Saat makan siang Nara berbaik hati menemaniku makan, mungkin dia kasihan tidak ada yang menyapaku di kantor. Peduli apa dengan mereka, kalau aku tidak makan mana bisa aku bertahan hidup. Semua orang punya khilaf, apa hanya aku yang tidak bisa dimaafkan?
"Masih belum keluar juga, Va?" seorang wanita melewatiku dengan senyum sinis. Aku tahu banyak yang ingin aku keluar dari pekerjaan ini. Aku pura-pura mengabaikan mereka padahal hatiku sakit.
"Kayaknya dia lebih pendiem dibandingkan kemarin-kemarin. Apa karena gak ada backing lagi ya?"
Nara melayangkan garpunya ke arah wanita di depan kami, "Bisa gak, jangan sok sibuk dengan urusan orang, hm?" Meskipun Nara memasang wajah ketus tapi tidak menghilangkan wajah cantiknya.
"Yuk, ah cabut. Takut ada Mak Lampir." Akhirnya mereka pergi.
Harusnya aku tidak main api, jadinya gini kan. Jujur saja aku juga tidak ingin seperti ini. Rasa yang membuatku i
POV: Diva"Eh pelakor lewat tuh! Ditinggalin Liam jadi berantakan banget dia." Sindiran itu dari sebelah kanan. Rania bersama in the genk-nya. Senioritas banget kantor ini, dari awal aku memang tidak suka padanya."Makin lama makin nyebelin liat muka dia.""Setujah!" Balasan kasar dari sebelah Rania, "Cewek yang model pemalas kan pada nyari suami yang kompeten dan orang kaya raya. Gak perlu susah-susah tinggal ngangkang aja, sukses jadi pelakor."Rasa sesak di hatiku membuatku ingin menangis. Sepertinya seluruh dunia memperlakukan aku dengan tidak baik. Aku berusaha berjala elegan. Mengabaikan mereka aku berjalan ke mejaku, duduk dan melakukan perkerjaan yang seharusnya kulakukan daripada ghibah. Jelas aku tidak bisa ghibah karena tidak ada kawan untuk bercerita."Diva, bisa minta tolong nanti?" Wanita berbaju merah menghampiriku ke meja. Aku mendongak melihatnya
POV Diva.Melihat Samira menggandeng tangan Liam begitu mesra, aku mengurungkan niatku untuk menghampiri Samira. Emosiku yang memuncak berganti dengan rasa cemburu melihat mereka tersenyum menyapa orang-orang di sekitar mereka. Liam terlihat menikmati perannya sebagai suami Samira. Aku bisa melihat Liam mencintai Samira, dari cara dia mencium pipi wanita itu satu tangannya merangkul pinggang Samira sangat posesif.Liam, kamu tahu? Aku hampir jadi mangsa laki-laki kurang ajar.Ah, bodoh sekali aku. Liam tidak akan peduli dengan apa yang terjadi padaku. Aku membalikkan badan berjalan keluar untuk pulang dengan mobilku. Tapi hujan seolah menghalangiku untuk pergi."Kenapa tiba-tiba hujan sih?" Aku mengusap tanganku, melihat awan yang gelap mengeluarkan air bertubi-tubi. Aku berdiri di teras gedung dengan tubuh yang tidak bergairah. Dadaku sesak, ingin berteriak dan menangis. Tapi itu tidak akan cukup.
POV Liam.Dear Samira, aku sedang memperjuangkan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita, belajar introspeksi diri tapi apa yang sekarang kamu lakukan lagi? Dia membuat party di gedung milik perusahaan. Meskipun tempat ini milik keluarga tidak sepantasnya dia membuat ini."Rubah hitam gimana kabarnya?" Samira berbisik dengan Tia, tapi aku bisa mendengar celotehan pelan mereka."Tenang aja Diva sudah ku amankan seperti permintaan kamu." Balasan Tia membuatku menoleh padanya. Kenapa setiap kali mendengar nama 'Diva' saja nyesek."Kalian lagi ngerencanain apa, Sa?" tanyaku mendekat pada Samira. Tia mundur seperti menutupi sesuatu."Mendingan kamu pura-pura gak denger aja dan gak usah ikut campur urusan perempuan." Balasan Samira membuatku geram. Tapi aku tidak bisa pura-pura tuli, aku ingin tahu jelas apa yang mereka lakukan pada Diva."Apa yang sudah kamu lakuin sama Diva?" D
Diva menatap wajah tampan Liam yang sekarang terlihat berantakan, pelipisnya ada bekas darah. Kemeja putihnya keluar dari celana tidak biasanya. Yang membuat Diva bingung kenapa Liam mengetuk pintu rumahnya? Kenapa Liam datang ke rumahnya."Ngapain ke sini?" tanya Diva dengan wajah datar dan dingin."Pengen liat kamu." Jawab Liam tanpa ekspresi.Diva terdiam, seperti mati rasa tanpa senyum."Kita udah gak ada urusan." Diva hendak menutup pintu rumahnya, tapi kaki Liam menahannya, "Lepas." Ucapnya pelan. Liam sejenak menatap keseluruhan Diva, baju lengan panjang yang dia pakai terlihat longgar di tubuh wanita itu. Wajah Diva terlihat pucat. Mereka sama-sama berantakan."Sebentar aja." Pinta Liam pelan. Diva dengan bodohnya menurut entahlah, dia kasihan melihat wajah Liam. Apakah Liam baru saja berkelahi?"Apa kabar kamu?" tanya Liam, lagi dia pintar menyembunyikan perasaannya. Liam lupa kapan terakhir dia ke sini. Ya... dengan jahatnya waktu
Sementara itu Diva hanya duduk tanpa bersuara melihat Liam menyibukkan diri di dapurnya. Dia juga tidak senyum atau cemberut. Begitu juga Liam yang menutup mulutnya tanpa ekspresi. Tidak lama masakan Liam sudah masak.Diva menatap mie dengan toping telur setengah matang yang terhidang di depannya. "Kenapa orang sakit di kasih makan mie?" tanya Diva polos.Liam berdeham. Hanya itu yang bisa dia masak, dan itupun melihat petunjuk di bungkusnya. "Enak kok cobain dulu. Panas, pedes lagi biar kamu berkeringat."Diva menghembuskan nafasnya melihat cabe rawit tanpa diiris menjadi penghias mie rebus itu. Airnya juga banyak, apa ada rasa mie ini. Diva tidak enak ingin membuangnya.Sejak kapan makan mie bisa nyembuhin sakit? Diva menghela nafas."Bisa tolong ambilin kotak kecemasan di lemari itu?" Diva menunjuk lemari coklat di dekat kulkas.Wajah Liam berubah panik. "Kamu ada yang luka? Dimana?" tanya Liam. Diva mengerutkan ke
"Jaga ya mulut kalian!" Teriak Diva yang sudah geram, "Aku diam selama ini bukan berarti kalian berdua bisa seenaknya ngomong kurang ajar tentang hidupku!"Tia dan Rania terlonjak karena balasan Diva meneriaki mereka. Tidak bisa mundur mereka tetap berdiri sok santai di depan Diva. Alah... palingan berani teriak doang pikir mereka.Nara dari belakang menyentuh Diva agar temannya itu tidak terpancing emosi, tapi kalau dia pun diposisi Diva sudah pasti tidak akan kuat."Udah, Va. Gak guna kamu ladenin orang sok suci." Ucap Nara, jelas saja mengundang lirikkan tajam Rania dan Tia."Gak bisa! Aku gak mau ngalah lagi. Aku tahu mereka sengaja membuatku jadi babu di acara kemarin." Kata Diva melihat Rania dan Tia bersamaan, "Cukup ya! Aku juga bisa bales apa yang kalian lakuin."Tapi Rania dan Tia bergeming."Udah Va." Nara mencoba menenangkan."Gini aja ya, Diva. Mendingan kamu cabut dari kantor ini. Cari kerjaan lain, jadi kamu
Tiga hari semenjak penamparan itu Bram terus mendatangi Diva. Entahlah apa tujuannya, tapi Diva terus menghindar. Setiap jam makan siang Bram selalu absen untuk menyapa Diva di depan gedung. Karena dia tahu setiap jam segitu anak-anak kantor kelayapan cari makan.Dan betul saja siang itu Diva bersama temannya mencari makan siang. Di sekitar kantor banyak kafe yang dekat. Bahkan ada juga gerobak somay ngetem di depan gedung di jam-jam segitu.Dan kalian tahu, Bram dengan SKSD-nya menghampiri Diva tanpa canggung tersenyum padanya. Nara yang tahu si Bram pernah kurang ajar, dia pun mengerjai pria itu."Makasih ya Bram udah traktir kita." Ucap Nara setelah Bram mengeluarkan lembaran kertas berwarna merah pada pramusaji itu.Bram mengangguk. Dalam hati keberatan karena Nara memesan makanan yang mahal-mahal. Padahal dia tidak mengenal wanita berambut sebahu itu.Diva tidak keberatan duduk
Samira mengambil handphone-nya mendengar nada pesan handphone-nya. Seketika matanya menjadi panas membaca pesan Bram yang mengatakan suaminya membawa Diva masuk ke mobilnya. Diremas handphone-nya geram lalu dilempar ke dalam tas berwarna merahnya. Bayang-bayang Liam dan Diva bermesraan menari-nari dalam pikirannya. Liam sungguh kurang ajar... wah... wah ... berani sekali dia menemui Diva lagi dibelakangnya."Kalian pikir aku bodoh ya," gumamnya.Samira menatap Renata yang sedang menikmati pizza sambil berbincang dengan Susi teman satunya lagi. "Re?" panggil Samira dingin, "Diva itu sepupu kandung kamu?" Dia menatap Renata yang sudah berubah ekpresi, "Dimana rumah keluarganya?"Renata menelan ludahnya.Seketika itu suasana di meja mereka menjadi canggung. Mereka sedang berkumpul karena jadwal arisan squad mereka, bukan karena arisan saja mereka dekat tapi mereka juga teman nongkrong.