku bilang itu bahaya!” “Kau tidak berhak melarangku!” sambar Adeline bersikeras. “Tetap di sini, biar aku yang mengambilnya!” River berkata tegas. Pria itu langsung melepas sepatu dan perlahan turun mengambil anak kucing yang malang tadi. Namun, tanpa sadar kakinya menginjak benda tajam hingga membuat keningnya menge
“Tuan River meminta orang datang membawa helikopter, Nyonya,” tutur Siegran menjelaskan. “Helikopter?” sahut Adeline mengernyit. Dia lantas berpaling pada River dengan ekspresi penuh tanya.“Ah … itu agar kita bisa pulang dengan aman. Cuaca sedang tidak menentu, akan bahaya jika kita melewati laut. Dan juga, aku tidak ingin bayi kita terguncang,” tukas River dengan wajah seriusnya.Adeline menahan senyum, lalu melengos dari River. “Usia kandunganku baru mencapai bulan ketiga, janin kita masih aman meski aku lari marathon.”“Siapa yang mengijinkanmu berlari? Kau tidak boleh berlari, kau harus berjalan hati-hati dan jangan pakai sepatu hak tinggi. Kalau perlu, aku akan menggendongmu!” sahut River tegas.“Hei, aku sedang hamil, bukannya sakit!” Adeline pun protes.Alih-alih langsung menjawab, River malah menjulurkan tangannya dan menarik dagu Adeline. Pria itu mendekat, tapi Adeline yang gugup langsung menjaga jarak. “A-apa yang kau lakukan? Siegran melihat kita,” bisik wanita itu.“Si
“Berikan padaku,” tutur River meraih telepon.Ekspresi pria itu berangsur gelap saat mendengar seseorang bicara dari seberang. Dan itu memicu kecemasan Adeline.“Baik, terima kasih, Inspektur,” ujar River menutup panggilan.Dia tak sanggup menatap wajah Adeline, tapi istrinya itu malah bertanya, “apa yang terjadi?”Tapi River malah bungkam.“Apa ada masalah?!” Sang istri mendesak.“Adeline, Ayah mertua … Ayah mertua meninggal dunia,” tutur River yang sontak membuat manik Adeline selebar cakram.“A-apa? Ayah … i-itu tidak mungkin!” Wanita itu menyahut tegang.Ya, penyakit kanker lambung Heinry yang sudah mencapai stadium lanjut sangat ganas. Terlebih dia tidak mendapat tindakan medis selama di penjara, sebab dirinya juga menolak untuk dirawat.“Polisi bilang, Ayah mertua mengembuskan napas terakhirnya pagi ini,” tutur River lirih.Adeline hampir jatuh, tapi River berhasil merengkuhnya. Pria itu meraih pet cargo berisi anak kucing dari Adeline dan menyerahkannya pada pelayan.“A-ayah …,
*** Tiga bulan semenjak kepergian Heinry, Adeline lebih jarang ke Picasso Hotel. Selain karena perutnya yang sudah membesar, dia juga mudah kelelahan. River sudah memintanya cuti, tapi Adeline tidak tahan jika berdiam diri tanpa bekerja. Sebab itu, River lebih cermat mengawasinya.Sore itu, River datang ke Picasso Hotel untuk menjemput Adeline. Dia tersenyum tipis saat masuk ke ruang direktur dan menemukan sang istri masih bergelut dengan dokumen.“Kenapa kau masih bekerja?” katanya yang seketika membuyarkan fokus sang istri.“Heuh? Kapan kau datang?” Adeline bertanya bingung.River berjalan mendekat, lalu meraih dokumen dari tangan Adeline.Namun, belum sempat River berkata, Ben masuk ke ruang kerja Adeline. “Oh, maaf. Saya tidak tahu kalau Tuan dan Nyonya—”“Tidak masalah. Masuklah, Tuan Ben,” tutur Adeline memberi ijin.Ben lantas mendekat dan menyerahkan dokumen lain. “Ini data yang Anda minta, Nyonya. Saya sudah menyusunnya berdasarkan data tahun kemarin,” tukas Ben sopan.“Te
“Ada yang tertembak!” Seseorang memekik.Beberapa orang di luar rumah sakit langsung heboh. Mereka panik dan mencari perlindungan bersama orang terdekat.River pun mendekap Adeline erat, tapi maniknya sontak melebar saat melihat Siegran ambruk dengan dada bersimpah darah.“Siegran!” tukas River terkejut, begitu pun dengan Adeline.Mereka menghampiri Siegran yang tampak kesakitan.Ya, sebelumnya Siegran tak sengaja melihat pria misterius mengarahkan pistol pada Adeline. Dalam waktu sesingkat itu, dia menghalangi tembakan yang harusnya mengenai sang nyonya.River merengkuh Siegran. Netranya memindai sekitar dan tak sengaja melihat mobil mencurigakan melesat kencang.‘Sialan!’ gemingnya mengumpat tajam.Dia memastikan Adeline di sampingnya, lalu berpaling lagi pada Siegran yang mengernyit sakit. Jelas sekali dia kehilangan banyak darah, karena peluru itu mengenai dada kirinya.“Bertahanlah!” River berkata tegas.Orang-orang berkumpul. Beberapa perawat datang dan langsung menghampiri mere
“Kami menemukannya di Danau Atitlan,” sahut Dieter dari seberang.Dia adalah bawahan Siegran yang sama loyalnya pada River. Mendengar rekannya tertembak, Dieter dan beberapa antek lain langsung melesat ke danau itu meskipun tengah malam.“Mobil itu tenggelam di danau, kami mendereknya dan menemukan seorang lelaki tewas di dalamnya, Tuan.”Alis River berkedut mendengar laporan itu. Tangannya pun mengepal geram karena kutu pengganggunya berani mati tanpa seijinnya.Dengan gigi terkatup, River pun bertanya, “siapa dia?!”“Sepertinya dia mantan anggota geng. Saya ingat dia pernah masuk penjara karena kasus pembantaian buruh pabrik. Sudah lama dia kabur dari penjara, Tuan, karena itu dia masuk daftar buronan, tapi ….” Dieter menjeda ucapnya.“Teruskan!” River berkata tegas. “Saya pikir dia juga dibunuh, Tuan!” sambar Dieter yang seketika membuat River mengernyit.Belum sempat River menyahut, Dieter kembali berkata, “saya menemukan bekas luka di lehernya. Kemunginan besar seseorang melenya
Adeline segera menutup telepon. Wajahnya menegang dan langsung memblokir nomor tak dikenal itu.‘Tidak! Aku pasti salah dengar. Mustahil dia kembali!’ batinnya dengan manik gemetar.Adeline tak bisa mengambil risiko jika masa lalunya kembali mengusik. Terlebih kini dia sedang hamil, wanita itu tak mau sesuatu yang buruk terjadi. Hingga dia memilih menghindari masalah.Adeline pun melirik dokumen yang berisi data-data tamu undangan hotel di mejanya. ‘Ya, ada yang lebih penting sekarang.’Dirinya lantas menghubungi manager hotelnya untuk menyiapkan undangan khusus bagi para tamu spesial.Malamnya, River pulang lebih cepat. Setelah insiden penembakan, dia selalu gelisah meninggalkan Adeline sendiri. Dia yang biasanya gila kerja, kini ingin cepat-cepat menemui istri dan menyapa bayi dalam kandungan Adeline.Namun, saat pria itu melihat wajah Adeline, dia merasa ada sesuatu yang wanita itu tutupi. Dia yang baru saja mandi dan masih mengenakan bathrope, menghampiri Adeline yang duduk di dep
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho