"Mba Nilam!"Gadis 23 tahun ini makin melongo. Apalagi saat Qila tiba-tiba maju dan memeluk perutnya."Mba Nilam ke mana aja selama ini? Qila kangen tau sama Mba."Nilam bingung. Antara membalas pelukan bocah ini, atau mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh anak 10 tahun di depannya."K- kamu siapa ya? Kok bisa tau nama Mba?" tanya Nilam agak tergagap. Dia benar-benar tidak ingat pernah bertemu bocah ini sebelumnya. Tapi ga mungkin juga bocah ini salah orang karena si Qila ini benar saat memanggil namanya."Kita pernah ketemu sebelumnya ya? Atau gimana?""Mba masa sih lupa ama Qila?" Bocah berambut panjang itu bertanya balik. "Qila aja masih inget loh ama Mba.""Tapi Mba beneran lupa. Mba ga inget kapan kita ketemu.""Aku ini qila Mba. Anaknya Papa Jean. Dulu Mba kan pernah jadi ART di rumah Papa dan Mama. Terus kita kenal dan deket di sana.""Papa Jean?" Nilam makin bingung. Ekspresi wajahnya terlihat sangat lucu saat berusaha mengingat-ingat. "Maksudnya Pak Jean ya?""Iya Mba. M
["Mba Qila, ayo ikut Mba!"]["Mba Qila jangan sedih ya! Kan ada Mba Nilam!"]["Besok ayo kita belajar buat kue lagi, Mba."]["Mba Qila mau dikuncir gimana? Nanti Mba bantu deh."]Nilam menegakkan kepalanya saat tiba-tiba saja kepalanya di penuhi oleh suara-suara asing.Suara-suara asing bergema di kepalanya. Samar, tapi jelas. Suara seorang anak kecil yang tertawa, suara rengekan manja, suara panggilan penuh kasih.["Mba Nilam ayo main!"]["Mba Nilam mau nemenin Qila tidur kan?"]["Mba Nilam kenapa mau resign? Mba gak sayang lagi ya ama Qila?"]Gadis itu mencoba menggali ingatannya lebih dalam, tetapi semakin keras ia berusaha, semakin sakit kepalanya. Wajah-wajah kabur berkelebat, potongan-potongan kenangan datang silih berganti seperti kilatan lampu kamera yang menyilaukan. Ada tawa, ada pelukan hangat, ada seorang pria yang menggenggam tangannya erat... Namun wajah-wajah itu tetap buram. Ia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kecuali suaranya yang sama persis seperti gadis yang
Nilam menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menatap Qila dengan lembut. Matanya menangkap tatapan bocah kecil itu yang berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit bergetar seolah menahan tangis. "Mba Qila... Kamu gak usah takut gitu," ucap Nilam pelan, suaranya terdengar hangat dan penuh kasih sayang. "Mba baik-baik aja, kok." Qila mengerjapkan matanya beberapa kali, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya melepaskan genggaman kecilnya dari lengan Jean. Perlahan, gadis itu mendekat ke arah Nilam dengan langkah hati-hati. "Beneran, Mba?" lirihnya, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Nilam tersenyum kecil, berusaha menenangkan gadis kecil itu. "Iya, beneran." Perlahan-lahan, ekspresi Qila mulai melunak. Senyum malu-malu mulai muncul di wajahnya, meskipun masih ada sisa kekhawatiran di matanya. Jean, yang sejak tadi mengamati interaksi mereka berdua, akhirnya ikut bersuara. "Kalau kamu merasa gak enak badan, istirahat aja dulu, Nilam. Gak usah maksain d
Perempuan 23 tahun itu tidak langsung kembali ke rumah setelah jam kantor berakhir. Dia sedang menunggu seseorang yang bisa jadi saksi kunci mengenai masa lalunya. Masa lalu yang tidak pernah di bongkar oleh ibu kandungnya sendiri. Nilam duduk menunggu di salah satu caffe sambil menikmati jusnya dan jalanan padat di sore hari. Sesekali ia akan mengecek ponselnya untuk memastikan di mana patnernya itu sekarang. Walaupun badannya masih lemas dan kepalanya agak pusing efek pingsan tadi, tapi perempuan itu memaksa untuk pergi."Nilam!""Nana!"Hampir 10 menit menunggu, sosok yang dimaksud pun tiba. Dengan penuh suka cita, Nilam berdiri dan menyambut teman baiknya tersebut. "Nana... Akhirnya kita bisa ketemu. Aku kangen banget ama kamu.""Sama, aku juga." Nana membalas pelukan Nilam. Keduanya terlihat begitu heboh. "Ahh, udah lama banget kita gak ketemu kan?""Ayo duduk!" Nilam menarik pelan tangan Nana agar keduanya bisa duduk berhadapan. Setelah memesan minuman, barulah keduanya mulai m
Nana menggigit bibirnya ragu. Ia memang punya sesuatu untuk Nilam, tetapi sebelum itu, ada hal yang harus dipastikannya lebih dulu. Ia menghela napas, menatap Nilam dengan serius. "Sebelum aku kasih sesuatu itu ke kamu, aku mau tanya dulu. Aku mau nanya sesuatu?" Nilam mendengkus. Apalagi sih yang ingin Nana pastikan? Dia sudah cerita banyak hal padanya, bahkan dengan begitu detail. "Emang apa yang mau kamu tanyain?""Soal, si Jean itu Nilam."Nilam menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Jean yang aku ceritain itu bosku di kantor, Na. Dia duda, punya anak perempuan umur 10 tahun namanya Qila."Nana mengernyit. "Itu sih aku tau." "Terus kamu mau nanya apa?""Aku khawatir itu cuma mirip aja."Nilam menatap Nana dengan ekspresi sengit. "Kamu tau gak, tadi aku ketemu anaknya Pak Jean."Nana menunggu Nilam untuk melanjutkan. "Terus?""Qila bilang dia kenal aku," suara Nilam melemah, matanya menerawang. "Padahal setahuku, aku gak pernah ketemu dia sebelumnya." Nana terdia
"Nana…" suaranya pelan, sedikit gemetar. "Kenapa kamu merahasiakan semuanya dariku?"Nana menunduk, ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "aku gak bermaksud seperti itu." Ia menatap Nilam yang seperti ingin menangis. "Aku hanya mau nepatin janjiku ke Tante Mala dan—" Ia menelan ludah. "—Jean...""J- Jean? Jadi—""Seseorang yang seharusnya memberikan ini langsung ke kamu itu memang Jean. Jean yang seorang duda dan punya anak satu bernama Qila. Bos kamu— Nilam!" tegas Nana. Seakan menjawab semua rasa ingin tau Nilam dalam satu tarikan nafas.Nilam terperangah kaget. Ternyata benar dugaannya. Dia dan Jean memang pernah bertemu sebelumnya. Dengan semua perhatian Jean selama ini, membuat emua terasa related sekarang."Sebenarnya aku gak boleh kasih tau kamu, apalagi aku udah janji buat jaga rahasia ini sampai ingatan kamu pulih sendiri. Tapi aku gak tahan liat kamu seperti orang kebingungan." Nana menambahkan. "Tolong jangan kasih tau ke Jean ataupun Tante Mala ya! Ini rahasia kita."Nil
[Hai, sayang. Aku tidak tahu apakah kita masih bisa bertemu lagi setelah kamu membaca surat ini. Tapi aku berharap, di mana pun kamu berada sekarang, kamu baik-baik saja. Nilam, aku hanya ingin mengatakan satu hal kepadamu, MAAF.Maaf karena aku pergi tanpa memberikan kepastian.Maaf karena meninggalkanmu di saat kamu sedang sakit dan membutuhkan aku di sisimu. Tapi, Nilam... aku ingin kamu tahu, semua ini aku lakukan demi kamu. Demi menyelamatkanmu. Demi kebaikanmu.Banyak orang berkata bahwa jika kita terus bersama, aku hanya akan membawa kesialan dan penderitaan dalam hidupmu.Tadinya, aku ingin menyangkal itu semua. Aku ingin melawan. Aku ingin tetap berada di sampingmu. Tapi aku terlalu naif, Nilam... Terlalu bodoh untuk menyadari bahwa mungkin mereka benar. Aku tahu, setelah membaca ini, mungkin kamu akan marah. Mungkin kamu akan membenci aku seumur hidupmu.Dan jujur, aku pantas mendapatkan itu. Aku pengecut. Aku tidak cukup kuat untuk bertahan. Aku tidak cukup
"Duduk dulu, Nak! Mama bisa jelasin semuanya..." Nilam menatap ibunya penuh ragu. Ia ingin marah, ingin membentak, tapi di satu sisi, hatinya juga ingin mendengar penjelasan yang selama ini disembunyikan darinya. Dengan berat hati, ia pun menurut. Setelah keduanya duduk, Bu Mala menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Mama gak pernah nyuruh Jean pergi, Nilam."Amarah yang tadi berkobar di dada Nilam perlahan meredup. Ia mengerutkan keningnya, menatap ibunya penuh tanda tanya. "Awalnya, iya. Mama memang marah dan kecewa pada Jean. Mama pikir dia cuma membawa sial buat kamu." Suara Bu Mala bergetar, ada luka lama yang kembali tergores dalam ingatannya. "Tapi setelah Jean membuktikan tanggung jawabnya dengan menangkap penjahat yang menabrak kamu, Mama sadar… kalau cintanya ke kamu itu tulus."Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Penjahat yang menabrakku?" ulangnya pelan. "siapa?"Tubuh Bu Mala bergetar pelan. Rasanya begitu sulit menyebut nama orang yang hendak menghabi
"T—tunggu, Pak Jean, jangan—" Terlambat. Jean sudah lebih dulu menyiramkan air ke arahnya lagi, membuat Nilam menjerit geli. Tawa mereka bercampur dengan suara ombak, seakan dunia hanya milik mereka bertiga. Di tengah kebersamaan itu, saat mata mereka bertemu—Jean menatapnya lebih lama dari biasanya. Seakan membaca sesuatu di balik sorot mata Nilam, sesuatu yang lebih dari sekadar keseruan bermain air.Namun sebelum suasana berubah semakin dalam, Qila yang tertawa di samping mereka menarik kembali perhatian. "Aku menang! Aku bisa bikin Papa mainan pasir juga!" Jean dan Nilam akhirnya tertawa, mengakui kekalahan mereka di tangan gadis kecil itu. Tapi di dalam hati mereka, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum terucap, tapi mulai terasa begitu nyata.Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Langit mulai berubah jingga, menandakan matahari perlahan turun ke ufuk barat. Namun, keseruan mereka masih jauh dari selesai. Puas dengan istana pasir dan saling siram
"Bawa dong, emang kamu mau makan apa?""Burger?""Jelas itu ada.""Kentang?""Ada banget.""Donat, Mba?""Tenang aja. Mba juga bawa cake.""Kalkun goreng?"Nilam terdiam sejenak, lalu menatap Qila yang sudah menahan tawa."Kalau mau kalkun, sana minta Papa kamu nangkap dulu. Baru Mba gorengin kalau udah dapet," balas Nilam sambil meringis lebar."Ngaco. Di sini mana ada kalkun. Ada tuh, nemo. Siapa tau kalian berdua pengen coba."Mereka tertawa kompak. Jean yang duduk di samping mereka hanya menggelengkan kepala, heran dengan tingkah dua perempuan itu.Saat makanan sudah tersaji, mereka mulai menikmati bekal dengan lahap. Qila dan Jean terus memuji masakan Nilam yang lezat."Mba Nilam, masakannya selalu enak," ujar Qila dengan mulut penuh makanan."Iya, bener. Harusnya kamu ga usah kerja di kantor, Nilam. Buka usaha restoran aja, pasti banyak peminatnya," tambah Jean.Nilam tertawa, lalu menatap mereka berdua. "Kalau ga ada pengunjung gimana?"Jean tersenyum. "Aku ama Qila yang bakal
"Kalian janji di mana?""Di taman sekitar sini.""Ke sana naik apa?""Minta tolong anter si Surya."Bu Mala mengangguk. Ia sudah mode pasrah dengan apapun yang anaknya itu lakukan. "Hati-hati di jalan ya!"Nilam memberikan kecupan di pipi sang Mama. "Dah Mama.""Daaah..." Bu Mala melihat putrinya melangkah keluar dengan wajah sedikit merona. Setelah menutup pintu, Nilam menarik napas panjang sebelum berjalan menuju taman—tempat di mana Jean sudah menunggunya.Saat tiba di taman, mata Nilam langsung menangkap sosok Jean dan Qila yang sudah lebih dulu menunggunya di bawah pohon rindang. Jean bersandar santai di salah satu dahan pohon dengan tangan terlipat di dada, sementara Qila berdiri di sampingnya dengan ekspresi sedikit canggung. Bocah sepuluh tahun itu tampak mengenakan dress putih selutut bermotif bunga kecil berwarna biru, dengan rambut hitam panjangnya diikat menjadi dua kuncir rendah. Sepasang sandal putih melengkapi penampilannya yang terlihat manis dan sederhana.Jean, sepe
"Eh bentar...""Ada apa Qila?"Ia menatap sang Papa. "Aku baru inget sesuatu.""Sesuatu? Apa?" Jean bertanya dengan penuh rasa penasaran."Besok kita jadi piknik gak Pa? Yang katanya ama Mba Nilam."Jean menganga. Bisa-bisanya dia hampir lupa hal penting tersebut. "Oh iya. Papa hampir lupa.""Ya udah, aku mau tidur cepet deh." Qila bersiap naik ke atas."Iya. Sebelum tidur jangan lupa gosok gigi ama cuci kaki ya! Jangan lupa berdo'a."Qila mengangguk dengan semangat. "Iya Pa! Selamat malam...""Malam sayang..." Jean melihat Qila berlari ke atas meninggalnya. Sedangkan dia sendiri langsung pergi menuju dapur dan berniat membuat kopi untuk teman mengejarkan laporan sebelum tidur.***"Kamu lagi ngapain Nilam?"Perempuan 23 tahun itu menengok sebentar ke arah sang Mama. Ia yang sibuk memasukkan makanan ke dalam rantang makanan hanya berkata, "Ini Ma, lagi siapin bekal.""Buat?""Piknik."Bu Mala mengerutkan keningnya. "Piknik ke mana?""Pantai.""Sama?"Nilam menghentikan kegiatannya. Ia
Di sebuah ruangan rumah yang cukup luas, Jean berdiri dengan kaku di tengah-tengah, sementara Qila menatapnya dengan ekspresi penuh harapan. Musik K-pop yang enerjik sudah mengalun dari speaker, mengisi ruangan dengan dentuman ritme yang cepat."Papa, coba gerakinnya kayak gini!" Qila memperagakan beberapa gerakan tari yang terlihat lincah dan penuh semangat. Tangannya bergerak dengan anggun, sementara kakinya melangkah dengan irama yang pas.Jean menghela napas, menatap putrinya dengan pasrah. "Qila, Papa ini udah tua. Mana bisa gerak secepat itu?" ucap Jean memberikan alasan.Qila mendelik sebal. "Papa gak tua! Papa kan masih 30an, masih kuat dan masih bisa dance Kpop.""Qila, Papa bisa ngelakuin apapun tapi jangan joget dong!" ia memohon. Baru juga mulai tapi Jean merasa energinya terkuras habis."Coba dulu Papaaaa... Yaaah, pleaseee..." pinta Qila sambil menunjukkan mata puppynya. "Kalau gak ama Papa, ama siapa lagi Qila latihan?" Qila mulai merajuk.Jean menghela nafas. Dia palin
Sore harinya, Nilam, Talita, dan Rina berkumpul di depan kantor sebelum berangkat ke mall. Mereka sudah merencanakan hari ini sejak beberapa hari yang lalu untuk bersantai setelah minggu yang sibuk."Akhirnya kita bisa jalan-jalan juga!" seru Talita penuh semangat."Iya, udah lama banget kita gak hangout kayak gini," tambah Rina sambil tersenyum.Nilam mengangguk setuju, ia terlihat sama girangnya dengan kedua rekannya. "Aku gak sabar mau shopping.""Sama iiih," Talita mengangguk setuju. "Moga aja aku gak khilaf. Gajian masih seminggu lagi soalnya.""Ingetin aku juga buat gak kalap ya, Mba," sahut Nilam. Sambil menempelkan sebelah pipinya ke pundak Rina."Ya udah ayo berangkat! Itu taksinya udah datang," ajak Rina dengan penuh semangat.Setelah tiba di mall, mereka langsung berkeliling, melihat-lihat berbagai toko. Mereka membeli beberapa baju dan makeup untuk dipakai ke kantor, sambil sesekali tertawa dan bercanda satu sama lain. Tidak hanya itu, mereka juga sibuk bertukar pendapat s
"Sendirian aja Mba?"Nilam yang sedang menunggu Jean, reflek menoleh ke samping. Keningnya berkerut dalam ketika melihat siapa yang ada di sebelahnya. Seorang pria berperawakan tinggi tegap dengan masker dan topi hitam yang menutupi wajahnya. Pria itu terlihat misterius menurut Nilam."E- enggak, Mas," jawabnya disertai senyum tipis. "Saya datang berdua kok. Kebetulan dia masih ada di dalam.""Oh. Pacarnya ya?"Nilam mengangguk ragu. Sementara bibirnya menggumamkan kata "iya"."Oh."Hening di antara mereka berdua. Sampai akhirnya Nilam kembali buka suara, "Masnya sendiri ke sini ama siapa?""Sendiri.""Um, gitu ya?" Nilam mengangguk-angguk kecil. Sejujurnya dia agak sangsi saat melihat penampilan pria itu yang cukup mencurigakan. Namun dia tidak boleh suudzon kan?"Btw, mbanya cantik banget."Hah? Nilam kaget. Tapi sejujur kemudian, ia tersenyum canggung. Tiba-tiba sekali orang ini memujinya, padahal kenal saja tidak. Jadi sedikit antisipasi, ia mengambil jarak menjauh dari pria yang
Jean merogoh ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar. Salah satu klien penting perusahaan. Ia menoleh ke arah Nilam, meminta izin dengan tatapan mata. Nilam hanya mengangguk pelan, memberi tanda bahwa tidak masalah jika Jean harus menerima panggilan itu.Jean melangkah ke samping, menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Pak Jo? Ya, bagaimana kabarnya?"Nada suara Jean berubah lebih serius. Nilam hanya menyimak dari kejauhan, menunggu sambil sesekali melirik jam tangannya. Percakapan Jean tampaknya cukup penting, karena pria itu mulai berjalan mondar-mandir kecil di depan pintu ruangannya."Ya, saya mengerti... Tentu, kami akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Iya. Satu minggu lagi acaranya berlangsung. Benar Pak, saya harap anda bisa datang ke sana," ucap Jean, nada suaranya tegas namun tetap profesional.Nilam mendengar sekilas tentang acara investor yang akan datang. Sepertinya ada beberapa kendala yang sedang dibahas. Jean terus berbicara di telepon, suaranya se
"Talita! Nilam!" Keduanya langsung berhenti berdebat ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Dan saat mereka menoleh ternyata itu adalah salah satu senior mereka di kantor yang mengajak mereka untuk naik ke atas karena sudah waktunya masuk kerja.Tanpa banyak membantah mereka mengangguk dan mengikuti sang senior. Nilam dan Talita berjalan ke atas dengan beriringan.Saat memasuki ruangan Jean, Nilam berusaha bersikap profesional. Yah, seperti permintaan Jean, saat di kantor mereka harus tetap fokus pada pekerjaan. "Selamat pagi, Pak Jean," sapanya dengan senyum manis. "Aku ingin menyampaikan jadwal kegiatan hari ini. Selain itu, seminggu lagi akan ada pengumuman investor perusahaan."Jean yang tengah fokus pada layar laptopnya mendongak dan menatap Nilam. Ekspresi wajahnya sedikit melunak saat melihat sekretaris yang sekaligus kekasihnya itu datang. "Pagi, Nilam. Duduk dulu! Ada beberapa hal lain yang harus kita bahas soal pengumuman investor perusahaan."Nilam mengangguk dan du