"Papa!"Jean yang baru selesai mencuci piring bekas makan malam mereka, menoleh ke arah Qila yang masih duduk anteng di area meja makan. Bocah 10 tahun itu sedang menikmati keripik kentang sambil menunggu Papa nya selesai bersih-bersih."Apa Qila sayang?""Besok sabtu aku kan libur sekolah, boleh ga aku ikut ke kantor Papa?" tanya Qila sambil mengayun-ayun kakinya."Ngapain? Kan enak di rumah ama Bibi.""Bosan Pa. Aku mau ikut Papa.""Nanti di sana kamu malah lebih bosan gimana?" tanya Jean memastikan. Dia cuma jaga-jaga saja sih, soalnya sang anak tiap ikut ke kantor paling betahnya cuma beberapa jam saja. Kadang sebelum siang Qila merengek minta pulang. Padahal pekerjaannya masih belum selesai. "Nanti belum apa-apa kamu udah ngerengek minta di anterin pulang."Qila nyengir kuda saat papanya berkata begitu. "Ga bakal Pa.""Yang bener?" tanya Jean kembali memastikan. Kini ia sudah memutar badannya untuk melihat langsung ke arah putrinya. "Kamu udah 3 kali lho bilang hal yang sama. Tap
"Mba Nilam!"Gadis 23 tahun ini makin melongo. Apalagi saat Qila tiba-tiba maju dan memeluk perutnya."Mba Nilam ke mana aja selama ini? Qila kangen tau sama Mba."Nilam bingung. Antara membalas pelukan bocah ini, atau mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh anak 10 tahun di depannya."K- kamu siapa ya? Kok bisa tau nama Mba?" tanya Nilam agak tergagap. Dia benar-benar tidak ingat pernah bertemu bocah ini sebelumnya. Tapi ga mungkin juga bocah ini salah orang karena si Qila ini benar saat memanggil namanya."Kita pernah ketemu sebelumnya ya? Atau gimana?""Mba masa sih lupa ama Qila?" Bocah berambut panjang itu bertanya balik. "Qila aja masih inget loh ama Mba.""Tapi Mba beneran lupa. Mba ga inget kapan kita ketemu.""Aku ini qila Mba. Anaknya Papa Jean. Dulu Mba kan pernah jadi ART di rumah Papa dan Mama. Terus kita kenal dan deket di sana.""Papa Jean?" Nilam makin bingung. Ekspresi wajahnya terlihat sangat lucu saat berusaha mengingat-ingat. "Maksudnya Pak Jean ya?""Iya Mba. M
["Mba Qila, ayo ikut Mba!"]["Mba Qila jangan sedih ya! Kan ada Mba Nilam!"]["Besok ayo kita belajar buat kue lagi, Mba."]["Mba Qila mau dikuncir gimana? Nanti Mba bantu deh."]Nilam menegakkan kepalanya saat tiba-tiba saja kepalanya di penuhi oleh suara-suara asing.Suara-suara asing bergema di kepalanya. Samar, tapi jelas. Suara seorang anak kecil yang tertawa, suara rengekan manja, suara panggilan penuh kasih.["Mba Nilam ayo main!"]["Mba Nilam mau nemenin Qila tidur kan?"]["Mba Nilam kenapa mau resign? Mba gak sayang lagi ya ama Qila?"]Gadis itu mencoba menggali ingatannya lebih dalam, tetapi semakin keras ia berusaha, semakin sakit kepalanya. Wajah-wajah kabur berkelebat, potongan-potongan kenangan datang silih berganti seperti kilatan lampu kamera yang menyilaukan. Ada tawa, ada pelukan hangat, ada seorang pria yang menggenggam tangannya erat... Namun wajah-wajah itu tetap buram. Ia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kecuali suaranya yang sama persis seperti gadis yang
Nilam menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menatap Qila dengan lembut. Matanya menangkap tatapan bocah kecil itu yang berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit bergetar seolah menahan tangis. "Mba Qila... Kamu gak usah takut gitu," ucap Nilam pelan, suaranya terdengar hangat dan penuh kasih sayang. "Mba baik-baik aja, kok." Qila mengerjapkan matanya beberapa kali, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya melepaskan genggaman kecilnya dari lengan Jean. Perlahan, gadis itu mendekat ke arah Nilam dengan langkah hati-hati. "Beneran, Mba?" lirihnya, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Nilam tersenyum kecil, berusaha menenangkan gadis kecil itu. "Iya, beneran." Perlahan-lahan, ekspresi Qila mulai melunak. Senyum malu-malu mulai muncul di wajahnya, meskipun masih ada sisa kekhawatiran di matanya. Jean, yang sejak tadi mengamati interaksi mereka berdua, akhirnya ikut bersuara. "Kalau kamu merasa gak enak badan, istirahat aja dulu, Nilam. Gak usah maksain d
Perempuan 23 tahun itu tidak langsung kembali ke rumah setelah jam kantor berakhir. Dia sedang menunggu seseorang yang bisa jadi saksi kunci mengenai masa lalunya. Masa lalu yang tidak pernah di bongkar oleh ibu kandungnya sendiri. Nilam duduk menunggu di salah satu caffe sambil menikmati jusnya dan jalanan padat di sore hari. Sesekali ia akan mengecek ponselnya untuk memastikan di mana patnernya itu sekarang. Walaupun badannya masih lemas dan kepalanya agak pusing efek pingsan tadi, tapi perempuan itu memaksa untuk pergi."Nilam!""Nana!"Hampir 10 menit menunggu, sosok yang dimaksud pun tiba. Dengan penuh suka cita, Nilam berdiri dan menyambut teman baiknya tersebut. "Nana... Akhirnya kita bisa ketemu. Aku kangen banget ama kamu.""Sama, aku juga." Nana membalas pelukan Nilam. Keduanya terlihat begitu heboh. "Ahh, udah lama banget kita gak ketemu kan?""Ayo duduk!" Nilam menarik pelan tangan Nana agar keduanya bisa duduk berhadapan. Setelah memesan minuman, barulah keduanya mulai m
Nana menggigit bibirnya ragu. Ia memang punya sesuatu untuk Nilam, tetapi sebelum itu, ada hal yang harus dipastikannya lebih dulu. Ia menghela napas, menatap Nilam dengan serius. "Sebelum aku kasih sesuatu itu ke kamu, aku mau tanya dulu. Aku mau nanya sesuatu?" Nilam mendengkus. Apalagi sih yang ingin Nana pastikan? Dia sudah cerita banyak hal padanya, bahkan dengan begitu detail. "Emang apa yang mau kamu tanyain?""Soal, si Jean itu Nilam."Nilam menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Jean yang aku ceritain itu bosku di kantor, Na. Dia duda, punya anak perempuan umur 10 tahun namanya Qila."Nana mengernyit. "Itu sih aku tau." "Terus kamu mau nanya apa?""Aku khawatir itu cuma mirip aja."Nilam menatap Nana dengan ekspresi sengit. "Kamu tau gak, tadi aku ketemu anaknya Pak Jean."Nana menunggu Nilam untuk melanjutkan. "Terus?""Qila bilang dia kenal aku," suara Nilam melemah, matanya menerawang. "Padahal setahuku, aku gak pernah ketemu dia sebelumnya." Nana terdia
"Nana…" suaranya pelan, sedikit gemetar. "Kenapa kamu merahasiakan semuanya dariku?"Nana menunduk, ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "aku gak bermaksud seperti itu." Ia menatap Nilam yang seperti ingin menangis. "Aku hanya mau nepatin janjiku ke Tante Mala dan—" Ia menelan ludah. "—Jean...""J- Jean? Jadi—""Seseorang yang seharusnya memberikan ini langsung ke kamu itu memang Jean. Jean yang seorang duda dan punya anak satu bernama Qila. Bos kamu— Nilam!" tegas Nana. Seakan menjawab semua rasa ingin tau Nilam dalam satu tarikan nafas.Nilam terperangah kaget. Ternyata benar dugaannya. Dia dan Jean memang pernah bertemu sebelumnya. Dengan semua perhatian Jean selama ini, membuat emua terasa related sekarang."Sebenarnya aku gak boleh kasih tau kamu, apalagi aku udah janji buat jaga rahasia ini sampai ingatan kamu pulih sendiri. Tapi aku gak tahan liat kamu seperti orang kebingungan." Nana menambahkan. "Tolong jangan kasih tau ke Jean ataupun Tante Mala ya! Ini rahasia kita."Nil
[Hai, sayang. Aku tidak tahu apakah kita masih bisa bertemu lagi setelah kamu membaca surat ini. Tapi aku berharap, di mana pun kamu berada sekarang, kamu baik-baik saja. Nilam, aku hanya ingin mengatakan satu hal kepadamu, MAAF.Maaf karena aku pergi tanpa memberikan kepastian.Maaf karena meninggalkanmu di saat kamu sedang sakit dan membutuhkan aku di sisimu. Tapi, Nilam... aku ingin kamu tahu, semua ini aku lakukan demi kamu. Demi menyelamatkanmu. Demi kebaikanmu.Banyak orang berkata bahwa jika kita terus bersama, aku hanya akan membawa kesialan dan penderitaan dalam hidupmu.Tadinya, aku ingin menyangkal itu semua. Aku ingin melawan. Aku ingin tetap berada di sampingmu. Tapi aku terlalu naif, Nilam... Terlalu bodoh untuk menyadari bahwa mungkin mereka benar. Aku tahu, setelah membaca ini, mungkin kamu akan marah. Mungkin kamu akan membenci aku seumur hidupmu.Dan jujur, aku pantas mendapatkan itu. Aku pengecut. Aku tidak cukup kuat untuk bertahan. Aku tidak cukup
Jean ngakak. “Ilegal tapi kamu yang teriak-teriak keenakan."Nilam nyaris keselek. “Kak Jean!”“Oke-oke, aku diem.” Jean mengangkat tangan sambil senyum geli. Tapi dia terus mencuri pandang ke arah istrinya yang sedang makan lahap, rambutnya masih basah, kulitnya bersinar habis kena matahari dan air kolam, dan senyumnya—ah, senyumnya bikin Jean jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya.Selesai makan, Nilam menyender santai di kursi, perut kenyang dan hati senang.“Gila, enak banget. Aku bisa bobo sekarang juga.”Jean nyender di sebelahnya. “Kalo gitu ayo balik kamar. Aku gendong lagi deh.”Nilam melirik malas. “Gak. Makasih. Sekarang aku udah punya banyak cadangan energi. Lagian kalau aku jatuh pas kamu gendong gimana?"“Gak mungkin. Kamu tuh kayak nyawa kedua aku. Harus dijaga.”Nilam diam sebentar, lalu tersenyum lebar. “Aw... co cweeeet.”Jean berdiri dan mengulurkan tangan. “Yuk, Tuan putri aku gandeng aja ke kamarnya."Nilam menggenggam tangannya dan berdiri. “Semoga kali ini kamu
Nilam berjalan sempoyongan di samping Jean, seperti habis nabrak tiang listrik dua kali. Kakinya lemas, betisnya pegal, dan wajahnya sedikit manyun karena satu alasan: renang yang ditunda hampir tiga jam cuma gara-gara suami over semangat.“Sayang, kamu keliatan capek banget. Gimana kalau renangnya di tunda aja. Jadi kamu bisa istirahat di kamar?” tawar Jean dengan raut penuh sesal."Ya itu kan gara-gara kamu! Bilangnya cuma satu ronde tapi lebih! Kan sialan..." gerutu Nilam dengan bibir manyun-manyun lucu. "Liburan kita tinggal dua hari lagi dan kita masih belum melakukan aktifitas seru di Bali. Kan rugi."Jean menahan tawa sambil menuntun istrinya yang sekarang jalannya lebih mirip orang mabuk. "Tapi aku khawatir kamu pingsan di kolam."Nilam mendelik. “Ya siapa suruh kamu seganas itu? Badan aku masih pegal semua ini.” Suara Nilam agak serak. Wajar sih, habis teriak-teriak keenakan dalam waktu cukup lama, meskipun bukan karena marah. “Dan parahnya lagi, aku belum makan dari tad
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga