Nilam terharu dengan kata-kata yang diucapkan Jean barusan. Spontan ia menyandarkan kepalanya di bahu Jean. Tak lupa tangan kanannya merangkul dengan erat lengan kiri Jean agar ia masih bisa leluass untuk mengemudi. "Apakah kamu tahu? Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini!" Nilam menggosokkan kepalanya ke lengan Jean. Jean penasaran kenapa tiba-tiba Nilam berkata seperti itu sehingga Jean bertanya. "Beruntung? Beruntung kenapa?" Sebelum menjelaskan, Nilam menarik napas panjang terlebih dahulu agar durasi berbicaranya bisa panjang dan lama. Nilam mengatakan jika ia beruntung karena dari sekian banyaknya manusia, wanita dan beberapa spesies atau makhluk spesial yang lainnya, dialah yang berhasil mendapatkan Jean. Jean mengernyit, "Apa maksud kamu spesies dan makhluk spesial? Apakah aku juga menarik perhatian binatang dan iblis serta kawan-kawannya?" Nilam tak bisa menahan tawanya karena respon Jean. Nilam hanya ingin menggoda Jean saja supaya tidak bo
Tak hanya Jean tapi Nilam juga khawatir dengan jawaban dari dokter. Sebab, jika ia mengalami kondisi yang serius maka ia dipastikan tidak akan bisa ikut acara yang diadakan oleh perusahaan. "Sejujurnya kondisi Mba Nilam ini belum parah. Hanya saja jika kebiasaan ini terus berlanjut, maka ini akan buruk untuk kesehatannya, karena ini bukan pertama kalinya Mba Nilam mengalami kondisi seperti ini," ujar dokter yang mulai menerangkan hasil pemeriksaannya. "Belum parah? bukan pertama kalinya? Maksudnya sebelumnya pernah kejadian hal seperti ini, Dok?" tanya Jean memastikan. Nilam jadi ketar-ketir sendiri karena karena ia tidak pernah membahas hal seperti ini pada Jean karena Nilam pikir Jean tidak menggubris hal-hal seperti ini. Tapi ketika Nilam melihat respon Jean barusan yang begitu antusias bertanya pada dokter membuat Nilam merasa jika setelah ini ia pasti akan mendapatkan ceramah dari Jean. "Mampus deh aku! Beneran mampus!" batinnya cemas. Dokter menjawab pertanyaan Jean d
Jean tetap menolak dan memilih untuk menjaga dan merawat Nilam. Nilam tak mau bertengkar lagi jadi ia membiarkan Jean melakukan apa yang ia mau. "Aku akan jaga kamu di sini. Lagipula Bu Mala sedang keluar kota kan? Jadi kalau bukan aku yang jaga kamu siapa lagi?""Tapi Qila...""Qila aman sama orang tuaku. Kamu lupa dia nginap di sana selama beberapa minggu karena libur sekolah?"Nilam tak membantah. Dia memilih pasrah dengan apapun yang Jean inginkan. Sebab Nilam juga tau seberapa keras kepala kekasihnya ini.Karena perlu perawatan intensif selama tiga hari, jadi selama Nilam masih dirawat, Jean juga absen dari kantor karena memilih untuk merawat Nilam. Kalau menyangkut hal-hal tentang Nilam, Jean ini tidak mau menghiraukan yang lainnya. Hanya Nilam fokusnya. Tapi Nilam khawatir kalau Jean malah jadi jatuh sakit karena merawatnya. Jean terlihat kelelahan dan kurang istirahat. Hari ini tibalah saatnya bagi N
"Ngapain bawa mobil sendiri? Aku kan ikut trip ini juga. Lagi pula, kalau aku bawa mobil siapa yang bakal jaga sekertarisku yang manis ini?" tanyanya, menatap langsung ke arah Nilam.Gadis cantik dengan t-shirt putih di balut sweater rajut pink itu seketika melotot ke arah Jean. Dia hampir saja tantrum ketika sang bos dengan santainya berkata, "Bercanda guys. Ada beberapa pekerjaan yang harus di reschedule karena acara kita ini. Jadi aku butuh Nilam untuk mengatur ulang semuanya."Talita dan Rina ber-oh ria sembari senyum-senyum. Mereka coba mempercayai ucapan Jean meskipun keduanya tau itu cuma alasan. Sedangkan Nilam kembali relaks dan batal trantrum."Ya sudah! Ayo masuk ke Bus! Biar Nilam cepat-cepat data kalian dan kita bisa berangkat!""Siap Bos!" Talita dan Rina membalas dengan kompak titah sang Bos. Keduanya berlari kecil ke dalam Bus sambil menenteng tas ransel berisi barang bawaan mereka.Nilam melihat Jean sekilas sebelum mengi
Saat alunan musik mulai mengalun, Nilam menutup matanya sebentar, berusaha mengendalikan groginya. Namun, ketika mulai bernyanyi, suara lembutnya langsung memenuhi ruangan, membuat semua orang yang awalnya ribut mendadak diam. Jean yang awalnya hanya iseng juga langsung terpaku, matanya menatap Nilam tanpa berkedip. Ia memang sudah tahu Nilam punya suara yang bagus, tapi mendengarnya bernyanyi secara langsung seperti ini membuatnya terkesima. Rina dan Talita saling berbisik, "Gila, suara Nilam enak banget!" "Fix, kita harus sering-sering suruh dia nyanyi!" Begitu lagu selesai, bus kembali bergemuruh dengan tepuk tangan dan sorakan riuh. "WOY! KENAPA BARU BILANG KALAU SUARAMU SEBAGUS ITU?" teriak Bobby dari belakang. "AH! KALAH KITA NIH SAMA MBA NILAM!" tambah yang lain. Nilam hanya tersenyum malu, berusaha mengembalikan mikrofonnya ke Talita. Namun, Jean dengan cepat menarik tangannya, menyuruhnya duduk kem
Baru beberapa langkah Jean berjalan, dia merasakan atmosfer aneh yang membuatnya merasa tak nyaman. Dia seperti sedang di awasi dari kejauhan. Namun saat ia ingin memastikan, tidak ada siapapun di sekitarnya. Lorong villa itu kosong, kecuali Nilam dan teman-temannya yang berjalan semakin menjauh dari posisinya sekarang ini."Mungkin ini cuma perasaanku saja," putus Jean sebelum pergi meninggalkan lokasi.Sementara Jean berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya, di balik pintu, sepasang mata tajam mengawasi setiap gerak-geriknya. Dikta— pria itu berdiri diam, wajahnya tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam penuh perhitungan. Dikta memperhatikan bagaimana Jean menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencoba memastikan apakah ada seseorang yang mengawasinya. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Peka juga dia,” gumamnya pelan. Saat Jean akhirnya pergi, Dikta tetap tak bergerak, hanya matanya yang mengikuti arah langkah musuhnya itu. Perlahan, dia mengalihkan pandanganny
Sorakan kembali menggema, sementara Jean hanya bisa menatap Nilam dengan cemas. Hatinya masih tidak tenang, tapi ia tahu Nilam terlalu keras kepala untuk mundur. Jean hanya bisa berharap ini tidak akan berakhir buruk. Ia tau seberapa keras kepala Nilam, ditambah tantangan dari teman-temannya yang makin membuat adrenalin gadis itu jadi tertantang."Ayo! Ayo! Ayo!"Jean tetap tidak tenang, tapi ia memilih diam dan mengawasi dari jauh.Nilam mengambil sendok pertama. Semua menahan napas. Dengan cepat, ia memasukkan cabe itu ke dalam mulut dan langsung merasakan sensasi terbakar di lidahnya. Panas. Pedasnya langsung menjalar ke seluruh mulut hingga tenggorokannya. "Astaga! Ini gila!" Nilam melambai-lambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menghilangkan rasa panas yang semakin menjadi-jadi. Tapi belum selesai dengan yang pertama, Talita sudah mengingatkan, "Satu lagi, Nilam. Ayo, semangat!"Nilam menatap sendok kedua dengan horor. Lidahnya masih kebas, tapi ia tak punya pilihan
Sebuah tangan besar menutup mulutnya dari belakang. Tubuhnya seketika menegang, matanya membelalak dalam kengerian. “Mmpph!” Nilam meronta, berusaha melepaskan diri, tapi genggaman orang itu terlalu kuat. Tangan lain mencengkeram pinggangnya erat, menahannya agar tidak bisa bergerak. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Panik. Takut.Namun sebelum bisa melakukan perlawanan lebih jauh, rasa pusing yang luar biasa menyerang kepalanya. Pandangannya mulai kabur, tenaganya melemah seketika.‘Apa… yang terjadi?’ pikirnya dengan sisa kesadaran. 'Siapa yang...'Kegelapan mulai menyelimuti matanya, tubuhnya limbung, dan akhirnya— Bruk.Nilam jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan pria yang tidak lain adalah Dikta. Yah— Dikta.Dikta menahan tubuh Nilam yang lemas dalam pelukannya. Senyum licik terukir di wajahnya saat ia menatap gadis itu yang tak sadarkan diri."Ah, akhirnya... kita bertemu lagi, Nilam," bisiknya pelan, jemarinya menyelip di antara helai rambut gadis itu. "Sudah
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga
Hari ini, Nilam benar-benar tak tahu akan dibawa ke mana oleh Jean. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dari raut wajahnya, Jean tampak begitu bersemangat, seakan-akan telah menunggu momen ini sejak lama. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bangunan apartemen mewah itu menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan dan eksklusivitas. Fasade bangunan yang berlapis kaca tampak berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. "Selamat datang," ucap Jean dengan senyum penuh arti. Nilam menatapnya dengan bingung sekaligus penasaran. "Kita ke sini ngapain, Pak?" Jean tak langsung menjawab. Ia justru menggandeng tangan Nilam, membawanya masuk ke dalam lobi yang sangat luas dan elegan. Lantai marmernya mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung menambah kesan mewah. Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, sementara beberapa penghuni yang terlihat lewat berpakaian rapi
Nilam sudah siap sejak pagi, dia duduk di ruang tamu dengan kaki bersilang, mengenakan gaun selutut krem dengan motif bunga yang membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Pandangannya sesekali mengarah ke layar ponsel, namun ia menahan diri untuk tidak menghubungi Jean.Sesuai janji pria itu semalam, mereka akan pergi ke suatu tempat—meski Jean tak menyebutkan di mana. Nilam sebenarnya penasaran, tapi di sisi lain ia juga menikmati sensasi kejutan yang pria itu siapkan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ibunya, Bu Mala, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh di tangan. Wanita paruh baya itu mengenakan daster batik favoritnya, rambutnya disanggul seadanya. Ia lalu duduk di sebelah Nilam dengan santai.“Masih belum datang ya si Jean?” tanyanya, menyesap teh melati yang aromanya begitu khas. “Belum, Ma. Kayaknya masih di jalan.” “Coba chat aja?” Nilam menggeleng. “Nggak deh. Takutnya dia l
"Memang ada yang berani masuk ke sini tanpa ketuk pintu dulu?" Ia semakin mendekat, nyaris membuat bibir mereka bersentuhan.Nilam menelan ludah. Dalam jarak seperti ini, ia dapat merasakan helaan nafas sang kekasih.Hanya ada dirinya dan Jean dalam ruangan ini, terperangkap dalam jarak yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napas pria itu. Jean masih menatapnya dalam, matanya seperti ingin menelusuri setiap inci ekspresi di wajahnya. Bibirnya melengkung dalam senyum samar, penuh godaan."Kamu kalau diem gini jadi makin gemesin," bisiknya lembut, suara rendahnya bergetar di udara di antara mereka.Jantung Nilam berdetak begitu kencang, ia bisa merasakannya hingga ke ujung jari. "Pak Jean..." desis Nilam lirih, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. Jean tersenyum semakin lebar, seolah membaca gelagat bahwa gadis di hadapannya tidak benar-benar ingin menjauh. "Apa sayang?""Posisi kita terlalu de—"Tanpa memberikan kesempatan bagi Nilam untuk menyelesaikan ucapannya, Jean
Setelah seminggu penuh istirahat di rumah, akhirnya hari ini Nilam kembali ke kantor. Meski tubuhnya sudah lebih segar, perasaannya masih sedikit berat. Ada rasa cemas yang belum sepenuhnya hilang. Lebih tepatnya perasaan bersalah pada teman-temannya karena acara kantor mereka jadi gagal.Saat melangkah masuk ke gedung kantor, Nilam menghela napas dalam-dalam. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak berada di sini. Ia hanya khawatir dengan reaksi teman-temannya nanti.Namun, baru beberapa langkah memasuki lobi, suara familiar langsung menyambutnya."Mba Nilam!"Gadis itu melihat Talita dan Rina yang sedang berlari ke arahnya. Talita terlihat begitu antusias, sementara Rina—meskipun ekspresinya tidak seheboh Talita—jelas-jelas tampak lega melihat Nilam. "Kamu udah sehat, Mba?" Talita langsung memeluk Nilam erat, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan. "Aku khawatir banget sama kamu Mba.""Kalau aku udah masuk kerja, berarti aku udah sehat," balas Nilam yang tak kuasa menahan s
"Itulah yang sedang kami dalami." Polisi itu menatap Jean dengan ekspresi serius. "Kami sudah meminta teknisi villa untuk memeriksa apakah ini hanya kerusakan teknis atau sabotase. Jika ini disengaja, maka pelaku bisa saja seseorang yang memahami sistem keamanan di villa ini." Jean bersandar ke kursinya, pikirannya berpacu cepat. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan ini dengan sangat matang. Matanya beralih ke Nilam yang masih terbaring di ranjang. Gadis itu tampak lemah, tapi sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. CCTV mati. Tidak ada saksi. Tidak ada petunjuk. Jean menekan pelipisnya, mencoba meredam emosi yang berkecamuk. Fakta bahwa CCTV di villa mati pada saat kejadian membuatnya semakin curiga. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan semua ini. "Apa kalian sudah memeriksa staf villa? Atau tamu lain yang mungkin mencurigakan?" tanya Jean dengan nada mendesak. Polisi yang duduk di depannya menghela napas pelan. "Kami sudah memint