“Tuan River meminta orang datang membawa helikopter, Nyonya,” tutur Siegran menjelaskan. “Helikopter?” sahut Adeline mengernyit. Dia lantas berpaling pada River dengan ekspresi penuh tanya.“Ah … itu agar kita bisa pulang dengan aman. Cuaca sedang tidak menentu, akan bahaya jika kita melewati laut. Dan juga, aku tidak ingin bayi kita terguncang,” tukas River dengan wajah seriusnya.Adeline menahan senyum, lalu melengos dari River. “Usia kandunganku baru mencapai bulan ketiga, janin kita masih aman meski aku lari marathon.”“Siapa yang mengijinkanmu berlari? Kau tidak boleh berlari, kau harus berjalan hati-hati dan jangan pakai sepatu hak tinggi. Kalau perlu, aku akan menggendongmu!” sahut River tegas.“Hei, aku sedang hamil, bukannya sakit!” Adeline pun protes.Alih-alih langsung menjawab, River malah menjulurkan tangannya dan menarik dagu Adeline. Pria itu mendekat, tapi Adeline yang gugup langsung menjaga jarak. “A-apa yang kau lakukan? Siegran melihat kita,” bisik wanita itu.“Si
“Berikan padaku,” tutur River meraih telepon.Ekspresi pria itu berangsur gelap saat mendengar seseorang bicara dari seberang. Dan itu memicu kecemasan Adeline.“Baik, terima kasih, Inspektur,” ujar River menutup panggilan.Dia tak sanggup menatap wajah Adeline, tapi istrinya itu malah bertanya, “apa yang terjadi?”Tapi River malah bungkam.“Apa ada masalah?!” Sang istri mendesak.“Adeline, Ayah mertua … Ayah mertua meninggal dunia,” tutur River yang sontak membuat manik Adeline selebar cakram.“A-apa? Ayah … i-itu tidak mungkin!” Wanita itu menyahut tegang.Ya, penyakit kanker lambung Heinry yang sudah mencapai stadium lanjut sangat ganas. Terlebih dia tidak mendapat tindakan medis selama di penjara, sebab dirinya juga menolak untuk dirawat.“Polisi bilang, Ayah mertua mengembuskan napas terakhirnya pagi ini,” tutur River lirih.Adeline hampir jatuh, tapi River berhasil merengkuhnya. Pria itu meraih pet cargo berisi anak kucing dari Adeline dan menyerahkannya pada pelayan.“A-ayah …,
*** Tiga bulan semenjak kepergian Heinry, Adeline lebih jarang ke Picasso Hotel. Selain karena perutnya yang sudah membesar, dia juga mudah kelelahan. River sudah memintanya cuti, tapi Adeline tidak tahan jika berdiam diri tanpa bekerja. Sebab itu, River lebih cermat mengawasinya.Sore itu, River datang ke Picasso Hotel untuk menjemput Adeline. Dia tersenyum tipis saat masuk ke ruang direktur dan menemukan sang istri masih bergelut dengan dokumen.“Kenapa kau masih bekerja?” katanya yang seketika membuyarkan fokus sang istri.“Heuh? Kapan kau datang?” Adeline bertanya bingung.River berjalan mendekat, lalu meraih dokumen dari tangan Adeline.Namun, belum sempat River berkata, Ben masuk ke ruang kerja Adeline. “Oh, maaf. Saya tidak tahu kalau Tuan dan Nyonya—”“Tidak masalah. Masuklah, Tuan Ben,” tutur Adeline memberi ijin.Ben lantas mendekat dan menyerahkan dokumen lain. “Ini data yang Anda minta, Nyonya. Saya sudah menyusunnya berdasarkan data tahun kemarin,” tukas Ben sopan.“Te
“Ada yang tertembak!” Seseorang memekik.Beberapa orang di luar rumah sakit langsung heboh. Mereka panik dan mencari perlindungan bersama orang terdekat.River pun mendekap Adeline erat, tapi maniknya sontak melebar saat melihat Siegran ambruk dengan dada bersimpah darah.“Siegran!” tukas River terkejut, begitu pun dengan Adeline.Mereka menghampiri Siegran yang tampak kesakitan.Ya, sebelumnya Siegran tak sengaja melihat pria misterius mengarahkan pistol pada Adeline. Dalam waktu sesingkat itu, dia menghalangi tembakan yang harusnya mengenai sang nyonya.River merengkuh Siegran. Netranya memindai sekitar dan tak sengaja melihat mobil mencurigakan melesat kencang.‘Sialan!’ gemingnya mengumpat tajam.Dia memastikan Adeline di sampingnya, lalu berpaling lagi pada Siegran yang mengernyit sakit. Jelas sekali dia kehilangan banyak darah, karena peluru itu mengenai dada kirinya.“Bertahanlah!” River berkata tegas.Orang-orang berkumpul. Beberapa perawat datang dan langsung menghampiri mere
“Kami menemukannya di Danau Atitlan,” sahut Dieter dari seberang.Dia adalah bawahan Siegran yang sama loyalnya pada River. Mendengar rekannya tertembak, Dieter dan beberapa antek lain langsung melesat ke danau itu meskipun tengah malam.“Mobil itu tenggelam di danau, kami mendereknya dan menemukan seorang lelaki tewas di dalamnya, Tuan.”Alis River berkedut mendengar laporan itu. Tangannya pun mengepal geram karena kutu pengganggunya berani mati tanpa seijinnya.Dengan gigi terkatup, River pun bertanya, “siapa dia?!”“Sepertinya dia mantan anggota geng. Saya ingat dia pernah masuk penjara karena kasus pembantaian buruh pabrik. Sudah lama dia kabur dari penjara, Tuan, karena itu dia masuk daftar buronan, tapi ….” Dieter menjeda ucapnya.“Teruskan!” River berkata tegas. “Saya pikir dia juga dibunuh, Tuan!” sambar Dieter yang seketika membuat River mengernyit.Belum sempat River menyahut, Dieter kembali berkata, “saya menemukan bekas luka di lehernya. Kemunginan besar seseorang melenya
Adeline segera menutup telepon. Wajahnya menegang dan langsung memblokir nomor tak dikenal itu.‘Tidak! Aku pasti salah dengar. Mustahil dia kembali!’ batinnya dengan manik gemetar.Adeline tak bisa mengambil risiko jika masa lalunya kembali mengusik. Terlebih kini dia sedang hamil, wanita itu tak mau sesuatu yang buruk terjadi. Hingga dia memilih menghindari masalah.Adeline pun melirik dokumen yang berisi data-data tamu undangan hotel di mejanya. ‘Ya, ada yang lebih penting sekarang.’Dirinya lantas menghubungi manager hotelnya untuk menyiapkan undangan khusus bagi para tamu spesial.Malamnya, River pulang lebih cepat. Setelah insiden penembakan, dia selalu gelisah meninggalkan Adeline sendiri. Dia yang biasanya gila kerja, kini ingin cepat-cepat menemui istri dan menyapa bayi dalam kandungan Adeline.Namun, saat pria itu melihat wajah Adeline, dia merasa ada sesuatu yang wanita itu tutupi. Dia yang baru saja mandi dan masih mengenakan bathrope, menghampiri Adeline yang duduk di dep
River berlari ke podium dan langsung mendorong sang istri menjauh. Beruntung lampu gantung itu ambruk tanpa mengenai mereka.“Adeline, kau tidak apa-apa?!”River memeluk Adeline saat tersungkur, tapi sialnya perut Adeline yang menatap lantai, kini terasa sakit. Wanita itu mengernyit sembari memegangi perutnya.“Adeline?” River mulai panik.“Ah … River, perutku sakit.” Adeline merintih yang sontak membuat sang suami buncah.Amber dan tamu-tamu yang terkejut melihat insiden jatuhnya lampu gantung itu, kini berkerumun mendekati Adeline.“Adeline, kau baik-baik saja?!” Amber bertanya cemas.Namun, Adeline tak menjawab. Wajah wanita itu pucat dan terus merintih.Tanpa membuang waktu, River pun mengangkat Adeline dan langsung membawanya menuju mobil. Amber dan Siegran buru-buru menyusul. Asisten River itu membuka pintu mobil, lalu beralih ke bagian kemudi untuk segera melesat ke rumah sakit.Di kursi sebelah Siegran, Amber tampak panik. Maniknya berkaca-kaca saat menilik Adeline yang kesaki
‘Sialan! Dia menelan racun!’ batin Dieter geram.Dirinya berpaling ke arah rekannya, lalu berkata, “panggil ambulance, dia tidak boleh mati!”Ya, lelaki bertindik itu sepertinya memang ada kaitannya dengan kecelakaan Adeline. Dieter harus mengoreknya. Tapi sialnya, racun yang sengaja ditelan lelaki bertindik tersebut cukup mematikan. Usai mengejang dan mulutnya berbusa hebat, dia langsung tewas!“Astaga! Apa dia benar-benar meninggal?!” Seorang tamu menjerit.Tamu lainnya tersentak dan menyahut, “ada yang meninggal! Ada apa dengan acara ini? Ini membuatku merinding!”Tangan Dieter mengepal geram. Dia yang semula menyangga lelaki bertindik tadi, kini merebahkannya di lantai.‘Brengsek! Dia sengaja bunuh diri sebelum aku menginterogasinya!’ batin Dieter kesal.Sungguh, kejadian ini mirip insiden bulan lalu. Ketika Adeline nyaris tertembak, ada seseorang yang sengaja mati demi menutupi dalang di balik ini semua. Dan lagi-lagi, dalang itu begitu cerdik karena tidak meninggalkan petunjuk.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s