Sementara itu di sebuah rumah kontrakan kecil di pusat kota padat penduduk. Dikta baru saja meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya menatap kosong ke arah halaman rumah yang ukurannya hanya cukup untuk satu mobil dengan pohon mangga di sudut pagar.Sejak seminggu lalu, dia dan Mamanya pindah ke sini. Kontrakan kecil yang cukup pengap dan satu jauh berbeda dengan rumahnya dulu. Sangat-sangat jauh berbeda.Beberapa saat lalu, pria yang kini terlihat lebih kusut dan tak terawat itu baru saja menelpon 'kawanannya'. Seseorang yang membantunya mencari informasi mengenai Jean termasuk orang-orang di dekatnya.Yah— JEAN. Tujuan hidup Dikta sekarang ini hanyalah membalas dendam pada pria itu. Dan pion yang tepat untuk membuat pria itu hancur hanyalah satu orang, Nilam.Tangannya mengepal. Giginya beradu. "Aku gak akan diam aja, Jean," gumamnya dengan suara rendah. "Kamu harus ngerasain sendiri gimana rasanya kehilangan segalanya. SEGALANYA!" Baru saja ia tenggelam dalam pikirannya, suar
Hari ini entah mengapa Nilam rasanya seperti enggan berangkat bekerja. Tiba-tiba saja badannya terasa lelah, letih dan lesu. Walaupun pada akhirnya ia tetap berangkat bekerja, mengingat hari ini adalah hari yang begitu penting bagi perushaan tempat dirinya bekerja. Tapi tetap tak ada semangat dalam dirinya yang hanya menghela napas, menundukkan kepalanya di atas meja kerja, atau menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja miliknya. Saat Nilam tengah menikmati kegalauannya, tiba-tiba saja Rina dan Talita datang mengejutkan dirinya. "Pagi Mba Nilam!" teriak Rina dan Talita bersamaan. Mereka menuju ke meja kerja masing-masing. Nilam menyambut, "Ish! Kalian berdua ini membuatku terkejut saja!" Nilam langsung kembali menundukkan kepalanya ke atas meja. Rina dan Talita memperhatikan Nilam lalu saling bertatapan mata menilai penampilan Nilam yang wajahnya juga agak pucat seperti orang tak makan berhari-hari. "Kamu kenapa, Mba?" tanya Talita yang penasaran. "Rasanya agak gugup, nih! Pengen p
Nilam langsung kicep karena bibir Jean hinggap di bibirnya secara tiba-tiba layaknya suapan tutup mulut. Nilam langsung merona karena ia belum mempersiapkan dirinya untuk menerima tindakan Jean yang grasak-grusuk itu. Kedua tangan Nilam ia kerahkan sekuat tenaga untuk mendorong Jean agar melepaskan ciumannya. "Kamu ini ngapain, sih?!" Nilam cemberut karena kesal. "Kenapa? Kamu enggak suka?" Jean menyunggingkan bibirnya, sengaja menggoda Nilam. Bukannya tak suka, Nilam sih mau-mau aja ya tapi kondisinya mereka kan lagi di kantor. Jadi kalau ada yang lihat bisa berabe. Nilam masih cemberut namun juga menjawab Jean, "Pikir aja sendiri!" Nilam membuang muka. Jean tersenyum simpul melihat Nilam yang bertingkah seperti bocah kecil. Jean langsung menarik Nilam ke pangkuannya. "Ah?!" Nilam terkejut. "Kamu ini! Kalau tadi aku jatuh gimana?!" protesnya lalu mencubit lengan Jean. Kini posisi Nilam duduk di atas paha Jean sehingga Nilam membelakangi Jean. Tempat duduk yang begitu n
"Ah, tadi aku liat ada orang gila di luar kantor kita, Mba," kilah Nilam berbohong. "Orang gila? Mba Nilam tadi bukannya dipanggil ke ruangannya Pak Jean, ya?" sahut Talita yang tidak mau ketinggalan berita. Karena menjawab terburu-buru, Nilam jadi lupa kalau barusan dia dari ruangan Jean. Nilam malah jadi bingung mau menjawab gimana lagi. "Mungkin Mba Nilam liat dari jendela ruangannya Pak Jean, kali!" asumsi Rina ia utarakan. Nilam merasa jika perkataan Rina masuk akal, jadi ia membenarkan ucapan Rina. "Ah, iya, benar!" Nilam berharap tidak ada pertanyaan apa-apa lagi. Sebenarnya gampang aja sih Nilam tinggal bilang kalau dia emang ngatain Jean. Hanya saja saat ini Nilam tidak ada mood untuk bercerita karena kedua rekan kerjanya itu pasti mendesak Nilam untuk menceritakan semuanya. "Mata Mba Nilam bisa sejernih dan sejelas itu ya liat orang gila? Kalau aku sih matanya melek kalau liat cowok ganteng!" Talita malah melanjutkan pembahasan."Cowok ganteng kalo enggak kaya buat ap
Memang segala sesuatunya tidak pasti berbanding lurus sesuai dengan kemauan dan keinginan kita,l ayaknya meeting kali ini. Tak mungkin rapat, materi, diskusi dan eksekusi bejalan dengan mulus, berjalan dengan sempurna karena pasti ada sedikit kekurangannya. Begitu juga dengan tender sebelumnya yang meskipun puas dengan kemampuan Jean, namun masih ada beberapa hal yang ingin mereka revisi entah di bagian mananya. Tentu saja revisi sesuai dengan keinginan keduanya yang mana merupakan hasil dari meeting dan keinginan bersama agar mufakat. Hanya saja ucapan calon investor kali ini bukan hanya menyinggung pihak dari karyawan Jean, tetapi juga sedikit menyinggung perasaan dan harga diri Jean. Pasalnya Jean juga ikut andil dalam setiap proses pengerjaan untuk Berdiskusi dan menarik calon investor untuk perusahaan mereka. Kata "biasa saja" ini yang menjadi tanda kutip untuk Jean. Baru kali ini ada orang yang secara terang-terangan mengatakan hal itu di hadapannya. Secara teknis
"Maafkan saya, Mba! Saya tidak sengaja!" ucapnya bergegas berlutut untuk membantu Nilam. Ternyata yang Nilam tabrak adalah rekan kerja laki-lakinya yang baru saja keluar dari ruangan Jean. Terlihat dia khawatir pada keandaan Nilam. "Mba enggak apa-apa, kan?" tanyanya memastikan lalu memberikan uluran tangan. "Mari, saya bantu berdiri, Mba!"Nilam jadi tidak enak karena tadi ia hampir memaki rekan kerjanya. Padahal ini memang salah Nilam yang tidak memperhatikan jalan. Bukannya memaki atau memarahi Nilam, namun korban yang ditabrak Nilam malah membantunya. Nilam pun menerima uluran tangan itu. Tetapi saat pria itu menarik Nilam, dan Nilam yang berusaha untuk bangkit malah terkilir kakinya sehingga kehilangan keseimbangan. Tubuh Nilam terhuyung sembari spontan berteriak, "Ah!"Nilam memejamkan matanya karena tak ingin menyaksikan dirinya untuk jatuh kedua kalinya. Beberapa saat Nilam memejamkan kedua matanya tapi tubuhnya tak merasakan sakit akibat benturan apapun. "Eh, kok engga
Jean tidak ingin masalah menjadi panjang jadi ia langsung memejamkan matanya dannmembungkam bibir Nilam dengan bibirnya. Nilam masih saja meronta ingin melepaskan diri. Nilam tidak mau masalahnya diselesaikan dengan dirinya yang menjadi pelampiasan. Tapi tenaga Nilam tidak cukup besar untuk mendorong Jean agar menyingkir dari atas tubuhnya. Dalam hati Nilam, ia meratapi kesedihannya. "Apa aku harus pasrah di saat aku yang tidak melakukan kesalahan diperlakukan seperti ini?" Jean berusaha untuk selembut mungkin agar Nilam tidak merasa tertindas dan ia melakukan semua itu agar Nilam tenang. Walaupun Nilam juga tidak merasakan adanya paksaan dan kekerasan pada adu mulut itu, tetap saja netranya tak mampu menahan cairan bening yang akhirnya terjun dengan bebas membasahi pipinya. Jean yang wajahnya bersentuhan langsung dengan wajah Nilam merasakan adanya sesuatu yang membuatnya membuka mata. Melihat air mata Nilam, Jean panik dan langsung mundur. Bergegaslah ia turun dari
Nilam menganggukkan kepalanya sebagai jawaban persetujuan. Dan akhirnya reward untuk para karyawan ialah camping di pegunungan. Karena tujuan sudah ditentukan, Nilam dan Jean langsung berunding mengenai waktu dan segala sesuatu yang dibutuhkan. Setelah cukup lama berunding, akhirnya diskusi telah usai dan tinggal bagian eksekusinya saja. "Oke, kalau begitu kamu segera sampaikan ke yang lainnya! Jangan lupa untuk menyampaikan detailnya juga!" suruh Jean memberi mandat pada Nilam. Dengan anggukan kepala yang bersemangat, Nilam bergegas keluar dari ruangan Jean untuk melaksanakan tugasnya. Jean yang melihat wanitamya senang jadi ikut bahagia. "Aku pastikan kita akan punya banyak waktu untuk berduaan saja saat di sana nanti, Sayang!" Usai melapor ke bagian yang bertugas untuk menyampaikan informasi itu, Nilam bergegas untuk kembali ke ruangannya. Nilam sampai terengah-engah saking buru-burunya. "Gais! Ada berita penting!" Usai berbicara, Nilam mengatur napasnya terlebih da
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh