Liam tidak membuang waktu, dia segera mendatangi rumah Rayhard kakaknya yang beda tiga tahun dengannya. Rayhard pria cukup beruntung yang sukses menjadi pengusaha. Dia memiliki dua orang anak perempuan. Itu kenapa ayahnya selalu membanggakan Rayhard dibandingkan Liam. Padahal Ray jarang berkunjung ke rumah orang tua mereka.
"Nia, papah mana?" Liam langsung bertanya melihat keponakannya menonton tv di layar yang besar.
"Di ruang kerja Om, ada mama juga." Teriak Nia, karena Liam bicara sambil berjalan. Liam sudah sering ke sini jadi dia tahu seluk-beluk rumah Ray--dia pun menyebut Rayhard dengan panggilan Ray. Tidak ada sopan-sopannya.
"Liam? Katanya sakit kok malah dateng ke sini?" Viona menyambut adik iparnya dengan senyuman. Liam langsung duduk di sofa melihat Rayhard yang sibuk di meja kerjanya.
"Kenapa Liam? Ada masalah?" tanya Ray di sela pekerjaannya. Mereka tidak terlalu dekat tapi juga tidak t
"Kamu pernah berpikir gak? Hubungan badan itu bukan sekedar masukin aja... kamu harus ngerasa nyaman dan .... ya itu." Nikmat kata terakhir hanya dapat di lanjutkannya dalam hati."Emang kamu ngerasa aku gak nyaman?""Eh, maksudnya gak gitu sayang. Kan kamu sendiri yang waktu itu bilang gak mau hamil dulu." Jawab Liam halus. Matanya melirik pakaian Samira yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Sebenarnya sudah haknya mendapatkan jatah Samira.Samira tersenyum sinis. "Gak pa-pa Liam. Sekarang aku pengen jadi ibu untuk anak-anak kamu. Nanti juga aku pasti belajar seiring waktu." Samira melepaskan pakaiannya semua. Membuat Liam tidak bisa berpikir normal. Dia berdeham meletakkan laptopnya di meja."Kamu tahu kan gimana saya?"Samira mengangguk pelan."Iya kalo kamu maksa." Liam melakukan apa yang diinginkan Samira. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat saat Samira lebih dom
POV DivaMungkin kaum laki-laki menganggap wanita adalah kaum lemah yang bisa mereka perlakukan sesuka hati. Dulu aku membenci ayahku karena dia selingkuh, dia memilih selingkuhannya dibanding Ibuku. Dan sekarang aku terjebak dalam zona yang sama. Bedanya aku adalah pihak antagonis yang mencintai suami orang. Tapi kenapa Liam tidak seperti ayahku yang memilih selingkuhannya?Apa yang dia katakan? Ingin berpisah denganku begitu saja setelah dia meyakinkan aku untuk menerimanya. Peduli setan istrinya tidak ingin bercerai. Dimana janjinya setelah aku menerima cintanya? Setelah aku membiarkan dia menyentuhku. Setelah aku bersedia menjadi pihak ketiga dalam rumah tangganya.Kenapa aku harus duduk di depan dia menjadi pendengar penjelasan dia tentang Samira yang ingin memperbaiki rumah tangga mereka. Setelah aku mengorbankan segalanya untuk dia.Aku masih duduk diam mendengar kata-kata penyesalan yang keluar dar
Malam ini tepatnya pukul delapan. Samira mengajakku bertemu di taman dekat Apartemenku, bisa kebetulan ya dia ngajak ketemuan dekat tempat tinggalku. Kami belum bicara saja sudah tegang. Aku menghargai Samira sebagai istri Liam.Inikah akhir dariku?"Kamu sudah berapa lama berhubungan sama Liam?""Maksudnya apa? Pak Liam hanya atasan aku." Jawabku, kami berdiri berhadapan."Ya ampun! Ngaku aja deh, kamu itu udah ketangkep basah... dia itu suami aku monyet!!" Dia berteriak, aku suka sama Liam tapi sekarang Liam juga ingin kami berpisah. Apa dia ingin mendengar itu?"Aku tahu di kantor, dimana ada Liam kamu selalu ada." Satu tangan Samira mendorong bahuku ke belakang. Apa aku harus belajar menerima apa yang telah di tuliskan Tuhan, dan berharap pada akhirnya cara Tuhan akan membuatku bahagia."Kamu pikir aku gak bisa mencari tahu hubungan kalian? Aku bisa b
POV DivaTerkadang kita harus tahu dimana harus berhenti, sayangnya aku terlambat berhenti. Yang kuterima sekarang adalah hujatan dan nyinyiran. Teman sekantor menjauh karena menurut mereka aku menjijikkan. Aku berharap mereka akan mengerti apa yang kulakukan, aku salah tapi jangan hakimi aku melebihi batas kemampuanku. Aku begitu menderita."Mendingan kamu gak usah ikut meeting, Diva." Nara menghentikan langkahku."Kenapa?" tanyaku bingung."Satu kantor juga udah pada tau kamu sama Liam ada hubungan. Kamu gak tahu yang punya perusahaan ini kakak Liam, and than... istrinya ngadu kamu ngerayu suami dia." Nara berucap dengan otot di rahangnya."Ambil ini," Nara menyodorkan kertas putih, "Tulis aja apa yang mau kamu sampaikan nanti pas meeting aku kasih sama atasan." Ucapnya, lalu ia melanjutkan kembali setelah hening sejenak, "Meeting nanti ada orang-orang penting
Saat makan siang Nara berbaik hati menemaniku makan, mungkin dia kasihan tidak ada yang menyapaku di kantor. Peduli apa dengan mereka, kalau aku tidak makan mana bisa aku bertahan hidup. Semua orang punya khilaf, apa hanya aku yang tidak bisa dimaafkan?"Masih belum keluar juga, Va?" seorang wanita melewatiku dengan senyum sinis. Aku tahu banyak yang ingin aku keluar dari pekerjaan ini. Aku pura-pura mengabaikan mereka padahal hatiku sakit."Kayaknya dia lebih pendiem dibandingkan kemarin-kemarin. Apa karena gak ada backing lagi ya?"Nara melayangkan garpunya ke arah wanita di depan kami, "Bisa gak, jangan sok sibuk dengan urusan orang, hm?" Meskipun Nara memasang wajah ketus tapi tidak menghilangkan wajah cantiknya."Yuk, ah cabut. Takut ada Mak Lampir." Akhirnya mereka pergi.Harusnya aku tidak main api, jadinya gini kan. Jujur saja aku juga tidak ingin seperti ini. Rasa yang membuatku i
POV: Diva"Eh pelakor lewat tuh! Ditinggalin Liam jadi berantakan banget dia." Sindiran itu dari sebelah kanan. Rania bersama in the genk-nya. Senioritas banget kantor ini, dari awal aku memang tidak suka padanya."Makin lama makin nyebelin liat muka dia.""Setujah!" Balasan kasar dari sebelah Rania, "Cewek yang model pemalas kan pada nyari suami yang kompeten dan orang kaya raya. Gak perlu susah-susah tinggal ngangkang aja, sukses jadi pelakor."Rasa sesak di hatiku membuatku ingin menangis. Sepertinya seluruh dunia memperlakukan aku dengan tidak baik. Aku berusaha berjala elegan. Mengabaikan mereka aku berjalan ke mejaku, duduk dan melakukan perkerjaan yang seharusnya kulakukan daripada ghibah. Jelas aku tidak bisa ghibah karena tidak ada kawan untuk bercerita."Diva, bisa minta tolong nanti?" Wanita berbaju merah menghampiriku ke meja. Aku mendongak melihatnya
POV Diva.Melihat Samira menggandeng tangan Liam begitu mesra, aku mengurungkan niatku untuk menghampiri Samira. Emosiku yang memuncak berganti dengan rasa cemburu melihat mereka tersenyum menyapa orang-orang di sekitar mereka. Liam terlihat menikmati perannya sebagai suami Samira. Aku bisa melihat Liam mencintai Samira, dari cara dia mencium pipi wanita itu satu tangannya merangkul pinggang Samira sangat posesif.Liam, kamu tahu? Aku hampir jadi mangsa laki-laki kurang ajar.Ah, bodoh sekali aku. Liam tidak akan peduli dengan apa yang terjadi padaku. Aku membalikkan badan berjalan keluar untuk pulang dengan mobilku. Tapi hujan seolah menghalangiku untuk pergi."Kenapa tiba-tiba hujan sih?" Aku mengusap tanganku, melihat awan yang gelap mengeluarkan air bertubi-tubi. Aku berdiri di teras gedung dengan tubuh yang tidak bergairah. Dadaku sesak, ingin berteriak dan menangis. Tapi itu tidak akan cukup.
POV Liam.Dear Samira, aku sedang memperjuangkan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita, belajar introspeksi diri tapi apa yang sekarang kamu lakukan lagi? Dia membuat party di gedung milik perusahaan. Meskipun tempat ini milik keluarga tidak sepantasnya dia membuat ini."Rubah hitam gimana kabarnya?" Samira berbisik dengan Tia, tapi aku bisa mendengar celotehan pelan mereka."Tenang aja Diva sudah ku amankan seperti permintaan kamu." Balasan Tia membuatku menoleh padanya. Kenapa setiap kali mendengar nama 'Diva' saja nyesek."Kalian lagi ngerencanain apa, Sa?" tanyaku mendekat pada Samira. Tia mundur seperti menutupi sesuatu."Mendingan kamu pura-pura gak denger aja dan gak usah ikut campur urusan perempuan." Balasan Samira membuatku geram. Tapi aku tidak bisa pura-pura tuli, aku ingin tahu jelas apa yang mereka lakukan pada Diva."Apa yang sudah kamu lakuin sama Diva?" D