WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa!“Ahh!” Amber tertegun begitu melihat lelaki yang memapahnya tersungkur di lantai.Dan saat dia mengangkat pandangan, maniknya terpaku pada pria yang sedari tadi ditunggunya. Ya, Siegran! Meski kepala Amber pusing, tapi dia jelas melihat orang itu memanglah Siegran. Pria itu bergegas datang usai mendapat pesan dari Amber.‘Cih! Bukankah tadi dia mengabaikan teleponku? Untuk apa dia datang sekarang?’ batin Amber menggigit bibir bawahnya.Sang pria melangkah ke arah Amber dengan tatapan cemas, lalu bertanya, “Anda baik-baik saja, Nona?”“Kau berubah pikiran? Jadi kau mau menemuiku?” sahut Amber asal bicara.“Kita pergi dulu dari sini.”Siegran berniat membawa Amber keluar, tapi tanpa diduga, teman lelaki yang tadi ditonjoknya malah menarik bahu Siergan. “Kau pikir bisa lolos dari kami? Jangan bermimpi!” sentak lelaki itu yang langsung memukul Siegran dengan kuat.Siegran yang tidak waspada, akhirnya terhuyung dan ambruk di meja yang penuh bo
“Daftar tamu itu tidak ada yang mencurigakan, semua rekan-rekan Bastian dan aku juga mengenalnya.” River berkata seiring tatapannya yang berubah dingin. “Tapi ketika memeriksa CCTV, rekaman kamera hanya berakhir saat aku meninggalkanmu untuk bicara dengan Tuan Merco.”“Jadi, kamera pengawas di acara itu sengaja di rusak saat pria misterius itu mendatangiku?!” sahut Adeline menyimpulkan.“Benar.”Jawaban River seketika memicu ketegangan menjalari tubuh Adeline. Sekeras apapun wanita itu berpikir, dia tak bisa mengerti alasan pria itu mengganggunya.“Dia menemuimu, berarti kau melihat wajahnya ‘kan?” River mulai menyidik.Adeline menelan saliva dengan berat, lalu membalas, “ya, sebenarnya aku sudah dua kali bertemu dengannya. Pertama saat di rumah sakit tempat Sabrina dirawat. Aku mendengarnya bicara bahasa Tiongkok dan tingkahnya sangat aneh.”Manik Adeline gemetar saat dia menjeda ucapannya, dan itu membuat River cemas.“Apa dia menyakitimu?” tanya River menyatukan alisnya.Alih-alih
“Ayah?!” Adeline memekik saat Heinry tak sadarkan diri. “A-ayah, bangunlah … Ayah!”Sebanyak apapun memanggil, tapi Heinry tak bergeming. Adeline pun buncah, tatapannya melayap ke arah pintu dan langsung teriak. “Tolong! Saya mohon, tolong … ada yang pingsan di sini!”Pekikan itu membuat petugas yang berjaga di luar langsung berlari masuk. Bahkan River yang menunggu di sana, juga bergegas menghampiri istrinya.“Adeline?!” tukas pria itu terbelalak.“Apa yang terjadi, Nyonya?” tanya seorang Sipir.Maniknya sontak membesar begitu menyadari Heinry tak sadarkan diri dan bercak darah berceceran di meja dan lantai.“To-tolong, Ayah tiba-tiba batuk dan muntah darah.” Suara Adeline terdengar gemetar.Sipir itu segera memanggil rekannya. Beberapa petugas polisi datang untuk membawa Heinry ke rumah sakit.Adeline tercengang melihat ayahnya diangkat ke brankar, dan River menyadari itu. Sang pria pun merengkuh bahu Adeline, lalu mendekapnya erat.“Kau baik-baik saja?” tukasnya yang hanya mendapat
‘T-tidak mungkin. Kenapa dia bisa ada di sini?!’ batin Adeline amat tegang. Sorot matanya terpaku pada lelaki yang tak lain adalah orang yang menemuinya di acara inagurasi Bastian kemarin. Ya, lelaki yang memberinya bunga mawar merah! ‘Mustahil dia mengikutiku sampai ke sini. Mengapa? Se-sebenarnya untuk apa dia di sini?!’ Manik Adeline bergetar. Semua orang di ruangan tersebut heran karena Leah tiba-tiba mengundangnya. Dilihat dari ekspresi mereka yang bingung, agaknya mereka tidak mengenal lelaki tersebut. Hans yang duduk di kursi paling ujung pun bertanya, “siapa dia?!” “Ayah, bagaimana mungkin kau tidak mengenali cicitmu sendiri?” sahut Leah yang sontak membuat semua orang tercengang. “A-apa kau bilang?!” Hans kembali menyambar dengan kening mengerut. Dia sama sekali tak mengerti ucapan Leah. Termasuk Jade dan Anais, sebab mereka tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. “Salam, Kakek buyut. Saya Frederick Chen-putra dari Denver Herakles!” tukas lelaki tadi menunduk hormat.
Manik Adeline membesar mendengar sapaan konyol Frederick. Wajahnya tegang, dan River jelas menyadarinya.“Apa yang kau katakan?!” River bertanya dengan gigi terkatup. Tatapannya tampak tajam seakan ingin menikam Frederick dengan pisau makannya.Namun, sang lawan bincang tak menggubris sedikitpun. Dia tak mengalihkan pandang dari Adeline hingga membuat Leah juga heran.“Sepupu, aku bicara denganmu!” tukas River lebih menekan nadanya.Baru saat itulah Frederick tersenyum miring. Dia menoleh ke arah River sembari bertanya, “ah … maksudku, apa wanita ini istrimu?”Alih-alih langsung menjawab, River malah menaikkan sebelah alisnya.“Sebaiknya kau jaga matamu dengan baik!” sahut River amat dingin.Leah yang mendengar River bicara tak sopan, langsung mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Kau baru bertemu sepupumu dan ingin merundungnya?!” Wanita tua itu menyambar. “Jangan kira karena ayahmu mewarisi tahta Herakles, kau jadi besar kepala.”“Nenek—”“Saya tidak apa-apa, Nenek.” Frederick sengaja
“Dasar gila!” Adeline mendecak dengan gigi terkatup.Namun, Frederick yang mendengarnya malah merasa tertantang. Dia menarik dagu Adeline agar menatap dirinya.“Dilihat dari dekat, bola mata Princess sangat indah,” tuturnya menatap nanar.Adeline yang merasa jijik langsung melengos. “Singkirkan tanganmu!”Baru beberapa bulan dia lepas dari Ludwig, Adeline tak pernah menyangka akan ada pria yang sama bejatnya.“Sebaiknya kau lepaskan sebelum aku teriak!” Wanita itu mengancam, tapi lagi-lagi hanya direspon dengan senyuman lembut Frederick.Lelaki itu membelai wajah Adeline seraya berkata, “sayang sekali, Princess. Saya bukan orang yang suka mengikuti perintah. Saya sudah menanti pertemuan kita sejak lama, mana mungkin saya melepas Princess begitu saja?”Sial, tubuh Adeline merinding saat jari kasar pria itu menuruni leher dan menjelajahi tulang selangkanya.“Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya dan apa tujuanmu. Kita tidak tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi kenapa kau melakukan ini
“Sedang apa kalian?” Anais bertanya.Ya, ibu River itu tak sengaja memergoki Adeline dan Frederick.Wajah Adeline menegang, tapi beruntung ikatan dasi yang melilit tangannya berhasil lepas. “Mengapa kau di sini, Adeline?” Kening Anais mengerut, heran sebab putri menantu dan keponakannya ada di satu ruang tertutup.Adeline menelan saliva dengan berat, lalu menjawab, “sa-saya tadi menunggu River, tapi—”“Istri Sepupu ingin menyapa saya, Bibi.” Frederick tiba-tiba menyambar.Adeline sontak melebarkan maniknya. Tatapannya menghujam tajam, murka pada lelaki itu. Namun, alih-alih menanggapi, Anais justru bungkam. Dia sebisa mungkin tidak ingin berhubungan dengan putra Denver karena masa lalunya dulu.Dia mengalihkan tatapan pada Adeline dan langsung mengernyit.“Apa yang kau pegang, Adeline?” Sorot mata Anais terpaku pada dasi Frederick yang digenggam sang menantu.‘Aish, sial! Kenapa aku tidak langsung membuangnya tadi?!’ batin Adeline buncah.Lidah Adeline terasa kelu, bingung harus men
Warning: chapter ini mengandung adegan dewasa!‘Mustahil! Bagaimana bisa dia memiliki ini?!’Ekspresi Adeline berubah tegang begitu memutar video dirinya saat terikat di ranjang kamar Frederick. Ya, tanpa wanita itu sadari, rupanya Frederick merekam semua insiden tadi melalui kamera dari kontak lensa di matanya.Adeline menggertakkan gigi seraya mengumpat dalam hati. ‘Sialan! Sebenarnya siapa pria gila ini?!’Dia amat kesal sekaligus tertekan, sebab Frederick mengancamnya akan memberitahu keluarga Herakles mengenai video memalukan itu, jika dia mengadu pada River.“Apa ada masalah?” River bertanya saat memperhatikan raut wajah sang istri yang tak tenang.Adeline buyar dari ketegangan dan lantas menjawab, “ah? I-ini hanya pekerjaan di Picasso Hotel.”River menngernyit, dia merasa sang istri menyembunyikan sesuatu.“Katakan yang sebenarnya!” Pria itu menyidik.“A-aku tidak berbohong. Ini hanya masalah kontrak kerja sama dengan seorang investor asing,” balas Adeline berdalih.Setiap kali
“Maaf, aku akan datang lagi nanti,” tutur Johan dengan raut wajah dinginnya. Dia tak sengaja bertatapan mata dengan Jenson yang ditindih Ashley. Melihat situasi itu, benar-benar membuatnya canggung. Namun, bukannya buka suara, Jenson justru diam saja. Entah mengapa rasa puas muncul di hatinya, saat sang adik mengetahui betapa dekat hubungannya dengan Ashley. Ashley pun buru-buru menarik diri dari dekapan Jenson. Dia berbalik penuh ke arah Johan seraya berkata, “tunggu. Jika kau ada keperluan dengan Jenson, aku bisa pergi seka—”Belum tuntas ucapan gadis itu, Johan malah berbalik keluar ruang rawat tersebut.“Aish, kenapa dia pergi begitu saja?” ujar Ashley yang lantas menyusulnya.Ya, dia jadi tak enak hati. Rasanya gadis itu harus meluruskan keadaan dengan memberitahu Johan bahwa dia dan Jenson tidak sedang melakukan hal buruk. Selain itu, Ashley juga harus menanyakan mengapa Johan sampai menghubunginya terus kemarin. “Johan! Tunggu sebentar, aku ingin bicara,” pekiknya bergegas
Ashley terkejut melihat nomor asing menghubunginya beberapa kali. Bahkan ada pesan teks juga.‘Aku tidak mengenal nomor ini,’ batin gadis itu mengerutkan alisnya.Pikiran negative langsung menyerang. Dia mengira itu Maximilian karena mantan kekasihnya masih sangat gila. Namun, saat membuka pesan tadi, ternyata nama Johan yang terpampang.“Hah … tumben sekali dia menghubungiku. Dari mana dia mendapat nomor ponsel … ah benar, dia Bos di Oran Bar. Tentu saja dia bisa memiliki nomor pegawainya,” tutur Ashley kemudian.Tapi ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Johan yang menghubunginya, alih-alih Jenson?Jika itu Jenson, mungkin alasannya karena Ashley tidak datang ke acara makan malam. Tapi kalau Johan yang biasanya dingin padanya malah menelepon, pasti karena keadaan genting ‘kan?Ashley yang berniat abai, kini mencoba menelepon balik Johan.‘Apa yang harus aku katakan jika dia mengangkat teleponnya? Aku tidak biasa basa-basi dengan patung sepertinya,’ batin Ashley ragu-ragu.Detik berikutny
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu