POV Diva
Terkadang kita harus tahu dimana harus berhenti, sayangnya aku terlambat berhenti. Yang kuterima sekarang adalah hujatan dan nyinyiran. Teman sekantor menjauh karena menurut mereka aku menjijikkan. Aku berharap mereka akan mengerti apa yang kulakukan, aku salah tapi jangan hakimi aku melebihi batas kemampuanku. Aku begitu menderita.
"Mendingan kamu gak usah ikut meeting, Diva." Nara menghentikan langkahku.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Satu kantor juga udah pada tau kamu sama Liam ada hubungan. Kamu gak tahu yang punya perusahaan ini kakak Liam, and than... istrinya ngadu kamu ngerayu suami dia." Nara berucap dengan otot di rahangnya.
"Ambil ini," Nara menyodorkan kertas putih, "Tulis aja apa yang mau kamu sampaikan nanti pas meeting aku kasih sama atasan." Ucapnya, lalu ia melanjutkan kembali setelah hening sejenak, "Meeting nanti ada orang-orang penting
Saat makan siang Nara berbaik hati menemaniku makan, mungkin dia kasihan tidak ada yang menyapaku di kantor. Peduli apa dengan mereka, kalau aku tidak makan mana bisa aku bertahan hidup. Semua orang punya khilaf, apa hanya aku yang tidak bisa dimaafkan?"Masih belum keluar juga, Va?" seorang wanita melewatiku dengan senyum sinis. Aku tahu banyak yang ingin aku keluar dari pekerjaan ini. Aku pura-pura mengabaikan mereka padahal hatiku sakit."Kayaknya dia lebih pendiem dibandingkan kemarin-kemarin. Apa karena gak ada backing lagi ya?"Nara melayangkan garpunya ke arah wanita di depan kami, "Bisa gak, jangan sok sibuk dengan urusan orang, hm?" Meskipun Nara memasang wajah ketus tapi tidak menghilangkan wajah cantiknya."Yuk, ah cabut. Takut ada Mak Lampir." Akhirnya mereka pergi.Harusnya aku tidak main api, jadinya gini kan. Jujur saja aku juga tidak ingin seperti ini. Rasa yang membuatku i
POV: Diva"Eh pelakor lewat tuh! Ditinggalin Liam jadi berantakan banget dia." Sindiran itu dari sebelah kanan. Rania bersama in the genk-nya. Senioritas banget kantor ini, dari awal aku memang tidak suka padanya."Makin lama makin nyebelin liat muka dia.""Setujah!" Balasan kasar dari sebelah Rania, "Cewek yang model pemalas kan pada nyari suami yang kompeten dan orang kaya raya. Gak perlu susah-susah tinggal ngangkang aja, sukses jadi pelakor."Rasa sesak di hatiku membuatku ingin menangis. Sepertinya seluruh dunia memperlakukan aku dengan tidak baik. Aku berusaha berjala elegan. Mengabaikan mereka aku berjalan ke mejaku, duduk dan melakukan perkerjaan yang seharusnya kulakukan daripada ghibah. Jelas aku tidak bisa ghibah karena tidak ada kawan untuk bercerita."Diva, bisa minta tolong nanti?" Wanita berbaju merah menghampiriku ke meja. Aku mendongak melihatnya
POV Diva.Melihat Samira menggandeng tangan Liam begitu mesra, aku mengurungkan niatku untuk menghampiri Samira. Emosiku yang memuncak berganti dengan rasa cemburu melihat mereka tersenyum menyapa orang-orang di sekitar mereka. Liam terlihat menikmati perannya sebagai suami Samira. Aku bisa melihat Liam mencintai Samira, dari cara dia mencium pipi wanita itu satu tangannya merangkul pinggang Samira sangat posesif.Liam, kamu tahu? Aku hampir jadi mangsa laki-laki kurang ajar.Ah, bodoh sekali aku. Liam tidak akan peduli dengan apa yang terjadi padaku. Aku membalikkan badan berjalan keluar untuk pulang dengan mobilku. Tapi hujan seolah menghalangiku untuk pergi."Kenapa tiba-tiba hujan sih?" Aku mengusap tanganku, melihat awan yang gelap mengeluarkan air bertubi-tubi. Aku berdiri di teras gedung dengan tubuh yang tidak bergairah. Dadaku sesak, ingin berteriak dan menangis. Tapi itu tidak akan cukup.
POV Liam.Dear Samira, aku sedang memperjuangkan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita, belajar introspeksi diri tapi apa yang sekarang kamu lakukan lagi? Dia membuat party di gedung milik perusahaan. Meskipun tempat ini milik keluarga tidak sepantasnya dia membuat ini."Rubah hitam gimana kabarnya?" Samira berbisik dengan Tia, tapi aku bisa mendengar celotehan pelan mereka."Tenang aja Diva sudah ku amankan seperti permintaan kamu." Balasan Tia membuatku menoleh padanya. Kenapa setiap kali mendengar nama 'Diva' saja nyesek."Kalian lagi ngerencanain apa, Sa?" tanyaku mendekat pada Samira. Tia mundur seperti menutupi sesuatu."Mendingan kamu pura-pura gak denger aja dan gak usah ikut campur urusan perempuan." Balasan Samira membuatku geram. Tapi aku tidak bisa pura-pura tuli, aku ingin tahu jelas apa yang mereka lakukan pada Diva."Apa yang sudah kamu lakuin sama Diva?" D
Diva menatap wajah tampan Liam yang sekarang terlihat berantakan, pelipisnya ada bekas darah. Kemeja putihnya keluar dari celana tidak biasanya. Yang membuat Diva bingung kenapa Liam mengetuk pintu rumahnya? Kenapa Liam datang ke rumahnya."Ngapain ke sini?" tanya Diva dengan wajah datar dan dingin."Pengen liat kamu." Jawab Liam tanpa ekspresi.Diva terdiam, seperti mati rasa tanpa senyum."Kita udah gak ada urusan." Diva hendak menutup pintu rumahnya, tapi kaki Liam menahannya, "Lepas." Ucapnya pelan. Liam sejenak menatap keseluruhan Diva, baju lengan panjang yang dia pakai terlihat longgar di tubuh wanita itu. Wajah Diva terlihat pucat. Mereka sama-sama berantakan."Sebentar aja." Pinta Liam pelan. Diva dengan bodohnya menurut entahlah, dia kasihan melihat wajah Liam. Apakah Liam baru saja berkelahi?"Apa kabar kamu?" tanya Liam, lagi dia pintar menyembunyikan perasaannya. Liam lupa kapan terakhir dia ke sini. Ya... dengan jahatnya waktu
Sementara itu Diva hanya duduk tanpa bersuara melihat Liam menyibukkan diri di dapurnya. Dia juga tidak senyum atau cemberut. Begitu juga Liam yang menutup mulutnya tanpa ekspresi. Tidak lama masakan Liam sudah masak.Diva menatap mie dengan toping telur setengah matang yang terhidang di depannya. "Kenapa orang sakit di kasih makan mie?" tanya Diva polos.Liam berdeham. Hanya itu yang bisa dia masak, dan itupun melihat petunjuk di bungkusnya. "Enak kok cobain dulu. Panas, pedes lagi biar kamu berkeringat."Diva menghembuskan nafasnya melihat cabe rawit tanpa diiris menjadi penghias mie rebus itu. Airnya juga banyak, apa ada rasa mie ini. Diva tidak enak ingin membuangnya.Sejak kapan makan mie bisa nyembuhin sakit? Diva menghela nafas."Bisa tolong ambilin kotak kecemasan di lemari itu?" Diva menunjuk lemari coklat di dekat kulkas.Wajah Liam berubah panik. "Kamu ada yang luka? Dimana?" tanya Liam. Diva mengerutkan ke
"Jaga ya mulut kalian!" Teriak Diva yang sudah geram, "Aku diam selama ini bukan berarti kalian berdua bisa seenaknya ngomong kurang ajar tentang hidupku!"Tia dan Rania terlonjak karena balasan Diva meneriaki mereka. Tidak bisa mundur mereka tetap berdiri sok santai di depan Diva. Alah... palingan berani teriak doang pikir mereka.Nara dari belakang menyentuh Diva agar temannya itu tidak terpancing emosi, tapi kalau dia pun diposisi Diva sudah pasti tidak akan kuat."Udah, Va. Gak guna kamu ladenin orang sok suci." Ucap Nara, jelas saja mengundang lirikkan tajam Rania dan Tia."Gak bisa! Aku gak mau ngalah lagi. Aku tahu mereka sengaja membuatku jadi babu di acara kemarin." Kata Diva melihat Rania dan Tia bersamaan, "Cukup ya! Aku juga bisa bales apa yang kalian lakuin."Tapi Rania dan Tia bergeming."Udah Va." Nara mencoba menenangkan."Gini aja ya, Diva. Mendingan kamu cabut dari kantor ini. Cari kerjaan lain, jadi kamu
Tiga hari semenjak penamparan itu Bram terus mendatangi Diva. Entahlah apa tujuannya, tapi Diva terus menghindar. Setiap jam makan siang Bram selalu absen untuk menyapa Diva di depan gedung. Karena dia tahu setiap jam segitu anak-anak kantor kelayapan cari makan.Dan betul saja siang itu Diva bersama temannya mencari makan siang. Di sekitar kantor banyak kafe yang dekat. Bahkan ada juga gerobak somay ngetem di depan gedung di jam-jam segitu.Dan kalian tahu, Bram dengan SKSD-nya menghampiri Diva tanpa canggung tersenyum padanya. Nara yang tahu si Bram pernah kurang ajar, dia pun mengerjai pria itu."Makasih ya Bram udah traktir kita." Ucap Nara setelah Bram mengeluarkan lembaran kertas berwarna merah pada pramusaji itu.Bram mengangguk. Dalam hati keberatan karena Nara memesan makanan yang mahal-mahal. Padahal dia tidak mengenal wanita berambut sebahu itu.Diva tidak keberatan duduk
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu