“Sedang apa Anda di sini?!” Adeline bertanya dengan tatapan waspada.“Ah ….” Sang lawan bincang malah mendekat dan berisik di telinga Adeline. “Saya hampir kecewa kalau Princess tidak mengenali saya.”Ya, dia adalah pria Tiongkok, yang saat itu pernah bertemu dengan Adeline di lift rumah sakit tempat Sabrina dirawat. Adeline sontak menarik diri dan mengambil jarak darinya. Sejak awal dia sudah merasa ada yang aneh dengan pria ini, dan sekarang asumsinya bertambah kuat.“Jaga sikap Anda!” decak Adeline pelan, tapi matanya menatap tajam.“Princess terlihat cantik saat marah,” sahut pria tadi disertai seringai miring. “Saya sudah menduga warna merah memang paling cocok untuk Princess.”“Berhenti memanggil saya seperti itu. Permisi, saya ada urusan lain,” tukas Adeline dingin.Dia merasa tidak nyaman dan satu-satunya hal yang terpikir harus segera menjauh dari pria misterius ini. Namun, ketika Adeline hendak pergi, pria itu malah menahan pergelangan tangannya. Manik Adeline membesar, ali
‘Sial! Aku tidak akan membiarkan bajingan itu!’ batin River terusik.Aura gelap seperti menyelimutinya, bahkan tatapannya amat tajam seolah ingin menusuk pria di ruang musik itu. River pun melangkah penuh amarah dan langsung merengkuh kerah pria tersebut.“Ah!” Sang wanita memekik dan lekas turun dari pangkuan pria tadi.“Apa-apaan ini? Siapa kau?!” Pria itu mendengus kesal pada River.Namun, ekspresi River kian dingin seakan berhasrat mematahkan tulang pria tersebut.“Beraninya kau—”“Apa yang terjadi? Mengapa kau tiba-tiba menyerang suamiku?!” Sang wanita mendecak murka.Saat itulah River menoleh ke arah si wanita. Maniknya sontak melebar begitu sadar bahwa wanita itu bukanlah Adeline. Ya, ternyata itu orang lain!Wajah River membeku saat membatin, ‘aish, sial! Jadi dia bukan Adeline? Gaun mereka hampir sama, jadi aku mengiranya Adeline!’“Mengapa kau diam saja, Tuan?! Apa yang kau lakukan tiba-tiba, hah?!” sentak wanita itu sekali lagi.Rasa canggung menghantam River. Dia yang masi
[Tidak perlu buru-buru menemui saya, karena kita akan segera bertemu lagi, Princess.]Pesan teks di ponsel Adeline itu memancing rasa kesal membumbung di dada River. Sorot maniknya setajam elang saat melirik nomor tidak dikenal dari si pengirim pesan.“Kembalikan!” Adeline berkata tegas, bahkan tatapannya memicing sinis.Dia hendak merebut ponselnya, tapi River dengan cekatan mengangkat gawai itu ke atas sampai Adeline tak bisa meraihnya.“Jadi kalian bertukar nomor ponsel?” tukas River disertai seringai tipis.Adeline menyatukan alisnya dan lansung menyambar, “apa maksudmu?!”“Istriku, kau mau beralasan apa lagi? Princess? Panggilan yang sangat manis!” sahut River menunjukan pesan di layar ponsel tadi. “Jadi siapa pangeranmu?”Sontak, manik Adeline berubah selebar piring. Wajahnya berangsur pucat dengan leher tegang saat membaca pesan itu.‘Princess? Ja-jadi benar pria itu orang yang selama ini mengirim bunga. Tapi … mengapa dia melakukannya?’ batin Adeline buncah.Dia menurunkan pan
WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa!“Ahh!” Amber tertegun begitu melihat lelaki yang memapahnya tersungkur di lantai.Dan saat dia mengangkat pandangan, maniknya terpaku pada pria yang sedari tadi ditunggunya. Ya, Siegran! Meski kepala Amber pusing, tapi dia jelas melihat orang itu memanglah Siegran. Pria itu bergegas datang usai mendapat pesan dari Amber.‘Cih! Bukankah tadi dia mengabaikan teleponku? Untuk apa dia datang sekarang?’ batin Amber menggigit bibir bawahnya.Sang pria melangkah ke arah Amber dengan tatapan cemas, lalu bertanya, “Anda baik-baik saja, Nona?”“Kau berubah pikiran? Jadi kau mau menemuiku?” sahut Amber asal bicara.“Kita pergi dulu dari sini.”Siegran berniat membawa Amber keluar, tapi tanpa diduga, teman lelaki yang tadi ditonjoknya malah menarik bahu Siergan. “Kau pikir bisa lolos dari kami? Jangan bermimpi!” sentak lelaki itu yang langsung memukul Siegran dengan kuat.Siegran yang tidak waspada, akhirnya terhuyung dan ambruk di meja yang penuh bo
“Daftar tamu itu tidak ada yang mencurigakan, semua rekan-rekan Bastian dan aku juga mengenalnya.” River berkata seiring tatapannya yang berubah dingin. “Tapi ketika memeriksa CCTV, rekaman kamera hanya berakhir saat aku meninggalkanmu untuk bicara dengan Tuan Merco.”“Jadi, kamera pengawas di acara itu sengaja di rusak saat pria misterius itu mendatangiku?!” sahut Adeline menyimpulkan.“Benar.”Jawaban River seketika memicu ketegangan menjalari tubuh Adeline. Sekeras apapun wanita itu berpikir, dia tak bisa mengerti alasan pria itu mengganggunya.“Dia menemuimu, berarti kau melihat wajahnya ‘kan?” River mulai menyidik.Adeline menelan saliva dengan berat, lalu membalas, “ya, sebenarnya aku sudah dua kali bertemu dengannya. Pertama saat di rumah sakit tempat Sabrina dirawat. Aku mendengarnya bicara bahasa Tiongkok dan tingkahnya sangat aneh.”Manik Adeline gemetar saat dia menjeda ucapannya, dan itu membuat River cemas.“Apa dia menyakitimu?” tanya River menyatukan alisnya.Alih-alih
“Ayah?!” Adeline memekik saat Heinry tak sadarkan diri. “A-ayah, bangunlah … Ayah!”Sebanyak apapun memanggil, tapi Heinry tak bergeming. Adeline pun buncah, tatapannya melayap ke arah pintu dan langsung teriak. “Tolong! Saya mohon, tolong … ada yang pingsan di sini!”Pekikan itu membuat petugas yang berjaga di luar langsung berlari masuk. Bahkan River yang menunggu di sana, juga bergegas menghampiri istrinya.“Adeline?!” tukas pria itu terbelalak.“Apa yang terjadi, Nyonya?” tanya seorang Sipir.Maniknya sontak membesar begitu menyadari Heinry tak sadarkan diri dan bercak darah berceceran di meja dan lantai.“To-tolong, Ayah tiba-tiba batuk dan muntah darah.” Suara Adeline terdengar gemetar.Sipir itu segera memanggil rekannya. Beberapa petugas polisi datang untuk membawa Heinry ke rumah sakit.Adeline tercengang melihat ayahnya diangkat ke brankar, dan River menyadari itu. Sang pria pun merengkuh bahu Adeline, lalu mendekapnya erat.“Kau baik-baik saja?” tukasnya yang hanya mendapat
‘T-tidak mungkin. Kenapa dia bisa ada di sini?!’ batin Adeline amat tegang. Sorot matanya terpaku pada lelaki yang tak lain adalah orang yang menemuinya di acara inagurasi Bastian kemarin. Ya, lelaki yang memberinya bunga mawar merah! ‘Mustahil dia mengikutiku sampai ke sini. Mengapa? Se-sebenarnya untuk apa dia di sini?!’ Manik Adeline bergetar. Semua orang di ruangan tersebut heran karena Leah tiba-tiba mengundangnya. Dilihat dari ekspresi mereka yang bingung, agaknya mereka tidak mengenal lelaki tersebut. Hans yang duduk di kursi paling ujung pun bertanya, “siapa dia?!” “Ayah, bagaimana mungkin kau tidak mengenali cicitmu sendiri?” sahut Leah yang sontak membuat semua orang tercengang. “A-apa kau bilang?!” Hans kembali menyambar dengan kening mengerut. Dia sama sekali tak mengerti ucapan Leah. Termasuk Jade dan Anais, sebab mereka tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. “Salam, Kakek buyut. Saya Frederick Chen-putra dari Denver Herakles!” tukas lelaki tadi menunduk hormat.
Manik Adeline membesar mendengar sapaan konyol Frederick. Wajahnya tegang, dan River jelas menyadarinya.“Apa yang kau katakan?!” River bertanya dengan gigi terkatup. Tatapannya tampak tajam seakan ingin menikam Frederick dengan pisau makannya.Namun, sang lawan bincang tak menggubris sedikitpun. Dia tak mengalihkan pandang dari Adeline hingga membuat Leah juga heran.“Sepupu, aku bicara denganmu!” tukas River lebih menekan nadanya.Baru saat itulah Frederick tersenyum miring. Dia menoleh ke arah River sembari bertanya, “ah … maksudku, apa wanita ini istrimu?”Alih-alih langsung menjawab, River malah menaikkan sebelah alisnya.“Sebaiknya kau jaga matamu dengan baik!” sahut River amat dingin.Leah yang mendengar River bicara tak sopan, langsung mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Kau baru bertemu sepupumu dan ingin merundungnya?!” Wanita tua itu menyambar. “Jangan kira karena ayahmu mewarisi tahta Herakles, kau jadi besar kepala.”“Nenek—”“Saya tidak apa-apa, Nenek.” Frederick sengaja
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s