POV Liam.
Dear Samira, aku sedang memperjuangkan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita, belajar introspeksi diri tapi apa yang sekarang kamu lakukan lagi? Dia membuat party di gedung milik perusahaan. Meskipun tempat ini milik keluarga tidak sepantasnya dia membuat ini.
"Rubah hitam gimana kabarnya?" Samira berbisik dengan Tia, tapi aku bisa mendengar celotehan pelan mereka.
"Tenang aja Diva sudah ku amankan seperti permintaan kamu." Balasan Tia membuatku menoleh padanya. Kenapa setiap kali mendengar nama 'Diva' saja nyesek.
"Kalian lagi ngerencanain apa, Sa?" tanyaku mendekat pada Samira. Tia mundur seperti menutupi sesuatu.
"Mendingan kamu pura-pura gak denger aja dan gak usah ikut campur urusan perempuan." Balasan Samira membuatku geram. Tapi aku tidak bisa pura-pura tuli, aku ingin tahu jelas apa yang mereka lakukan pada Diva.
"Apa yang sudah kamu lakuin sama Diva?" D
Diva menatap wajah tampan Liam yang sekarang terlihat berantakan, pelipisnya ada bekas darah. Kemeja putihnya keluar dari celana tidak biasanya. Yang membuat Diva bingung kenapa Liam mengetuk pintu rumahnya? Kenapa Liam datang ke rumahnya."Ngapain ke sini?" tanya Diva dengan wajah datar dan dingin."Pengen liat kamu." Jawab Liam tanpa ekspresi.Diva terdiam, seperti mati rasa tanpa senyum."Kita udah gak ada urusan." Diva hendak menutup pintu rumahnya, tapi kaki Liam menahannya, "Lepas." Ucapnya pelan. Liam sejenak menatap keseluruhan Diva, baju lengan panjang yang dia pakai terlihat longgar di tubuh wanita itu. Wajah Diva terlihat pucat. Mereka sama-sama berantakan."Sebentar aja." Pinta Liam pelan. Diva dengan bodohnya menurut entahlah, dia kasihan melihat wajah Liam. Apakah Liam baru saja berkelahi?"Apa kabar kamu?" tanya Liam, lagi dia pintar menyembunyikan perasaannya. Liam lupa kapan terakhir dia ke sini. Ya... dengan jahatnya waktu
Sementara itu Diva hanya duduk tanpa bersuara melihat Liam menyibukkan diri di dapurnya. Dia juga tidak senyum atau cemberut. Begitu juga Liam yang menutup mulutnya tanpa ekspresi. Tidak lama masakan Liam sudah masak.Diva menatap mie dengan toping telur setengah matang yang terhidang di depannya. "Kenapa orang sakit di kasih makan mie?" tanya Diva polos.Liam berdeham. Hanya itu yang bisa dia masak, dan itupun melihat petunjuk di bungkusnya. "Enak kok cobain dulu. Panas, pedes lagi biar kamu berkeringat."Diva menghembuskan nafasnya melihat cabe rawit tanpa diiris menjadi penghias mie rebus itu. Airnya juga banyak, apa ada rasa mie ini. Diva tidak enak ingin membuangnya.Sejak kapan makan mie bisa nyembuhin sakit? Diva menghela nafas."Bisa tolong ambilin kotak kecemasan di lemari itu?" Diva menunjuk lemari coklat di dekat kulkas.Wajah Liam berubah panik. "Kamu ada yang luka? Dimana?" tanya Liam. Diva mengerutkan ke
"Jaga ya mulut kalian!" Teriak Diva yang sudah geram, "Aku diam selama ini bukan berarti kalian berdua bisa seenaknya ngomong kurang ajar tentang hidupku!"Tia dan Rania terlonjak karena balasan Diva meneriaki mereka. Tidak bisa mundur mereka tetap berdiri sok santai di depan Diva. Alah... palingan berani teriak doang pikir mereka.Nara dari belakang menyentuh Diva agar temannya itu tidak terpancing emosi, tapi kalau dia pun diposisi Diva sudah pasti tidak akan kuat."Udah, Va. Gak guna kamu ladenin orang sok suci." Ucap Nara, jelas saja mengundang lirikkan tajam Rania dan Tia."Gak bisa! Aku gak mau ngalah lagi. Aku tahu mereka sengaja membuatku jadi babu di acara kemarin." Kata Diva melihat Rania dan Tia bersamaan, "Cukup ya! Aku juga bisa bales apa yang kalian lakuin."Tapi Rania dan Tia bergeming."Udah Va." Nara mencoba menenangkan."Gini aja ya, Diva. Mendingan kamu cabut dari kantor ini. Cari kerjaan lain, jadi kamu
Tiga hari semenjak penamparan itu Bram terus mendatangi Diva. Entahlah apa tujuannya, tapi Diva terus menghindar. Setiap jam makan siang Bram selalu absen untuk menyapa Diva di depan gedung. Karena dia tahu setiap jam segitu anak-anak kantor kelayapan cari makan.Dan betul saja siang itu Diva bersama temannya mencari makan siang. Di sekitar kantor banyak kafe yang dekat. Bahkan ada juga gerobak somay ngetem di depan gedung di jam-jam segitu.Dan kalian tahu, Bram dengan SKSD-nya menghampiri Diva tanpa canggung tersenyum padanya. Nara yang tahu si Bram pernah kurang ajar, dia pun mengerjai pria itu."Makasih ya Bram udah traktir kita." Ucap Nara setelah Bram mengeluarkan lembaran kertas berwarna merah pada pramusaji itu.Bram mengangguk. Dalam hati keberatan karena Nara memesan makanan yang mahal-mahal. Padahal dia tidak mengenal wanita berambut sebahu itu.Diva tidak keberatan duduk
Samira mengambil handphone-nya mendengar nada pesan handphone-nya. Seketika matanya menjadi panas membaca pesan Bram yang mengatakan suaminya membawa Diva masuk ke mobilnya. Diremas handphone-nya geram lalu dilempar ke dalam tas berwarna merahnya. Bayang-bayang Liam dan Diva bermesraan menari-nari dalam pikirannya. Liam sungguh kurang ajar... wah... wah ... berani sekali dia menemui Diva lagi dibelakangnya."Kalian pikir aku bodoh ya," gumamnya.Samira menatap Renata yang sedang menikmati pizza sambil berbincang dengan Susi teman satunya lagi. "Re?" panggil Samira dingin, "Diva itu sepupu kandung kamu?" Dia menatap Renata yang sudah berubah ekpresi, "Dimana rumah keluarganya?"Renata menelan ludahnya.Seketika itu suasana di meja mereka menjadi canggung. Mereka sedang berkumpul karena jadwal arisan squad mereka, bukan karena arisan saja mereka dekat tapi mereka juga teman nongkrong.
Samira merasa tidak nyaman di rumahnya sendiri, semenjak perselingkuhan Liam, Samira benar-benar malas menelpon suaminya untuk menanyakan keberadaan pria itu. Dia menghabiskan waktu malamnya dengan menonton tv, sesekali melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Liam belum lagi pulang.Setengah marah, setengah sedih menyelimuti Samira. Dia memang berjanji untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Liam, ingin punya anak sesuai keinginan Liam. Itulah yang diinginkan mertuanya agar Liam mendapatkan warisan. Tapi yang membuat Samira tidak kuat adalah melayani Liam di atas kasur. Kasar dan... Samira merasa badannya remuk dan kesakitan setelah bercinta dengan Liam. Hal itu membuatnya tertekan juga.Tapi dia tidak akan membiarkan Diva merebutnya. Setelah waktu yang dia korbankan bersama Liam selama ini.Terus memikirkan Liam, Samira teringat sesuatu. Ia teringat cerita Renata tentang Diva. Dia mematikan tv-nya, be
POV Diva.Aku masuk ke apartementku sambil menenteng tasku berwarna hitam. Aku meninggalkan mobilku di parkiran kantor, basment gedung itu memiliki penjaga dua puluh empat jam, jadi aku tidak perlu takut. Itu karena Liam.Dia memaksaku pulang bersama. Sebenarnya aku tidak terlalu terpaksa mengikuti kemauannya.Setelah beberapa jam duduk di mobil dan bicara, aku baru masuk ke Apartement. Dia menghidupkan mobilnya dan pulang. Entah lah, seharusnya aku marah-marah padanya. Tapi aku malah memberikan reaksi yang berbeda.Saat aku melangkah terasa ada yang aneh di sekitar Apartemen. Langkahku berhenti di ruang tamu melihat pria tua duduk di sofa dengan melipat kakinya. Tatapannya tajam, dingin, tidak ada kehangatan sama sekali. Tapi kuakui dia sangat tampan di usianya yang tidak muda lagi. Dialah pemenang piala Sugar Daddy jika ada kontes itu."Baru pulang?"Aku mengangguk."Dimana mobil kamu?""Mogok jadi nginap di bengkel." K
Untuk kesekian kalinya tangan pria tua ini mendaratkan tangannya di pipiku. Terasa panas dan nyeri, aku melihatnya dengan tatapan nanar."Makin dewasa kamu semakin gak punya aturan bicara!" Pria tua itu memandangku geram. "Mau jadi apa kamu? Jalang iya? Jangan sampe karena kamu saya jadi malu punya anak murahan!" Rahangnya mengeras memaki aku, anaknya. Entah apa yang merasukinya. Apa yang dia bicarakan? Kenapa menyebutku wanita murahan.Aku mundur, memilih mengamankan diri. Rasa logam terasa di mulutku, aku yakin gusiku berdarah. Ini bukan pertama kalinya dia memukulku. Dulu sewaktu mama hidup dia juga sering berprilaku kasar."Minta maaf sama Siska!""Gak!" Jawabku dengan suara bergetar. "Kenapa aku harus minta maaf sama dia? Dia yang udah bikin Mama sakit. Dia yang murahan buka aku!""Kurang ajar kamu memang!" Suaranya meninggi dan tangannya menendang kursi kuat, melangkah dengan tatapan brutal.&nbs