Nilam dan Rina berdiri di depan ruang rapat, menunggu Jean datang. Sambil menunggu, mereka bercakap-cakap dengan suara cukup keras agar Jean bisa mendengar begitu ia mendekat. "Nilaaam, gimana kencannya kemarin? Sukses gak?" tanya Rina memulai obrolan. Dia tampak tersenyum penuh arti ke arah kata Nilam. "Kalian jadi ke Bioskop?"Nilam tersenyum lebar sambil memegangi pipinya. "Jadi dong Mba.""Wiii, nonton film apa?""Horor sih Mba. Tapi aku gak ngeh ama plotnya."Rina mengerutkan keningnya. "Hah? Kok bisa? Kamu takut pasti ya pas nontonnya?"Nilam menggeleng. Ia terlihat malu-malu sesaat sebelum melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku gak takut sih Mba. Tapi pura-pura takut aja biar bisa peluk dia.""Kyaaah..." Rina dan Nilam histeris. Suaranya yang heboh itu terdengar oleh Jean yang mulai berjalan mendekat."Terus gimana?" Rina melirik Jean dan kembali memancing Nilam untuk melanjutkan ceritanya. "Aku peluk lengan dia sampai filmnya mau abis Mba. Dan satu sih yang bikin aku kepiki
"Coba ulangi, apa yang baru saja saya jelaskan!" Nilam langsung membeku. Rina buru-buru menunduk, menahan tawa. Semua mata di ruangan kini tertuju pada Nilam. Ia melirik catatannya, tapi yang tertulis di sana justru... coretan tanpa makna. "A-anu... emm..." Nilam mencoba tersenyum.Jean menaikkan sebelah alisnya. "Sudah aku duga, kamu pasti gak fokus!" ucap pria dengan setelan jas rapi itu dengan nada santai, tapi penuh sindiran.Seketika wajah Nilam terasa panas. Sementara itu, Jean masih menatapnya dengan ekspresi menang. "Saya... minta maaf, Pak," ucap Nilam akhirnya, menunduk dalam-dalam. Jean mendengus kecil. "Fokus, Nilam." "Siap, Pak," jawab Nilam cepat. Jean kembali menatap layar presentasi. Namun, sebelum melanjutkan rapat, ia berkata pelan, cukup untuk didengar Nilam. "Dan jangan terlalu sibuk memikirkan pria lain saat sedang bekerja. Fokus pada aku saja, oke!"Nilam menoleh cepat, tapi Jean sudah kembali serius dengan pembahasannya. Jantung Nilam kembali
"Boleh cium gak Pak? Buat mastiin?" desis Nilam yang tiba-tiba mengikuti isi pikirannya.Jean tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan rasa ketertarikan. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Nilam yang masih berusaha menata ekspresinya. "Tentu aja," jawabnya. "Kamu bisa menciumku sesukamu."Nilam menelan ludah. Ia tidak menyangka Jean akan benar-benar menanggapi ucapannya. Rina yang baru saja kembali ke ruangan untuk mengambil catatannya mendapati pemandangan itu dan langsung terbelalak. Ia buru-buru berbalik, tapi tetap mengintip dari celah pintu, terlalu penasaran untuk pergi begitu saja. "OMG! Mereka mau apa?!" jerit Rina dalam hati."Nunggu apa lagi, Nilam? Katanya mau mastiin?"Nilam menghela napas pelan dan berusaha mengendalikan kegugupannya. Perlahan, ia mendekatkan diri ke arah Jean, mencoba mencium aroma parfumnya dengan lebih jelas. Wangi sandalwood yang bercampur citrus segera menyapu indera penciumannya, kali ini lebih kuat karena jarak mereka yang
"Yang buat aku penasaran itu cuma satu— darimana karyawan biasa sepertimu bisa punya uang untuk beli parfum mahal?"DEG!Nilam kaget. Ia buru-buru beranjak dari pangkuan sang Bos. Dia mundur dan merapikan pakaiannya dengan gaya salah tingkah."Kenapa panik? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?""Enggak Pak." Nilam menggeleng. "Ini itu parfum KW, KW super ."Jean tersenyum tipis. Dia tau Nilam bohong. Tapi dia santai saja dan tetap mengikuti permainan gadis di depannya."Ya sudah cepat bereskan barang-barang kamu! Sebentar lagi waktunya istirahat." Jean berdiri lebih dahulu, dan Nilam mengikuti perintah pria itu dengan sigap.Sementara itu di tempat berbeda, Rina hampir kehabisan napas ketika sampai di meja Talita. Gadis yang sedang menunggu pesanannya itu mendelik kaget melihat ekspresi heboh sahabatnya. "Apa-apaan sih, Mba Rin? Kayak dikejar debt collector aja!" gerutu Talita, tapi tetap melirik Rina dengan penuh rasa ingin tahu. Rina menarik napas dalam sebelum duduk di samping T
Langit sore mulai menggelap saat Nilam masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Surya. Perjalanan pulang biasanya terasa biasa saja, tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati perjalanan. Kata-kata Rina dan Talita terus terngiang di kepalanya. ["Sebelum gosip buruk tentang kalian menyebar."]["Terus sampai kapan kamu mau digantung gini?"]Nilam memijat pelipisnya, merasa kepalanya berdenyut sejak meninggalkan kantor. Cara pria itu memperlakukannya tadi— kenapa terasa begitu intens?“Kenapa, Mba? Ngelamun terus dari tadi?” suara Surya membuyarkan lamunannya. “Aku pusing banget.”Surya melirik Nilam dari kaca spion, menyipitkan matanya sejenak sebelum kembali fokus menyetir. “Mau di anter ke klinik?"Nilam menghela napas. “Bukan... Bukan pusing yang gitu, tapi lainnya."Surya mengerutkan keningnya. Ia fokus melihat ke arah jalanan meskipun sesekali juga memperhatikan Nilam. "Ada masalah Mba?""Ada. Tapi gak terlalu penting sih.""Pasti masalah cowok ya kan?" sahu
"Aww! Sakit.. Siapa yang—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditarik kasar ke belakang. Napasnya tercekat saat merasakan kuku-kuku tajam mencengkeram rambutnya. "Kamu dari dulu sama aja! Gak pernah berubah!" Suara seorang wanita terdengar penuh amarah di telinganya. "K- kamu siapa?"Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna coklat tua, mengenakan setelan mewah dengan aksen emas di pergelangan tangannya. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara di ruangan ini terasa dingin. Wanita itu menyeringai kecil, tapi tatapannya tetap dingin. "Kamu pasti tahu siapa aku," ucapnya, suaranya terdengar rendah namun penuh tekanan.Nilam mengerutkan kening. Jantungnya berdetak semakin cepat. "A- aku gak tau kamu siapa!""Kamu gak usah pura-pura ya! Dasar pelakor!" bentak wanita itu."Aku Elisha," lanjut wanita itu dengan nada mengejek. "Istri Jean."Dunia Nilam seakan berhenti berputar sesaat. Istri?Bukankah ada gosip yang bilang kal
"A— aku… gak… bisa… napas…" suara Nilam melemah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tatapan Elisha dipenuhi amarah dan kebencian. "Kenapa kamu kembali?" bisiknya dingin. "Kenapa kamu gak mau menjauhi Mas Jean? Apa kamu mau mati, hah?"Nilam meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cekikan Elisha yang semakin erat di lehernya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah."A— aku… tolong…" suaranya hanya terdengar serak, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Air mata mengalir di sudut matanya."Gak akan ada yang nolongin kamu, Nilam!""Biar aja kamu mati!""L- lepasin!""Gak! Aku gak akan biarkan kamu hidup! Dasar pelakor!"Nilam berusaha melepaskan cengkraman Elisha di lehernya. Tapi susah— wanita itu berhasrat ingin menghabisinya."Mati aja sana! Mati dan masuk neraka aja kamu! Biar aku gak perlu repot-repot jagain Jean dari wanita macam kamu.""Khh... Le— lepas! Lepasin aku!""Sebelum kamu mati! Aku gak akan lepasin kamu, Nilam! GAK AKAN!""Ughh... Tolong... To— long..."Tidak ad
"Itu siapa?""Itu mirip Mba Nilam...""Hah? Masa?""I— iya…" Talita mengangguk, tapi tatapannya tetap terpaku pada Nilam yang semakin mendekat ke arah mereka.Rina menelan ludah. "Kenapa dia kayak… hantu?" Talita sedikit mundur, ikut merasa merinding. "Jangan-jangan dia…"BRAK!"AAAKH!"Talita dan Rina langsung menjerit kecil saat Nilam tiba-tiba tersandung dan jatuh telungkup di lantai koridor. "Mba Nilam! K— kamu kenapa?!" Rina buru-buru mendekat, setengah takut, setengah khawatir. "Ayo bangun Mba!"Nilam hanya diam, tak bergerak selama beberapa detik. Talita dan Rina semakin panik."Mba?! kamu kenapa sih? Jangan bikin kita takut!"Dengan gerakan lambat, Nilam mengangkat kepalanya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menatap mereka dengan mata merah dan berair. "Aku gak bisa tidur…" keluhnya dengan suara parau.Talita dan Rina saling berpandangan. "Hah! Kenapa bisa?" tanya Rina hati-hati. Nilam menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku abis mimpi buruk…"Talita menaikkan
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nilam, Talita, dan Rina spontan menoleh dan mendapati sosok Jean berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu mengenakan setelan jasnya seperti biasa, dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak. Namun, sorot matanya sedikit mengerut saat menangkap ekspresi tegang Nilam. "Trauma? Siapa yang trauma?" Suara Jean terdengar dingin, membuat ketiga wanita itu refleks menegakkan postur tubuh mereka. "Gak kok Pak! Gak ada yang trauma," Talita buru-buru tersenyum, berusaha terlihat santai. "Kita cuma ngomongin film." Jean tidak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi tatapannya tetap tertuju pada Nilam yang sejak tadi menghindari kontak mata dengannya. "Bener Nilam?" Jean bertanya langsung pada Nilam. Tubuh Nilam menegang seketika. "Itu bener kok Pak..." Jean memperhatikannya dengan pandangan penuh selidik. "Tapi kenapa kamu keliatan gugup?" Nilam menelan ludah, merasa tidak nyaman berada di bawah tatapan tajam pria itu. Ia tidak mungkin mengatakan bah
"Itu siapa?""Itu mirip Mba Nilam...""Hah? Masa?""I— iya…" Talita mengangguk, tapi tatapannya tetap terpaku pada Nilam yang semakin mendekat ke arah mereka.Rina menelan ludah. "Kenapa dia kayak… hantu?" Talita sedikit mundur, ikut merasa merinding. "Jangan-jangan dia…"BRAK!"AAAKH!"Talita dan Rina langsung menjerit kecil saat Nilam tiba-tiba tersandung dan jatuh telungkup di lantai koridor. "Mba Nilam! K— kamu kenapa?!" Rina buru-buru mendekat, setengah takut, setengah khawatir. "Ayo bangun Mba!"Nilam hanya diam, tak bergerak selama beberapa detik. Talita dan Rina semakin panik."Mba?! kamu kenapa sih? Jangan bikin kita takut!"Dengan gerakan lambat, Nilam mengangkat kepalanya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menatap mereka dengan mata merah dan berair. "Aku gak bisa tidur…" keluhnya dengan suara parau.Talita dan Rina saling berpandangan. "Hah! Kenapa bisa?" tanya Rina hati-hati. Nilam menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku abis mimpi buruk…"Talita menaikkan
"A— aku… gak… bisa… napas…" suara Nilam melemah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tatapan Elisha dipenuhi amarah dan kebencian. "Kenapa kamu kembali?" bisiknya dingin. "Kenapa kamu gak mau menjauhi Mas Jean? Apa kamu mau mati, hah?"Nilam meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cekikan Elisha yang semakin erat di lehernya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah."A— aku… tolong…" suaranya hanya terdengar serak, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Air mata mengalir di sudut matanya."Gak akan ada yang nolongin kamu, Nilam!""Biar aja kamu mati!""L- lepasin!""Gak! Aku gak akan biarkan kamu hidup! Dasar pelakor!"Nilam berusaha melepaskan cengkraman Elisha di lehernya. Tapi susah— wanita itu berhasrat ingin menghabisinya."Mati aja sana! Mati dan masuk neraka aja kamu! Biar aku gak perlu repot-repot jagain Jean dari wanita macam kamu.""Khh... Le— lepas! Lepasin aku!""Sebelum kamu mati! Aku gak akan lepasin kamu, Nilam! GAK AKAN!""Ughh... Tolong... To— long..."Tidak ad
"Aww! Sakit.. Siapa yang—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditarik kasar ke belakang. Napasnya tercekat saat merasakan kuku-kuku tajam mencengkeram rambutnya. "Kamu dari dulu sama aja! Gak pernah berubah!" Suara seorang wanita terdengar penuh amarah di telinganya. "K- kamu siapa?"Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna coklat tua, mengenakan setelan mewah dengan aksen emas di pergelangan tangannya. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara di ruangan ini terasa dingin. Wanita itu menyeringai kecil, tapi tatapannya tetap dingin. "Kamu pasti tahu siapa aku," ucapnya, suaranya terdengar rendah namun penuh tekanan.Nilam mengerutkan kening. Jantungnya berdetak semakin cepat. "A- aku gak tau kamu siapa!""Kamu gak usah pura-pura ya! Dasar pelakor!" bentak wanita itu."Aku Elisha," lanjut wanita itu dengan nada mengejek. "Istri Jean."Dunia Nilam seakan berhenti berputar sesaat. Istri?Bukankah ada gosip yang bilang kal
Langit sore mulai menggelap saat Nilam masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Surya. Perjalanan pulang biasanya terasa biasa saja, tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati perjalanan. Kata-kata Rina dan Talita terus terngiang di kepalanya. ["Sebelum gosip buruk tentang kalian menyebar."]["Terus sampai kapan kamu mau digantung gini?"]Nilam memijat pelipisnya, merasa kepalanya berdenyut sejak meninggalkan kantor. Cara pria itu memperlakukannya tadi— kenapa terasa begitu intens?“Kenapa, Mba? Ngelamun terus dari tadi?” suara Surya membuyarkan lamunannya. “Aku pusing banget.”Surya melirik Nilam dari kaca spion, menyipitkan matanya sejenak sebelum kembali fokus menyetir. “Mau di anter ke klinik?"Nilam menghela napas. “Bukan... Bukan pusing yang gitu, tapi lainnya."Surya mengerutkan keningnya. Ia fokus melihat ke arah jalanan meskipun sesekali juga memperhatikan Nilam. "Ada masalah Mba?""Ada. Tapi gak terlalu penting sih.""Pasti masalah cowok ya kan?" sahu
"Yang buat aku penasaran itu cuma satu— darimana karyawan biasa sepertimu bisa punya uang untuk beli parfum mahal?"DEG!Nilam kaget. Ia buru-buru beranjak dari pangkuan sang Bos. Dia mundur dan merapikan pakaiannya dengan gaya salah tingkah."Kenapa panik? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?""Enggak Pak." Nilam menggeleng. "Ini itu parfum KW, KW super ."Jean tersenyum tipis. Dia tau Nilam bohong. Tapi dia santai saja dan tetap mengikuti permainan gadis di depannya."Ya sudah cepat bereskan barang-barang kamu! Sebentar lagi waktunya istirahat." Jean berdiri lebih dahulu, dan Nilam mengikuti perintah pria itu dengan sigap.Sementara itu di tempat berbeda, Rina hampir kehabisan napas ketika sampai di meja Talita. Gadis yang sedang menunggu pesanannya itu mendelik kaget melihat ekspresi heboh sahabatnya. "Apa-apaan sih, Mba Rin? Kayak dikejar debt collector aja!" gerutu Talita, tapi tetap melirik Rina dengan penuh rasa ingin tahu. Rina menarik napas dalam sebelum duduk di samping T
"Boleh cium gak Pak? Buat mastiin?" desis Nilam yang tiba-tiba mengikuti isi pikirannya.Jean tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan rasa ketertarikan. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Nilam yang masih berusaha menata ekspresinya. "Tentu aja," jawabnya. "Kamu bisa menciumku sesukamu."Nilam menelan ludah. Ia tidak menyangka Jean akan benar-benar menanggapi ucapannya. Rina yang baru saja kembali ke ruangan untuk mengambil catatannya mendapati pemandangan itu dan langsung terbelalak. Ia buru-buru berbalik, tapi tetap mengintip dari celah pintu, terlalu penasaran untuk pergi begitu saja. "OMG! Mereka mau apa?!" jerit Rina dalam hati."Nunggu apa lagi, Nilam? Katanya mau mastiin?"Nilam menghela napas pelan dan berusaha mengendalikan kegugupannya. Perlahan, ia mendekatkan diri ke arah Jean, mencoba mencium aroma parfumnya dengan lebih jelas. Wangi sandalwood yang bercampur citrus segera menyapu indera penciumannya, kali ini lebih kuat karena jarak mereka yang
"Coba ulangi, apa yang baru saja saya jelaskan!" Nilam langsung membeku. Rina buru-buru menunduk, menahan tawa. Semua mata di ruangan kini tertuju pada Nilam. Ia melirik catatannya, tapi yang tertulis di sana justru... coretan tanpa makna. "A-anu... emm..." Nilam mencoba tersenyum.Jean menaikkan sebelah alisnya. "Sudah aku duga, kamu pasti gak fokus!" ucap pria dengan setelan jas rapi itu dengan nada santai, tapi penuh sindiran.Seketika wajah Nilam terasa panas. Sementara itu, Jean masih menatapnya dengan ekspresi menang. "Saya... minta maaf, Pak," ucap Nilam akhirnya, menunduk dalam-dalam. Jean mendengus kecil. "Fokus, Nilam." "Siap, Pak," jawab Nilam cepat. Jean kembali menatap layar presentasi. Namun, sebelum melanjutkan rapat, ia berkata pelan, cukup untuk didengar Nilam. "Dan jangan terlalu sibuk memikirkan pria lain saat sedang bekerja. Fokus pada aku saja, oke!"Nilam menoleh cepat, tapi Jean sudah kembali serius dengan pembahasannya. Jantung Nilam kembali
Nilam dan Rina berdiri di depan ruang rapat, menunggu Jean datang. Sambil menunggu, mereka bercakap-cakap dengan suara cukup keras agar Jean bisa mendengar begitu ia mendekat. "Nilaaam, gimana kencannya kemarin? Sukses gak?" tanya Rina memulai obrolan. Dia tampak tersenyum penuh arti ke arah kata Nilam. "Kalian jadi ke Bioskop?"Nilam tersenyum lebar sambil memegangi pipinya. "Jadi dong Mba.""Wiii, nonton film apa?""Horor sih Mba. Tapi aku gak ngeh ama plotnya."Rina mengerutkan keningnya. "Hah? Kok bisa? Kamu takut pasti ya pas nontonnya?"Nilam menggeleng. Ia terlihat malu-malu sesaat sebelum melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku gak takut sih Mba. Tapi pura-pura takut aja biar bisa peluk dia.""Kyaaah..." Rina dan Nilam histeris. Suaranya yang heboh itu terdengar oleh Jean yang mulai berjalan mendekat."Terus gimana?" Rina melirik Jean dan kembali memancing Nilam untuk melanjutkan ceritanya. "Aku peluk lengan dia sampai filmnya mau abis Mba. Dan satu sih yang bikin aku kepiki