"Duduk dulu, Nak! Mama bisa jelasin semuanya..." Nilam menatap ibunya penuh ragu. Ia ingin marah, ingin membentak, tapi di satu sisi, hatinya juga ingin mendengar penjelasan yang selama ini disembunyikan darinya. Dengan berat hati, ia pun menurut. Setelah keduanya duduk, Bu Mala menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Mama gak pernah nyuruh Jean pergi, Nilam."Amarah yang tadi berkobar di dada Nilam perlahan meredup. Ia mengerutkan keningnya, menatap ibunya penuh tanda tanya. "Awalnya, iya. Mama memang marah dan kecewa pada Jean. Mama pikir dia cuma membawa sial buat kamu." Suara Bu Mala bergetar, ada luka lama yang kembali tergores dalam ingatannya. "Tapi setelah Jean membuktikan tanggung jawabnya dengan menangkap penjahat yang menabrak kamu, Mama sadar… kalau cintanya ke kamu itu tulus."Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Penjahat yang menabrakku?" ulangnya pelan. "siapa?"Tubuh Bu Mala bergetar pelan. Rasanya begitu sulit menyebut nama orang yang hendak menghabi
Bu Mala menatap putrinya dengan mata membulat. "Apa?" desisnya pelan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Maksudnya gimana sayang? Mama gak ngerti."Nilam melirik ke arah sang Mama, ekspresinya datar meskipun dalam hatinya sedang berkecamuk. "Selama ini aku kerja di kantor Jean, Ma. Aku sekretarisnya. Dia itu Bosku."Kedua manik Bu Mala melebar, berusaha mencerna kata-kata putrinya. "B- bagaimana bisa?"Nilam tersenyum miris. "Takdir mungkin."Bu Mala masih tampak syok. "Jadi… kalian tiap hari ketemu dan kerja bareng?"Gadis itu mengangguk pelan."Dan Jean—"Nilam menelan ludah. "Dia pura-pura gak kenal sama aku, Ma. Dia bersikap profesional seperti seorang atasan walaupun kadang dia bisa sangat baik dan perhatian. Yaah, mungkin dia melakukan itu tanpa sadar." Ia tersenyum getir. Suara tawanya terdengar begitu miris.Bu Mala terdiam, dadanya terasa sesak membayangkan bagaimana putrinya harus menghadapi semua ini sendirian. "Pasti kamu merasa bingung."Nilam meng
"Kenapa kamu nangis?""Aku gak ingat apa pun," bisik Nilam. "Tapi anehnya aku merasa bahagia. Perasaan kosong yang selama ini ada dalam hatiku... hilang." Jean menatapnya lama. Di matanya, ada perasaan yang selama ini ia tahan. "Aku ingin kita mulai lagi dari awal," lanjut Nilam. "Aku gak peduli cerita kita seperti apa dulu, sedih atau menyakitkan. Aku ingin tahu semuanya, asalkan kamu ada di sampingku." Jean menggenggam kedua tangannya. "Kamu yakin, Nilam?""Aku yakin.""Kamu gak takut jatuh dan terluka lagi?" Nilam menggeleng tegas. "Aku lebih takut kehilangan kamu." Jean terdiam. Hatinyalah yang sekarang terasa berantakan. Sejak dulu, ia hanya ingin melindungi Nilam, tetapi kini, justru perempuan itu yang menunjukkan keberanian lebih besar darinya. "Kalau memang kita gak jodoh, kita nggak akan dipertemukan lagi seperti ini," tambah Nilam. "Tuhan sudah menuliskan jalan kita. Aku gak mau cari orang lain, Jean. Aku cuma mau kamu." Jean tersenyum tipis. Ia membingkai waja
"Mba Nilam ngapain ya ke ruangan Pak Jean?" gumamnya pelan."Apa Nilam mau minta resign? Tapi kok mendadak banget?""Apa ada masalah? Tapi apa masalahnya? Kok Mba Nilam juga keliatannya kesel banget tadi."Talita semakin resah. Dia khawatir rekannya itu akan berbuat onar atau menyebabkan masalah lain yang bisa berdampak buruk. Apalagi, sejak kemarin, Nilam memang terlihat lesu dan tidak fokus saat bekerja."Kamu kenapa sih, Lit? Dari tadi mondar-mandir nggak jelas?" suara Rina menyadarkan Talita dari pikirannya.Talita menoleh ke arah Rina yang masih duduk di mejanya, tampak santai sambil mengetik laporan.Alih-alih menjawab, Talita justru menghampiri Rani dan berbisik, "Aku khawatir sama Mba Nilam, Mba.""Khawatir kenapa?" Rina menatapnya dengan dahi berkerut."Nilam lama banget gak keluar-keluar dari ruangan Pak Jean. Aku khawatir dia ngelakuin sesuatu di dalam sana," ucapnya dengan nada pelan.Rina menghela napas dan menutup laptopnya. "Jangan su'udzon dulu, Lita. Bisa jadi Pak Jea
"Gini lho Nilam, gimana kita ga curiga. Kamu di dalam ruangan Pak Jean lama banget lho. Mana keluar-keluar baju kamu kusut gitu."Nilam reflek mah rapikan bajunya saat mendengar Rani berkata seperti itu kepadanya."Kita khawatir pak bos ngelakuin hal mesum ke kamu.""Ehehehe," Nilam tertawa canggung. "Ga kok, Mba. Semuanya aman terkendali kok. Nggak ada yang namanya berbuat mesum di dalam sana," ucap Nilam yang jelas saja full kebohongan. "Kita, cuma omongin pekerjaan aja kok."Rina dan Talita saling melempar pandang satu sama lain. Sebenarnya mereka masih belum puas dengan jawaban Nilam. Tapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak jika Gadis itu sendiri sudah berkata begitu."Yakin nih?""Hm.""Kalau dia macam-macam, Kamu beneran bisa loh ngomong sama kita." Rina menepuk-nepuk pelan bahu Nilam. "Kamu ga usah takut atau khawatir. Walaupun kita ini cuma karyawan dengan gaji yang pas-pasan, tapi kita nggak boleh takut kalau ada orang kaya yang menginjal-injak harga diri kita."Nilam meri
"Kamu gak makan?" tanya Jean kemudian. "Atau kita makan sama-sama aja abis ini?""Gak bisa, Pak. Aku mau makan sama Mba Rina dan Mba Talita. Udah janjian tadi. Abis ini aku mau turun nemuin mereka."Jean mengangkat sebelah alisnya, seolah tidak puas dengan jawaban Nilam. "Apa aku gak boleh ikut?"Nilam menatap Jean dengan pandangan geli. "Pak Jean, masa bos makan bareng karyawan biasa? Nanti mereka malah gak nyaman."Jean berpura-pura merenung sejenak sebelum akhirnya tersenyum jahil. "Kalau aku maksa ikut gimana?"Nilam mendengus pelan, menutup wajahnya dengan tangan. Pipinya yang bersemu merah semakin kentara. "Ya ampun, Pak Jean! Jangan kekanak-kanakan deh!"Jean tertawa pelan melihat reaksi Nilam yang semakin menggemaskan di matanya. "Baiklah, aku gak akan maksa. Tapi kamu harus janji, nanti setelah jam kerja selesai, kita makan malam berdua."Nilam menatap Jean, ingin menolak, tapi tatapan pria itu terlalu hangat dan penuh harapan. Ia akhirnya menyerah dan mengangguk pelan. "Oke,
"Surya!"Pria itu sedang menikmati secangkir kopi panas, rokok di sela jarinya, lengkap dengan sepiring pisang goreng ketika Bu Mala datang menghampirinya."Iya Nyonya." Dia hampir keselek ketika wanita paruhbaya itu datang. "Ada apa?""Daritadi aku mau nanyain ini ke kamu tapi lupa terus.""Nanya apa Nya?"Bu Mala duduk di kursi kosong sebelah Surya. Ekspresi wajahnya yang serius itu membuat supir pribadinya agak was-was."Kenapa kamu gak ngomong kalau Nilam kerja di perusahaan Jean?"Surya kaget. Matanya membesar namun sejurus kemudian ia tampak kembali santai. "Bingung saya Nyonya.""Bingung? Bingung gimana maksud kamu?""Ya bingung, Nyonya. Soalnya Mas Jean sendiri yang minta saya buat gak ngasih tau masalah ini ke Ibu. Soalnya apa yang harus dikhawatirkan, orang Mba Nilam aja amnesia dan gak inget siapa Mas Jean." Surya menjawab dengan sedikit ragu dan juga rasa gugup. Apalagi melihat ekspresi tegang lawan bicaranya. Seolah-olah dia sudah mengantisipasi kalau akan kena marah sete
"Urusan apa?"Nilam menelan ludah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia menunggu Jean. Semua orang di kantor hanya tahu kalau ia dan Jean sebatas atasan dan bawahan, belum ada yang tahu hubungan mereka lebih jauh."Aku nunggu Bos Jean.""Hah? Ngapain? Kaliaaan, mau pulang bareng?" tebak Talita tepat sasaran."Enggak!" Nilam segera membantah. "Sebenarnya aku mau menemani Pak Jean meeting ama klien. Sekalian makan malam," jawabnya bohong.Rina dan Talita saling melemparkan pandangan. " Klien apa klien?" goda mereka kompak.Nilam berdehem, mencoba menutupi rasa malu dan juga gugupnya. "Apa sih? Kita beneran ada meeting kok."Talita dan Rina saling bertukar pandang sebelum akhirnya menghela napas panjang. Mereka mencoba mempercayai ucapan Nilam yang mengatakan bahwa ia akan menemani Jean untuk meeting. Walaupun percayanya gak sampai 30%. Apalagi sejak kejadian di kantor kemarin, dan kemarinnya lagi."Ya udah deh kalau gitu! Kapan-kapan abis ngantor kita ngopi-
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh