Mulut River tertutup rapat, maniknya pun menghindari tatapan Adeline.“Katakan saja jika benar,” tutur Adeline memecah sunyi.Ekspresinya berubah gelap. Meski tahu Freya sudah tiada, tapi kenangan wanita itu bersama River memang mengusiknya.Dia pun melonggarkan pelukan, dan River seketika berujar, “kau mau ke mana?”“Sepertinya kau tidak nyaman aku di sini. Aku akan tidur di sofa!” sahut Adeline dingin.River tahu sang istri merajuk karena dia tak mau menjawab pertanyaannya.Adeline hendak bangkit, tapi River mendekapnya erat.“Itu Mommy!” jawab pria itu akhirnya.“Heuh?” Adeline mengerutkan keningnya heran.“Aku bilang itu Mommy. Wanita yang mengalahkanku di pacuan kuda Huerta adalah Mommy!” tukas River lebih tegas. “Itu pertandingan saat aku masih remaja. Karena kalah, Mommy melarangku bermain game selama satu bulan!”“Ah ….”Netra Adeline kembali cerah. Dia melipat bibirnya ke dalam, berusaha menahan tawanya.“Kau mengejekku?” River bertanya seraya menaikkan satu alisnya.“Pft! Te
“Oh? Kau jadi datang?” tutur Lariat Anne berpaling pada Bianca.“Tentu saja, Bibi Anne. Jarang sekali Reins datang, jadi aku juga harus datang.” Bianca menyahut seraya melirik River.Ya, Wanita itu tak mungkin absen. Bahkan saat brand kosmetiknya sibuk mengalami masalah, Bianca tetap pergi hanya untuk melihat River.Bianca berpaling ke arah River, lalu bertanya, “ah … aku dengar kau dirawat di rumah sakit. Bagaimana keadaanmu sekarang, Reins?”Namun, sang pria hanya menyeringai tipis. Dia tahu bahwa Adeline terganggu karena Bianca bertingkah lancang.“Istriku, kakiku masih sakit. Jadi temani aku menonton pacuannya.” River sengaja mengatakannya untuk menghindari orang-orang.Dia lantas meraih tangan Adeline dan mengajaknya pergi.Akan tetapi, Bianca tiba-tiba berkata, “aku rasa Adeline lawan yang cocok untukku. Jadi kita lihat, siapa yang menang?!”“Maaf, Nona Bianca. Saya harus menemani suami saya!” sambar Adeline dengan tekanan di akhir katanya.“Cih! Bilang saja kau takut. Dasar pec
“Ha-hamil? Apa maksud Mommy? Adeline hamil?!” River memberondong tanya saking terkejutnya.“Yah … kau lihat ‘kan? Istrimu mual, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Ini tanda-tanda wanita hamil!” sahut Anais amat yakin.Dirinya berpaling ke arah Adeline, lalu bertanya, “benar ‘kan, Adeline? Apa kau sudah pernah melakukan pemeriksaan ke Dokter kandungan?”Oh, tidak! Wajah Adeline seketika membeku saat dua orang itu menatap dengan sorot penuh tanya. Adeline tidak tahu harus menjawab apa. Meski akhir-akhir ini River bersikap lembut, tapi dia masih mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya. Sebab River bukan orang yang fleksibel jika menyangkut aturan dalam kontrak.‘Ba-bagaimana ini? Jika River tahu aku hamil, dia pasti akan memintaku mengugurkan bayi ini,’ batin Adeline takut.“Katakan. Apa yan
“I-ini … bagaimana kau bisa mendapat foto ini?” Adeline membelalakkan matanya.“Mengapa kau terkejut?” sambar River dingin. “Aku ingin mengabaikannya saat tahu kau tidur dengan Frederick, tapi berbeda jika benih bajingan itu ada di perutmu!”Padahal tadi siang mereka masih mesra, tapi kini tatapan River amat tajam seolah melihat musuh. Bahkan Adeline seperti menyusut karena tekanan sang suami yang tak mengenal belas kasihan. Persis saat mereka pertama kali bertemu dulu, River kembali menunjukkan sisi iblisnya.“River, ini tidak seperti yang kau pikir—”“Memangnya kau ingat semua kejadian di vila Louvre? Kau yakin tidak basah karena rangsangan pria bajingan itu, hah?!” sambar River sinis.“Tutup mulutmu, River Reiner!” Adeline mendengus murka.Dia tak menyangka bahwa pria yang dicintainya akan mencecar habis-habisan.“Meski aku tidak ingat semua kejadian di vila itu, tapi aku tidak berbohong. Bayi ini anakmu! Aku sudah hamil sebelum penculikan itu!” decak Adeline dengan wajah tegang.A
‘Jadi dia benar-benar ingin bercerai?’ batin Adeline sesak.Ya, manik wanita itu gemetar saat melihat surat perjanjian cerai yang sudah ditandatangai River. Di sebelah nama pria itu tertulis jelas Adeline Daniester.‘Bodoh! Memang apa yang aku harapkan? Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Ada anak maupun tidak, itu tidak memengaruhi kontrak. Dan lagi, River tidak mungkin menerima bayi ini.’ Adeline melanjutkan seiring dadanya yang terasa perih.Netra Adeline terasa panas saat air matanya berkumpul di pelupuk mata. Namun, dia sekuat tenaga membendung tangisnya karena tak mau tampak menyedihkan.Dia meletakkan kembali surat perceraian itu ke meja dengan tangan mengepal.‘Sadarlah, Adeline! Sejak awal dia tidak menawarkan cinta. Kau sangat bodoh karena jatuh cinta padanya!’ batin wanita itu memperingati diri sendiri.Dia pun pergi dari ruangan tersebut. Pikirannya yang kacau membuatnya ingin menghirup udara segar. Bahkan entah mengapa dia ingin bertemu Amber dan minum sampai mabuk.
“Mo-mohon maaf, Nyonya. Tadi saya keluar sebentar setelah mengambil sample darah dari pembuluh vena pasien. Tapi saat kembali ke ruang pemeriksaan, Nyonya Adeline sudah tidak ada.” Sang Perawat menjelaskan dengan gugup.“Apa Anda yakin? Di toilet atau ruang pemeriksaan lain juga tidak ada?” sahut Anais.Namun, perawat tadi hanya menggeleng hingga memicu kecemasan.“Kenapa kalian khawatir seperti itu? Adeline sudah dewasa, bisa jadi dia pergi lebih dulu ke Picasso Hotel. Wanita itu gila kerja!” tukas River sinis.“Reins! Istrimu menghilang, bagaimana bisa kau setenang ini?!” Anais menyambar tak senang.“Mommy, Adeline bukan anak kecil. Dia tidak mungkin tersesat!” balas sang putra acuh tak acuh. “Hari ini sibuk, saya pamit.”Tanpa berlama-lama, River pun mangkir dari rumah sakit. Anais menarik napas sesaknya melihat punggung sang putra menjauh.“Dia persis seperti dirimu. Keras kepala!” Anais mencibir kesal sambil menyindir Jade.“Sudahlah, Sayang. Anak-anak sedang sensitive, kau tidak
“Apa kau yakin?” River bertanya seiring keningnya yang mengerut.“Saya yakin, Tuan,” sahut Siegran tanpa ragu. “Manager Picasso Hotel yang memberitahu saya bahwa Nyonya Adeline absen tanpa alasan yang jelas. Dan itu membuat para staff bingung.”River seketika terdiam.‘Mustahil Adeline tidak bekerja. Jika tidak ke Picasso Hotel, lalu ke mana dia seminggu ini?’ batinnya yang tanpa sadar mencoret-coret ujung dokumen yang harusnya dia tanda tangani.Siegran yang melihat tingkah sang tuan langsung membelalak.“Maaf, Tuan. Tapi dokumennya!” tukasnya menegur.River sontak bangkit dari lamunan. Dia mengangkat tangannya seraya menarik napas sesak.“Maaf, minta mereka menyiapkan dokumen yang baru. Aku akan menandatanganinya setelah acara pembukaan La Huerta,” tuturnya.“Baik, saya mengerti, Tuan,” sahut Siegran menerima dokumen itu.Mereka pun berangkat menuju La Huerta, tapi sepanjang perjalanan, pikiran River tak luput dari Adeline.‘Aish, sebenarnya di mana Adeline? Mengapa dia mematikan te
Usai memanggil dokter keluarga untuk memeriksa River, Siegran bergegas pergi ke apartemen di kawasan elit San Pedro. Dia menekan bel, tapi beberapa menit menunggu, pintunya tak kunjung dibuka. Di sisi lain, Amber hanya mengamati Siegran dari monitor kecil yang menempel di dinding apartemennya. ‘Aish, apa yang harus aku katakan padanya?’ batin wanita itu sambil berkacak pinggang. “Nona, saya mohon buka pintunya,” tutur Siegran yang tampak gelisah dari monitor. Amber menarik napas panjang, seraya berkata, “mengapa dia memasang wajah begitu?” Amber menekan tombol, lalu berujar, “dengar, Siegran. Kalau kau datang untuk menanyakan tentang—” “Saya merindukan Anda!” sahut Siegran memotong. Sang wanita seketika terdiam. Tangannya menyugar rambut dengan frustasi. ‘Sial! Dia tahu kelemahanku!’ cibirnya dalam batin. Akhirnya Amber membuka pintu dengan wajah tertekuk. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat agar Siegran memeluknya. Namun, asisten River yang kaku itu malah terdiam canggun