Mata Jean membelalak. “JANGAN!”Angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin yang semakin menusuk hidung. Ombak di bawah sana terus bergemuruh, seperti menyanyikan lagu kematian. Dikta menyeringai. “Kamu tahu, Jean? Aku bisa membunuhnya sekarang juga.” Suaranya rendah, tenang, tapi penuh ancaman. Ia memainkan pisau di tangannya, mengayunkannya dengan santai seolah sedang menikmati setiap detik kepanikan yang mulai terlihat di wajah Jean. Jean menelan ludah, tetapi tidak mundur. “Apa mau kamu, Dikta?” Dikta terkekeh. “Pertanyaan yang bagus.” Ia mengangkat bahu seolah berpikir sejenak. “Aku bisa membunuh Nilam sekarang juga dan melempar tubuhnya ke laut. Mudah sekali."Jean mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan emosinya. “Jangan lakukan itu! Aku akan memberikan apapun yang kamu inginkan, tapi tolong bebaskan Nilam."Dikta tertawa pelan. “Kamu memohon padaku sekarang?”Jean menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Aku akan memberikan apa pun yang kau m
Jean berlari menuruni jalan setapak yang curam, hampir tersandung bebatuan yang licin. Napasnya terengah, tubuhnya penuh luka akibat pertarungannya dengan Dikta, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah Nilam. Ombak menghantam keras ke tepian, seolah menertawakan keputusasaan Jean. Tanpa ragu, ia melepas sepatu dan segera menerjang lautan. "Nilaaam!" suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh ombak. Ia menyelam berulang kali, mencari sosok kekasihnya yang terseret arus. Dingin mulai menusuk tubuhnya, rasa lelah menjalar, tapi ia terus berusaha. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Jean terus berenang, menerjang ombak yang semakin ganas. Dadanya sesak, napasnya putus-putus, tapi ia tidak peduli. “Nilaaaaam!!!” suaranya menggema di tengah gemuruh laut. Tapi tak ada jawaban. Air laut asin mengaburkan penglihatannya, tubuhnya mulai kehilangan tenaga, tapi ia terus menyelam. Berulang kali. Tangannya meraba dalam kegelapan, berh
"Nilaaam..." "Nilaaaam..." "Ughh..." Nilam mengerutkan keningnya efek rasa nyeri di kedua lengannya. Kelopak matanya terbuka dan langsung disambut sinar matahari dari tirai jendela. "Nilaam... Jangan tinggalkan aku... Kumohon..." Gadis itu mengangkat wajahnya. Pandangannya seketika tertuju ke arah Jean yang tampak gelisah dalam tidurnya. "Pak..." Dengan lembut Nilam memanggil si empunya nama. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi Jean yang basah karena air mata. "Pak Jean..." "Nilam..." Nilam menatap wajah Jean yang basah oleh air mata, hatinya mencelos. Pria itu terlihat begitu tersiksa dalam tidurnya, berkali-kali menyebut namanya dengan suara yang nyaris seperti rintihan. Dengan ragu, ia mengusap pipi Jean, ibu jarinya menghapus jejak air mata yang mengalir di sana. "Pak Jean… bangun, ini aku…" bisiknya pelan. "Aku di sini..." Jean menggeliat, napasnya berat, seakan sedang melawan sesuatu dalam mimpinya. "Jangan pergi… Nilam... aku tidak bisa hidup tanpamu…" suaranya penu
"Kok, Papa keliatan sedih?" Qila memiringkan kepalanya, menatap Jean dengan bingung. "Lagi sakit?"Jean tersenyum keill, menggeleng. "Nggak, Qila sayang, Papa cuma masih ngantuk aja." Nilam masih menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. Ia bisa melihat sorot mata Jean yang berbeda pagi ini—ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya. Mungkin efek mimpinya tadi."Minum kopinya dulu Pak, biar segeran dikit!" ucap Nilam.Jean menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Thank's Nilam."Setelah memastikan jika Jean dan Qila sudah sarapan, Nilam pamit untuk mandi dan bersiap untuk ke kantor. Untung saja dia sudah siap baju ganti kemarin.Yah— weekend kemarin dia sengaja menginap di rumah Jean untuk menghabiskan banyak waktu dengan Jean dan Qila. Puncaknya kemarin malam saat mereka berdua menikmati momen nonton film horor sampai ketiduran. Walaupun saat bangun, Jean harus mengalami mimpi yang tidak menyenangkan.***Mobil melaju dengan kecepatan sedang di bawah langit yang mulai cera
"Kamu ini bawel banget, ya?" "Lagian siapa suruh ngeyel?" sahut Nilam tajam. Saat lift akhirnya terbuka, mereka melangkah masuk. Untungnya, hanya mereka berdua di dalam. Nilam menekan tombol menuju basement.Suasana sempat hening selama beberapa detik sebelum Nilam kembali bersuara. "Bapak kepikiran mimpi tadi malam sampai sakit gini."Jean menatap pantulan mereka di dinding lift yang mengkilap. "Itu karena aku benar-benar takut kehilangan kamu."Nilam mendengus. "Kan aku udah bilang itu cuma bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan!"Jean hanya melirik malas ke arah gadis di sampingnya. "Gimana aku gak kepikiran. Coba bayangkan, Dikta yang harusnya udah tobat setelah keluar dari penjara malah kerja sama dengan Talita buat nyakitin kamu."Nilam sedikit terbelalak. Namun sejurus kemudian ia justru tertawa. "Mimpi kamu absurd sekali.""Kamu pikir begitu?""Iya. Kayaknya itu juga efek nonton horor sebelum tidur.""Tapi gimana kalau itu salah satu firasat?"Nilam mengerutkan kening. "P
"Aku antar ke kamar ya!" ucap Nilam.Jean mengulurkan tangannya, dengan manja ia menggelayut di pundak Nilam. Ia memasang wajah lesu dan manja. "Mataku berat banget.""Makanya kamu istirahat. Biar aku buatin bubur supaya bisa buat ganjal pas minum obat," balas Nilam sembari melirik ke arah Jean. Meskipun sedikit keberatan dan agak susah karena badan Jean yang lebih besar, gadis itu tampak tak mempermasalahkan hal tersebut.Setelah memastikan Jean tertidur dengan nyaman di ranjangnya, Nilam keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Ia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, lalu mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk memasak."Hari ini, aku harus masak yang bergizi biar Pak Jean cepat sembuh," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka kulkas. Ia mengambil beberapa bahan—beras, ayam, wortel, dan daun bawang—untuk membuat bubur ayam hangat. Setelah mencuci beras dan memasukkannya ke dalam panci bersama air, ia menyalakan kompor dengan api kecil. Sementara bubur mulai mendidih, Nilam
Nilam bisa merasakan detak jantung Jean yang stabil di dadanya, juga kehangatan tubuh pria itu yang sedikit lebih panas dari biasanya karena demamnya. Awalnya, ia masih merasa canggung. Tapi melihat wajah Jean yang terlihat lelah dan tenang dalam posisi ini, perlahan ia mulai rileks. "Nilam…" suara Jean terdengar lebih lembut sekarang. "Makasih ya, udah jagain aku." Nilam tersenyum kecil. "Gak perlu bilang makasih Pak. Ini kan hal biasa.""Tapi aku perlu mengucapkan itu."Nilam menarik sudut bibirnya. "Terserah kamu aja deh.""Nilam...""Apalagi sayang?""I love you."Gadis itu agak kaget saat Jean berkata begitu, namun sejurus kemudian ia membalas pernyataan cinta Jean dengan mengatakan hal serupa.Tak lama kemudian, napas Jean mulai lebih teratur, tanda kalau pria itu akhirnya tertidur. Nilam menatap wajahnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Akhirnya dia tidur juga," gumamnya pelan. Tapi ia tetap membiarkan Jean memeluknya. Dan tanpa ia sadari, perlahan matanya pun ikut ter
“Tumben?""Emang gak boleh?"Nilam terlihat mengulum senyum dan membalas, "Ya boleh lah. Nanti aku sampaikan.""Gak! Gak!" Talita lebih dahulu memotong. "Jangan disampaikan! Barusan aku cuma bercanda kok. Siapa aku yang berani banget nitip salam ke Bos.""Yaaah, baru aja aku mau bilang ke Pak Jean.""Gak usah ngaco!"Nilam masih terkekeh."Ya udah deh. Aku tutup telfonnya ya! Bye Nilam.""Bye Mba Tal. Semangat kerjanya.""Kamu juga."Setelah panggilan berakhir, Nilam menghela napas panjang. Ia memandang ponselnya sejenak, sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Bohong pada Talita sebenarnya membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Apalagi, ia tahu kalau perempuan itu tidak mungkin punya niat buruk. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Mungkin karena Jean sendiri tidak pernah benar-benar terbuka dengan orang lain. Atau mungkin… karena tanpa sadar, ia ingin menjaga pria itu dari terlalu banyak pertanyaan dan perhatian yan
Jean ngakak. “Ilegal tapi kamu yang teriak-teriak keenakan."Nilam nyaris keselek. “Kak Jean!”“Oke-oke, aku diem.” Jean mengangkat tangan sambil senyum geli. Tapi dia terus mencuri pandang ke arah istrinya yang sedang makan lahap, rambutnya masih basah, kulitnya bersinar habis kena matahari dan air kolam, dan senyumnya—ah, senyumnya bikin Jean jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya.Selesai makan, Nilam menyender santai di kursi, perut kenyang dan hati senang.“Gila, enak banget. Aku bisa bobo sekarang juga.”Jean nyender di sebelahnya. “Kalo gitu ayo balik kamar. Aku gendong lagi deh.”Nilam melirik malas. “Gak. Makasih. Sekarang aku udah punya banyak cadangan energi. Lagian kalau aku jatuh pas kamu gendong gimana?"“Gak mungkin. Kamu tuh kayak nyawa kedua aku. Harus dijaga.”Nilam diam sebentar, lalu tersenyum lebar. “Aw... co cweeeet.”Jean berdiri dan mengulurkan tangan. “Yuk, Tuan putri aku gandeng aja ke kamarnya."Nilam menggenggam tangannya dan berdiri. “Semoga kali ini kamu
Nilam berjalan sempoyongan di samping Jean, seperti habis nabrak tiang listrik dua kali. Kakinya lemas, betisnya pegal, dan wajahnya sedikit manyun karena satu alasan: renang yang ditunda hampir tiga jam cuma gara-gara suami over semangat.“Sayang, kamu keliatan capek banget. Gimana kalau renangnya di tunda aja. Jadi kamu bisa istirahat di kamar?” tawar Jean dengan raut penuh sesal."Ya itu kan gara-gara kamu! Bilangnya cuma satu ronde tapi lebih! Kan sialan..." gerutu Nilam dengan bibir manyun-manyun lucu. "Liburan kita tinggal dua hari lagi dan kita masih belum melakukan aktifitas seru di Bali. Kan rugi."Jean menahan tawa sambil menuntun istrinya yang sekarang jalannya lebih mirip orang mabuk. "Tapi aku khawatir kamu pingsan di kolam."Nilam mendelik. “Ya siapa suruh kamu seganas itu? Badan aku masih pegal semua ini.” Suara Nilam agak serak. Wajar sih, habis teriak-teriak keenakan dalam waktu cukup lama, meskipun bukan karena marah. “Dan parahnya lagi, aku belum makan dari tad
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga