Hai kakak-kakak readers, makasih ya masih setia ama novel ini. Moga gak pada bosen yaaa... Othor masih nunggu kritik dan saran kalian looh jadi jangan lupa reviewnya... thank's sekeboon 🥰🥰
"Nyariin apa?"Itulah yang Jean tanyakan saat setelah tim devisi Nilam memberikan presentasi mengenai solusi pengembangan marketing perusahaan. Semua anggota tim satu persatu keluar dari ruangan Jean, kecuali Nilam yang masih terlihat kebingungan."Nyariin pulpen Pak.""Jatuh?" tanya Jean sambil ikut ngintip di bawah meja."Enggak tau." Nilam membuka file-file di atas meja. Barang kali pulpennya terselip di sana."Ya udah, beli lagi aja! Kan cuma pulpen.""Enggak bisa gitu Pak.""Kenapa gak bisa?""Itu pulpen hadiah dari mas crush," jawab Nilam yang kini mulai mencari di bawah meja. Tapi benda itu tidak ada di sana. "Itu pulpen penting banget buat saya. Soalnya kalau pake itu pulpen saya jadi kebayang-bayang wajah mas crush."Mendengar penjelasan Nilam, Jean langsung berhenti membantunya untuk mencari benda tersebut. Duda 32 tahun ini malah merebahkan punggungnya di kursi kerjanya dan membiarkan Nilam sibuk sendiri."Oh si Dewa ya? Jadi— kalian pacaran?" tanya Jean dengan nada tak ser
Nilam dan Rina berdiri di depan ruang rapat, menunggu Jean datang. Sambil menunggu, mereka bercakap-cakap dengan suara cukup keras agar Jean bisa mendengar begitu ia mendekat. "Nilaaam, gimana kencannya kemarin? Sukses gak?" tanya Rina memulai obrolan. Dia tampak tersenyum penuh arti ke arah kata Nilam. "Kalian jadi ke Bioskop?"Nilam tersenyum lebar sambil memegangi pipinya. "Jadi dong Mba.""Wiii, nonton film apa?""Horor sih Mba. Tapi aku gak ngeh ama plotnya."Rina mengerutkan keningnya. "Hah? Kok bisa? Kamu takut pasti ya pas nontonnya?"Nilam menggeleng. Ia terlihat malu-malu sesaat sebelum melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku gak takut sih Mba. Tapi pura-pura takut aja biar bisa peluk dia.""Kyaaah..." Rina dan Nilam histeris. Suaranya yang heboh itu terdengar oleh Jean yang mulai berjalan mendekat."Terus gimana?" Rina melirik Jean dan kembali memancing Nilam untuk melanjutkan ceritanya. "Aku peluk lengan dia sampai filmnya mau abis Mba. Dan satu sih yang bikin aku kepiki
"Coba ulangi, apa yang baru saja saya jelaskan!" Nilam langsung membeku. Rina buru-buru menunduk, menahan tawa. Semua mata di ruangan kini tertuju pada Nilam. Ia melirik catatannya, tapi yang tertulis di sana justru... coretan tanpa makna. "A-anu... emm..." Nilam mencoba tersenyum.Jean menaikkan sebelah alisnya. "Sudah aku duga, kamu pasti gak fokus!" ucap pria dengan setelan jas rapi itu dengan nada santai, tapi penuh sindiran.Seketika wajah Nilam terasa panas. Sementara itu, Jean masih menatapnya dengan ekspresi menang. "Saya... minta maaf, Pak," ucap Nilam akhirnya, menunduk dalam-dalam. Jean mendengus kecil. "Fokus, Nilam." "Siap, Pak," jawab Nilam cepat. Jean kembali menatap layar presentasi. Namun, sebelum melanjutkan rapat, ia berkata pelan, cukup untuk didengar Nilam. "Dan jangan terlalu sibuk memikirkan pria lain saat sedang bekerja. Fokus pada aku saja, oke!"Nilam menoleh cepat, tapi Jean sudah kembali serius dengan pembahasannya. Jantung Nilam kembali
"Boleh cium gak Pak? Buat mastiin?" desis Nilam yang tiba-tiba mengikuti isi pikirannya.Jean tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan rasa ketertarikan. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Nilam yang masih berusaha menata ekspresinya. "Tentu aja," jawabnya. "Kamu bisa menciumku sesukamu."Nilam menelan ludah. Ia tidak menyangka Jean akan benar-benar menanggapi ucapannya. Rina yang baru saja kembali ke ruangan untuk mengambil catatannya mendapati pemandangan itu dan langsung terbelalak. Ia buru-buru berbalik, tapi tetap mengintip dari celah pintu, terlalu penasaran untuk pergi begitu saja. "OMG! Mereka mau apa?!" jerit Rina dalam hati."Nunggu apa lagi, Nilam? Katanya mau mastiin?"Nilam menghela napas pelan dan berusaha mengendalikan kegugupannya. Perlahan, ia mendekatkan diri ke arah Jean, mencoba mencium aroma parfumnya dengan lebih jelas. Wangi sandalwood yang bercampur citrus segera menyapu indera penciumannya, kali ini lebih kuat karena jarak mereka yang
"Yang buat aku penasaran itu cuma satu— darimana karyawan biasa sepertimu bisa punya uang untuk beli parfum mahal?"DEG!Nilam kaget. Ia buru-buru beranjak dari pangkuan sang Bos. Dia mundur dan merapikan pakaiannya dengan gaya salah tingkah."Kenapa panik? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?""Enggak Pak." Nilam menggeleng. "Ini itu parfum KW, KW super ."Jean tersenyum tipis. Dia tau Nilam bohong. Tapi dia santai saja dan tetap mengikuti permainan gadis di depannya."Ya sudah cepat bereskan barang-barang kamu! Sebentar lagi waktunya istirahat." Jean berdiri lebih dahulu, dan Nilam mengikuti perintah pria itu dengan sigap.Sementara itu di tempat berbeda, Rina hampir kehabisan napas ketika sampai di meja Talita. Gadis yang sedang menunggu pesanannya itu mendelik kaget melihat ekspresi heboh sahabatnya. "Apa-apaan sih, Mba Rin? Kayak dikejar debt collector aja!" gerutu Talita, tapi tetap melirik Rina dengan penuh rasa ingin tahu. Rina menarik napas dalam sebelum duduk di samping T
Langit sore mulai menggelap saat Nilam masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Surya. Perjalanan pulang biasanya terasa biasa saja, tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati perjalanan. Kata-kata Rina dan Talita terus terngiang di kepalanya. ["Sebelum gosip buruk tentang kalian menyebar."]["Terus sampai kapan kamu mau digantung gini?"]Nilam memijat pelipisnya, merasa kepalanya berdenyut sejak meninggalkan kantor. Cara pria itu memperlakukannya tadi— kenapa terasa begitu intens?“Kenapa, Mba? Ngelamun terus dari tadi?” suara Surya membuyarkan lamunannya. “Aku pusing banget.”Surya melirik Nilam dari kaca spion, menyipitkan matanya sejenak sebelum kembali fokus menyetir. “Mau di anter ke klinik?"Nilam menghela napas. “Bukan... Bukan pusing yang gitu, tapi lainnya."Surya mengerutkan keningnya. Ia fokus melihat ke arah jalanan meskipun sesekali juga memperhatikan Nilam. "Ada masalah Mba?""Ada. Tapi gak terlalu penting sih.""Pasti masalah cowok ya kan?" sahu
"Aww! Sakit.. Siapa yang—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditarik kasar ke belakang. Napasnya tercekat saat merasakan kuku-kuku tajam mencengkeram rambutnya. "Kamu dari dulu sama aja! Gak pernah berubah!" Suara seorang wanita terdengar penuh amarah di telinganya. "K- kamu siapa?"Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna coklat tua, mengenakan setelan mewah dengan aksen emas di pergelangan tangannya. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara di ruangan ini terasa dingin. Wanita itu menyeringai kecil, tapi tatapannya tetap dingin. "Kamu pasti tahu siapa aku," ucapnya, suaranya terdengar rendah namun penuh tekanan.Nilam mengerutkan kening. Jantungnya berdetak semakin cepat. "A- aku gak tau kamu siapa!""Kamu gak usah pura-pura ya! Dasar pelakor!" bentak wanita itu."Aku Elisha," lanjut wanita itu dengan nada mengejek. "Istri Jean."Dunia Nilam seakan berhenti berputar sesaat. Istri?Bukankah ada gosip yang bilang kal
"A— aku… gak… bisa… napas…" suara Nilam melemah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tatapan Elisha dipenuhi amarah dan kebencian. "Kenapa kamu kembali?" bisiknya dingin. "Kenapa kamu gak mau menjauhi Mas Jean? Apa kamu mau mati, hah?"Nilam meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cekikan Elisha yang semakin erat di lehernya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah."A— aku… tolong…" suaranya hanya terdengar serak, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Air mata mengalir di sudut matanya."Gak akan ada yang nolongin kamu, Nilam!""Biar aja kamu mati!""L- lepasin!""Gak! Aku gak akan biarkan kamu hidup! Dasar pelakor!"Nilam berusaha melepaskan cengkraman Elisha di lehernya. Tapi susah— wanita itu berhasrat ingin menghabisinya."Mati aja sana! Mati dan masuk neraka aja kamu! Biar aku gak perlu repot-repot jagain Jean dari wanita macam kamu.""Khh... Le— lepas! Lepasin aku!""Sebelum kamu mati! Aku gak akan lepasin kamu, Nilam! GAK AKAN!""Ughh... Tolong... To— long..."Tidak ad
Setelah seminggu penuh istirahat di rumah, akhirnya hari ini Nilam kembali ke kantor. Meski tubuhnya sudah lebih segar, perasaannya masih sedikit berat. Ada rasa cemas yang belum sepenuhnya hilang. Lebih tepatnya perasaan bersalah pada teman-temannya karena acara kantor mereka jadi gagal.Saat melangkah masuk ke gedung kantor, Nilam menghela napas dalam-dalam. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak berada di sini. Ia hanya khawatir dengan reaksi teman-temannya nanti.Namun, baru beberapa langkah memasuki lobi, suara familiar langsung menyambutnya."Mba Nilam!"Gadis itu melihat Talita dan Rina yang sedang berlari ke arahnya. Talita terlihat begitu antusias, sementara Rina—meskipun ekspresinya tidak seheboh Talita—jelas-jelas tampak lega melihat Nilam. "Kamu udah sehat, Mba?" Talita langsung memeluk Nilam erat, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan. "Aku khawatir banget sama kamu Mba.""Kalau aku udah masuk kerja, berarti aku udah sehat," balas Nilam yang tak kuasa menahan s
"Itulah yang sedang kami dalami." Polisi itu menatap Jean dengan ekspresi serius. "Kami sudah meminta teknisi villa untuk memeriksa apakah ini hanya kerusakan teknis atau sabotase. Jika ini disengaja, maka pelaku bisa saja seseorang yang memahami sistem keamanan di villa ini." Jean bersandar ke kursinya, pikirannya berpacu cepat. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan ini dengan sangat matang. Matanya beralih ke Nilam yang masih terbaring di ranjang. Gadis itu tampak lemah, tapi sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. CCTV mati. Tidak ada saksi. Tidak ada petunjuk. Jean menekan pelipisnya, mencoba meredam emosi yang berkecamuk. Fakta bahwa CCTV di villa mati pada saat kejadian membuatnya semakin curiga. Ini bukan kebetulan. Seseorang sudah merencanakan semua ini. "Apa kalian sudah memeriksa staf villa? Atau tamu lain yang mungkin mencurigakan?" tanya Jean dengan nada mendesak. Polisi yang duduk di depannya menghela napas pelan. "Kami sudah memint
"Nilam, bangun! Aku mohon..."Lima detik terasa seperti selamanya. Tiba-tiba, tubuh Nilam tersentak. Gadis itu terbatuk keras, air keluar dari mulutnya. Jean langsung membantunya duduk, menepuk punggungnya perlahan. "Nilam! Dengar aku! Kamu bisa lihat aku?" Dengan napas tersengal, mata Nilam terbuka perlahan. Pupilnya bergerak, mencoba untuk fokus. Pandangannya buram, tapi perlahan mulai menangkap sosok Jean di hadapannya. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia berbisik lirih, "P- Pak Jean…?" Jean merasa lega, tapi juga marah. Ia menggenggam bahu Nilam dengan erat. "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?!" Namun, sebelum Nilam bisa menjawab, tubuhnya kembali melemas. Kelopak matanya menutup lagi. "Nilam!!" Jean mengguncangnya pelan, tapi tidak ada reaksi. Gadis itu kembali pingsan. Jean mendongak, mendengar suara langkah tergesa di luar kamar mandi. Beberapa waktu kemudian, Talita muncul bersama seorang penjaga villa yang tampak panik.***Klinik kec
Jean duduk di depan meja kayu di kamarnya, laptop terbuka di depannya, tapi pikirannya sama sekali tidak fokus pada dokumen yang sedang ia kerjakan. Sesekali, ia menghela napas panjang, matanya melirik ke layar ponsel di samping laptopnya. Jam sudah menunjukkan pukul 01.20 pagi. ‘Apa Nilam sudah tidur?’ pikirnya. Dua jam lalu perempuan itu mengirim pesan akan segera tidur. Tapi entah kenapa dia tidak dapat mempercayai perkataan kekasihnya tersebut. Dia tau betul seperti apa sifat Nilam.Ia menggerakkan kursinya, bersandar ke belakang dengan tangan yang terlipat di dada. Rasa tak nyaman mulai merayapi pikirannya. Sejak kejadian di api unggun tadi, ia masih kesal sekaligus cemas. Ia tahu Nilam keras kepala, tapi gadis itu seharusnya lebih berhati-hati dengan kesehatannya sendiri. Jean akhirnya meraih ponselnya, berniat mengirim pesan singkat. ["Kamu beneran udah tidur?"]Dibiarkannya pesan itu terkirim. Namun, beberapa detik berlalu tanpa ada balasan. Jean menunggu, menatap laya
Sebuah tangan besar menutup mulutnya dari belakang. Tubuhnya seketika menegang, matanya membelalak dalam kengerian. “Mmpph!” Nilam meronta, berusaha melepaskan diri, tapi genggaman orang itu terlalu kuat. Tangan lain mencengkeram pinggangnya erat, menahannya agar tidak bisa bergerak. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Panik. Takut.Namun sebelum bisa melakukan perlawanan lebih jauh, rasa pusing yang luar biasa menyerang kepalanya. Pandangannya mulai kabur, tenaganya melemah seketika.‘Apa… yang terjadi?’ pikirnya dengan sisa kesadaran. 'Siapa yang...'Kegelapan mulai menyelimuti matanya, tubuhnya limbung, dan akhirnya— Bruk.Nilam jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan pria yang tidak lain adalah Dikta. Yah— Dikta.Dikta menahan tubuh Nilam yang lemas dalam pelukannya. Senyum licik terukir di wajahnya saat ia menatap gadis itu yang tak sadarkan diri."Ah, akhirnya... kita bertemu lagi, Nilam," bisiknya pelan, jemarinya menyelip di antara helai rambut gadis itu. "Sudah
Sorakan kembali menggema, sementara Jean hanya bisa menatap Nilam dengan cemas. Hatinya masih tidak tenang, tapi ia tahu Nilam terlalu keras kepala untuk mundur. Jean hanya bisa berharap ini tidak akan berakhir buruk. Ia tau seberapa keras kepala Nilam, ditambah tantangan dari teman-temannya yang makin membuat adrenalin gadis itu jadi tertantang."Ayo! Ayo! Ayo!"Jean tetap tidak tenang, tapi ia memilih diam dan mengawasi dari jauh.Nilam mengambil sendok pertama. Semua menahan napas. Dengan cepat, ia memasukkan cabe itu ke dalam mulut dan langsung merasakan sensasi terbakar di lidahnya. Panas. Pedasnya langsung menjalar ke seluruh mulut hingga tenggorokannya. "Astaga! Ini gila!" Nilam melambai-lambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menghilangkan rasa panas yang semakin menjadi-jadi. Tapi belum selesai dengan yang pertama, Talita sudah mengingatkan, "Satu lagi, Nilam. Ayo, semangat!"Nilam menatap sendok kedua dengan horor. Lidahnya masih kebas, tapi ia tak punya pilihan
Baru beberapa langkah Jean berjalan, dia merasakan atmosfer aneh yang membuatnya merasa tak nyaman. Dia seperti sedang di awasi dari kejauhan. Namun saat ia ingin memastikan, tidak ada siapapun di sekitarnya. Lorong villa itu kosong, kecuali Nilam dan teman-temannya yang berjalan semakin menjauh dari posisinya sekarang ini."Mungkin ini cuma perasaanku saja," putus Jean sebelum pergi meninggalkan lokasi.Sementara Jean berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya, di balik pintu, sepasang mata tajam mengawasi setiap gerak-geriknya. Dikta— pria itu berdiri diam, wajahnya tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam penuh perhitungan. Dikta memperhatikan bagaimana Jean menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencoba memastikan apakah ada seseorang yang mengawasinya. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Peka juga dia,” gumamnya pelan. Saat Jean akhirnya pergi, Dikta tetap tak bergerak, hanya matanya yang mengikuti arah langkah musuhnya itu. Perlahan, dia mengalihkan pandanganny
Saat alunan musik mulai mengalun, Nilam menutup matanya sebentar, berusaha mengendalikan groginya. Namun, ketika mulai bernyanyi, suara lembutnya langsung memenuhi ruangan, membuat semua orang yang awalnya ribut mendadak diam. Jean yang awalnya hanya iseng juga langsung terpaku, matanya menatap Nilam tanpa berkedip. Ia memang sudah tahu Nilam punya suara yang bagus, tapi mendengarnya bernyanyi secara langsung seperti ini membuatnya terkesima. Rina dan Talita saling berbisik, "Gila, suara Nilam enak banget!" "Fix, kita harus sering-sering suruh dia nyanyi!" Begitu lagu selesai, bus kembali bergemuruh dengan tepuk tangan dan sorakan riuh. "WOY! KENAPA BARU BILANG KALAU SUARAMU SEBAGUS ITU?" teriak Bobby dari belakang. "AH! KALAH KITA NIH SAMA MBA NILAM!" tambah yang lain. Nilam hanya tersenyum malu, berusaha mengembalikan mikrofonnya ke Talita. Namun, Jean dengan cepat menarik tangannya, menyuruhnya duduk kem
"Ngapain bawa mobil sendiri? Aku kan ikut trip ini juga. Lagi pula, kalau aku bawa mobil siapa yang bakal jaga sekertarisku yang manis ini?" tanyanya, menatap langsung ke arah Nilam.Gadis cantik dengan t-shirt putih di balut sweater rajut pink itu seketika melotot ke arah Jean. Dia hampir saja tantrum ketika sang bos dengan santainya berkata, "Bercanda guys. Ada beberapa pekerjaan yang harus di reschedule karena acara kita ini. Jadi aku butuh Nilam untuk mengatur ulang semuanya."Talita dan Rina ber-oh ria sembari senyum-senyum. Mereka coba mempercayai ucapan Jean meskipun keduanya tau itu cuma alasan. Sedangkan Nilam kembali relaks dan batal trantrum."Ya sudah! Ayo masuk ke Bus! Biar Nilam cepat-cepat data kalian dan kita bisa berangkat!""Siap Bos!" Talita dan Rina membalas dengan kompak titah sang Bos. Keduanya berlari kecil ke dalam Bus sambil menenteng tas ransel berisi barang bawaan mereka.Nilam melihat Jean sekilas sebelum mengi