PERANGKAP DIKTA"Kamu percaya aku, kan?"Talita menatap mata pria itu, mencoba mencari kebohongan. Namun, Dikta terlalu pandai menyembunyikan niatnya—ekspresinya begitu tulus, penuh luka.Talita mengangguk pelan. "Aku... aku gak tahu, Dik. Tapi aku akan mencari tahu kebenarannya."Dikta tersenyum tipis. "Itu sudah cukup."Talita menghela napas, merasa terjebak dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari dugaannya.Yang tidak ia sadari, malam itu ia telah masuk ke dalam perangkap Dikta.Talita duduk di pojokan kafe, menunggu Dikta yang sedikit terlambat. Jujur, ia masih bimbang. Setelah pertemuan terakhir mereka, ia berusaha mengabaikan semua cerita Dikta, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Nilam tidak seperti yang pria itu katakan. Namun, semakin ia menghindar, semakin banyak hal yang terasa janggal.Pakaian mahal. Ponsel terbaru. Supir pribadi yang selalu berganti mobil. Dan yang paling mencurigakan, caranya menghindari pertanyaan tentang keluarganya."Maaf telat," suara Dikta mengagetkan
Nilam mengetuk pintu ruang kerja Jean dengan ringan sebelum membukanya sedikit. Ia melongok ke dalam, mendapati pria itu tengah sibuk dengan laptop dan setumpuk dokumen di mejanya. "Pak Jean," panggilnya pelan. "Aku boleh masuk?"Jean mengangkat kepalanya, ekspresinya sedikit lelah. Namun, begitu melihat Nilam berdiri di ambang pintu, bibirnya melengkung tipis. "Hei, sayang... Tentu aja dong. Ada apa?" Nilam melangkah masuk sambil membawa sebuah kotak makan berwarna pastel. "Aku masak makan siang. Kita makan sama-sama ya?" Jean melirik jam di sudut laptopnya dan baru menyadari kalau sudah lewat jam makan siang. Ia mengusap tengkuknya, lalu menutup dokumen yang sedang ia baca. "Boleh. Tapi aku selesaikan ini dulu ya!"Nilam mendecak pelan sambil menghampiri meja kerja Jean, lalu meletakkan kotak makan yang dibawanya. "Berapa lama?""Lima menit," tawar Jean."Okey. Aku tunggu."Jean tertawa kecil. "Thank's sayang.""Sama-sama sayang." Sembari menunggu Jean menyelesaikan tugasnya,
"Boleh ya Paaak..." Mohon Nilam dengan mata berkaca-kaca.Jean mengusap wajahnya dengan tangannya, masih merasa tidak sepenuhnya puas dengan keputusan ini. Namun, melihat Nilam yang begitu antusias, ia tahu tidak ada gunanya lagi melarang. "Aku nggak tahu kenapa, tapi firasatku nggak enak kalau kamu pergi sendiri," katanya akhirnya. Nilam menghela napas panjang, tahu kalau pria ini memang suka overprotektif, tapi kali ini ia terlihat lebih serius dari biasanya. "Kamu masih takut soal penyerangan waktu itu?""Nah itu kamu tau.""Tapi sekarang kan aku pergi tanpa kamu. Target orang itu kan kamu, bukan aku. Lagian Mba Rina dan Mba Talita juga pasti jagain aku kok. Kita bakal saling jaga satu sama lain."Jean menggeleng pelan, matanya tak lepas dari wajah Nilam. "Dengar, Nilam. Aku tahu mereka temanmu, tapi kita nggak boleh terlalu percaya sama orang lain, apalagi setelah kejadian di vila waktu itu."Nama "villa" langsung membuat Nilam terdiam sejenak. Ia tahu persis apa yang dimaks
Matahari baru saja muncul ketika Nilam tiba di rumah Rina. Ia melihat Talita sudah lebih dulu datang, duduk di teras sambil memainkan ponselnya. "Hei, pagi!" sapa Nilam ceria. Talita mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Pagi Mba..." Ia menyambut Nilam dengan senyum lebarnya yang khas. "Kamu semangat banget." "Ya iyalah! Ini kan pertama kalinya kita pergi ke pantai sama-sama." sahut Nilam sambil menaruh tasnya di dekat koper Talita. Tak lama kemudian, Rina keluar dari dalam rumah sambil menggandeng tangan putrinya yang masih kecil, Kayla. "Oke, kalian udah siap berangkat!" Setelah memasukkan barang-barang ke dalam mobil, mereka pun memulai perjalanan. Sang suami duduk di kursi kemudi dengan di dampingi kedua anaknya. Sedangkan Rina duduk bertiga dengan Talita dan juga Nilam.Perjalanan berlangsung dengan penuh tawa dan obrolan seru. Mereka bercerita tentang pekerjaan, gosip ringan, hingga rencana seru setibanya di pantai. Sesekali, Nilam mengambil ponselnya untuk membalas pes
"Mba, kamu ngerasa kita kayak diawasi gak sih?"Talita melihat Nilam, lalu mengedikkan bahu. "Enggak tuh Mba. Mungkin itu cuma perasaan kamu aja.""Gitu ya?" Nilam menghela napas, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman yang terus mengganggunya. "Mungkin aku cuma kebanyakan mikir," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Talita menepuk pundaknya dengan santai. "Udah, jangan kepikiran yang aneh-aneh! Kita di tempat wisata, wajar kalau ada orang yang ngeliatin. Bisa jadi cuma turis biasa, ya kan?"Nilam mengangguk, meskipun dalam hati ia masih merasa ada yang janggal. "Daripada mikirin yang enggak-enggak, mending kita cari spot lain buat foto. Yuk!" ajak Talita bersemangat. Nilam tersenyum kecil. "Iya deh, ayo!" Mereka pun beranjak dari batuan karang dan mulai menyusuri garis pantai lagi, mencari sudut yang lebih bagus untuk berfoto. Talita sibuk memperhatikan sekitar, mencari tempat yang menurutnya estetik. Namun, saat Nilam tengah sibuk dengan kameranya, Talita tanpa sengaja
"Aku butuh kamu buat berakting nanti. Kamu bakal teriak minta tolong, pura-pura panik, bilang kalau Nilam terpeleset dari tebing dan jatuh ke laut. Kamu bisa, kan?" Talita menatapnya tak percaya. "Aku… aku gak tahu…" Dikta mencengkeram dagunya, memaksanya menatap langsung ke matanya yang gelap dan menakutkan. "Kamu bisa, Tal. Kita udah sejauh ini. Jangan tiba-tiba kamu berubah jadi pengecut." Talita menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak punya pilihan lain, bukan? Kalau ia mundur sekarang, bisa saja Dikta akan membahayakan dirinya juga. Jadi, dengan suara nyaris bergetar, ia mengangguk. "Bagus," kata Dikta, menyeringai puas. Tanpa membuang waktu lagi, mereka mulai berjalan menuju tebing yang dimaksud Dikta. Langkah Talita terasa berat, seakan tiap langkahnya menuntunnya ke dalam jurang yang tak berujung.Sementara itu, Nilam tetap terkulai lemas di bahu Dikta, tak menyadari bahwa hidupnya kini berada di ujung tanduk.Dikta berdiri di tepi tebing,
Mata Jean membelalak. “JANGAN!”Angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin yang semakin menusuk hidung. Ombak di bawah sana terus bergemuruh, seperti menyanyikan lagu kematian. Dikta menyeringai. “Kamu tahu, Jean? Aku bisa membunuhnya sekarang juga.” Suaranya rendah, tenang, tapi penuh ancaman. Ia memainkan pisau di tangannya, mengayunkannya dengan santai seolah sedang menikmati setiap detik kepanikan yang mulai terlihat di wajah Jean. Jean menelan ludah, tetapi tidak mundur. “Apa mau kamu, Dikta?” Dikta terkekeh. “Pertanyaan yang bagus.” Ia mengangkat bahu seolah berpikir sejenak. “Aku bisa membunuh Nilam sekarang juga dan melempar tubuhnya ke laut. Mudah sekali."Jean mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan emosinya. “Jangan lakukan itu! Aku akan memberikan apapun yang kamu inginkan, tapi tolong bebaskan Nilam."Dikta tertawa pelan. “Kamu memohon padaku sekarang?”Jean menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Aku akan memberikan apa pun yang kau m
Jean berlari menuruni jalan setapak yang curam, hampir tersandung bebatuan yang licin. Napasnya terengah, tubuhnya penuh luka akibat pertarungannya dengan Dikta, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah Nilam. Ombak menghantam keras ke tepian, seolah menertawakan keputusasaan Jean. Tanpa ragu, ia melepas sepatu dan segera menerjang lautan. "Nilaaam!" suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh ombak. Ia menyelam berulang kali, mencari sosok kekasihnya yang terseret arus. Dingin mulai menusuk tubuhnya, rasa lelah menjalar, tapi ia terus berusaha. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Jean terus berenang, menerjang ombak yang semakin ganas. Dadanya sesak, napasnya putus-putus, tapi ia tidak peduli. “Nilaaaaam!!!” suaranya menggema di tengah gemuruh laut. Tapi tak ada jawaban. Air laut asin mengaburkan penglihatannya, tubuhnya mulai kehilangan tenaga, tapi ia terus menyelam. Berulang kali. Tangannya meraba dalam kegelapan, berh
Jean ngakak. “Ilegal tapi kamu yang teriak-teriak keenakan."Nilam nyaris keselek. “Kak Jean!”“Oke-oke, aku diem.” Jean mengangkat tangan sambil senyum geli. Tapi dia terus mencuri pandang ke arah istrinya yang sedang makan lahap, rambutnya masih basah, kulitnya bersinar habis kena matahari dan air kolam, dan senyumnya—ah, senyumnya bikin Jean jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya.Selesai makan, Nilam menyender santai di kursi, perut kenyang dan hati senang.“Gila, enak banget. Aku bisa bobo sekarang juga.”Jean nyender di sebelahnya. “Kalo gitu ayo balik kamar. Aku gendong lagi deh.”Nilam melirik malas. “Gak. Makasih. Sekarang aku udah punya banyak cadangan energi. Lagian kalau aku jatuh pas kamu gendong gimana?"“Gak mungkin. Kamu tuh kayak nyawa kedua aku. Harus dijaga.”Nilam diam sebentar, lalu tersenyum lebar. “Aw... co cweeeet.”Jean berdiri dan mengulurkan tangan. “Yuk, Tuan putri aku gandeng aja ke kamarnya."Nilam menggenggam tangannya dan berdiri. “Semoga kali ini kamu
Nilam berjalan sempoyongan di samping Jean, seperti habis nabrak tiang listrik dua kali. Kakinya lemas, betisnya pegal, dan wajahnya sedikit manyun karena satu alasan: renang yang ditunda hampir tiga jam cuma gara-gara suami over semangat.“Sayang, kamu keliatan capek banget. Gimana kalau renangnya di tunda aja. Jadi kamu bisa istirahat di kamar?” tawar Jean dengan raut penuh sesal."Ya itu kan gara-gara kamu! Bilangnya cuma satu ronde tapi lebih! Kan sialan..." gerutu Nilam dengan bibir manyun-manyun lucu. "Liburan kita tinggal dua hari lagi dan kita masih belum melakukan aktifitas seru di Bali. Kan rugi."Jean menahan tawa sambil menuntun istrinya yang sekarang jalannya lebih mirip orang mabuk. "Tapi aku khawatir kamu pingsan di kolam."Nilam mendelik. “Ya siapa suruh kamu seganas itu? Badan aku masih pegal semua ini.” Suara Nilam agak serak. Wajar sih, habis teriak-teriak keenakan dalam waktu cukup lama, meskipun bukan karena marah. “Dan parahnya lagi, aku belum makan dari tad
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga