"Urusan apa?"Nilam menelan ludah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia menunggu Jean. Semua orang di kantor hanya tahu kalau ia dan Jean sebatas atasan dan bawahan, belum ada yang tahu hubungan mereka lebih jauh."Aku nunggu Bos Jean.""Hah? Ngapain? Kaliaaan, mau pulang bareng?" tebak Talita tepat sasaran."Enggak!" Nilam segera membantah. "Sebenarnya aku mau menemani Pak Jean meeting ama klien. Sekalian makan malam," jawabnya bohong.Rina dan Talita saling melemparkan pandangan. " Klien apa klien?" goda mereka kompak.Nilam berdehem, mencoba menutupi rasa malu dan juga gugupnya. "Apa sih? Kita beneran ada meeting kok."Talita dan Rina saling bertukar pandang sebelum akhirnya menghela napas panjang. Mereka mencoba mempercayai ucapan Nilam yang mengatakan bahwa ia akan menemani Jean untuk meeting. Walaupun percayanya gak sampai 30%. Apalagi sejak kejadian di kantor kemarin, dan kemarinnya lagi."Ya udah deh kalau gitu! Kapan-kapan abis ngantor kita ngopi-
"Kapan aku bisa bertemu Bu Mala?" Nilam hendak mengatakan sesuatu, tapi ponselnya lebih dahulu berbunyi hingga membuat fokusnya buyar. "Hah?!" Melihat Nilam yang kaget setelah memeriksa ponselnya, Jean pun bertanya, "Dari siapa?" "Mama," jawab gadis itu lesu. "Emang Bu Mala bilang apa?" "Dia nanya pulang jam berapa biar Surya jemput." Nilam melemparkan pandangannya ke arah Jean. "Kasih tau aku Pak, aku harus bilang apa ke Mama?" "Ya bilang aja kalau kamu pulang denganku?" balas Jean dengan santainya. Perempuan cantik itu menyipitkan pandangannya. Seperti sedang menimbang-nimbang perkataan Jean barusan. "Oke." "Oke?" Jean mengulang ucapan Nilam. "Tumben kamu jujur kalau—" "Aku akan bilang ke Mama kalau pulang telat karena harus ketemuan sama Nana. Pasti Mama gak akan curiga." Ia tersenyum lebar setelah menyusun kata-kata untuk membohongi sang Mama. Jean sedikit syok saat mendengar ucapan perempuan itu. Dia pikir Nilam akan berkata sejujurnya pada Bu Mala, tapi ternyata tebaka
"Tentu. Kamu mau nanya apa?"Perempuan itu meletakkan garpunya di atas piring dan menarik napas dalam sebelum akhirnya bertanya, "Mba Qila kalau pas bapak kerja ama siapa?"Jean agak terkejut saat mendengar pertanyaan perempuan itu. Namun sejurus kemudian senyum lebar melekat di wajahnya. "Qila di rumah sama ART. Kadang Bibi sama Neneknya datang ke rumah buat jagain dia.""Ohh."Ia menatap perempuan di seberang mejanya dengan raut penuh rasa penasaran. "Kenapa? Kamu khawatir sama dia?"Nilam mengangguk. "Iya. Apa dia gak kesepian karena sering di tinggal? Apalagi kamu kan sibuk?"Jean terdiam beberapa saat, seolah mempertimbangkan sesuatu yang berat. "Jelas saja dia kesepian. Makanya kalau dia sedang ingin ke kantor, aku dengan senang hati menuruti keinginannya. Lagipula, Qila itu anak yang sangat pengertian."Nilam mengangguk paham. "Bener juga sih. Dia anaknya juga keliatan baik dan ceria banget.""Iya. Aku juga bersyukur dia tumbuh dengan baik meskipun—" Jean tidak melanjutkan kali
"Aku penasaran siapa orang itu dan— gimana keadaannya?"Jean agak kaget karena pertanyaan Nilam. Namun, ia segera menguasai dirinya dan mencoba bersikap santai. "Kenapa kamu tiba-tiba penasaran soal itu?" tanyanya sambil tetap fokus menyetir.Nilam menghela napas pelan. "Aku cuma penasaran aja, Pak Jeaaan. Emang gak boleh?"Jean mengetatkan genggaman di kemudi, lalu menghela napas. "Nilam, lebih baik kamu gak usah nanya soal itu lagi. Aku sudah menangani semuanya, dan orang itu sudah menerima konsekuensinya.""Maksudnya gimana? Dia dipenjara?" Nilam menatap Jean dengan ekspresi penuh selidik.Jean mengangguk pelan. "Ya, dia sudah dihukum sesuai dengan perbuatannya. Yang penting sekarang, kamu selamat dan bisa menjalani hidup dengan baik. Itu yang lebih penting."Nilam masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jean, tapi ia memilih untuk tidak mendesaknya lebih jauh. Lagipula, ia masih punya satu pertanyaan lain yang sejak tadi mengganjal di kepalanya."Pak Jean, boleh aku tanya
"Ayo tebak lagi," sahut Jean sambil menggoda putrinya."Ooh, aku tau..." Qila menjentikkan jarinya. "Papa pasti happy karena mau ketemu Mba Nilam kaaaan...""Sok tau.""Ya aku tau lah. Papa kan suka gitu kalau ketemu cewek cantik."Jean hanya menggeleng, sementara Qila tersenyum penuh arti. "Hush! Anak kecil gak boleh ngomong aneh-aneh.""Tapi aku bener kan, Pa?" Qila menyipitkan matanya penuh selidik. Dia sangat mirip Elisha jika sedang curiga."Gak tau." Jean menanggapi dengan santai. Sementara Qila terus mencecarnya karena penasaran. Bahkan anak itu terus saja menggoda sang Papa hingga keduanya sampai di gerbang sekolah Qila.Nilam tengah sibuk menuangkan kopi ke dalam cangkir ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkar di pinggangnya. Napas hangat menyentuh telinganya, membuatnya hampir tersentak."Pagi, cantik," suara berat itu berbisik di dekat telinganya.Nilam langsung mengenali suara itu dan menghela napas, setengah geli, setengah pasrah. "Pak Jean, bisa gak sih sekali aja kam
"Nak, Mama kangen banget sama kamu." Suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. "Akhirnya, Mama bisa bebasin kamu juga. Mama bersyukur sekali." Sosok itu— Dikta balas memeluk ibunya, merasakan betapa ringkih tubuh wanita itu kini. Sesekali, ia mengecup puncak kepala sang ibu, mencoba menenangkan diri dari gelombang perasaan yang menerpanya. "Dikta, kamu harus janji, nggak akan ngulangin kesalahan yang sama lagi!" pinta Bu Sinta, memegang wajah putranya agar ia menatap langsung ke matanya. "Kamu harus janji sama Mama bakal berubah jadi orang yang lebih baik setelah ini." Dikta mengangguk pelan. "Iya, Ma. Aku janji nggak akan ngecewain Mama lagi. Makasih ya, udah berjuang buat aku." Bu Sinta tersenyum lega, menepuk pipi anaknya dengan lembut. "Ayo pulang, Nak. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu." Tanpa banyak bicara, Dikta meraih tas jinjing besarnya dan mengikuti ibunya menuju mobil yang terparkir di depan. Saat ia masuk ke dalam mobil, aroma khas rumah yang sudah lama ia r
"Aku gak bakal biarin Mama hidup susah. Aku janji, Ma! Aku bakal balikin semuanya!" suara Dikta bergetar penuh tekad.Bu Sinta menggeleng perlahan. "Dikta... semua sudah berlalu. Yang penting sekarang kita harus mulai dari awal dengan cara yang benar, Nak. Jangan terjerumus lagi ke dalam kesalahan yang sama. Mama gak mau jauh dari kamu lagi.""Gak bisa Ma! Kita harus bangkit!""Mau bangkit gimana? Gak ada yang mau nolong kita Dikta. Semua orang pergi saat kita susah, apalagi saat tau kamu itu seorang pem—" Bu Sinta menggigit bibirnya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak melanjutkan kalimat yang mungkin bisa menyakiti hati anaknya.Dikta tersentak, matanya menatap nanar ke arah sang Mama. Ia merasa bersalah karena telah membuat ibunya menderita. "Maafkan aku Ma.""Nak— sekarang lebih baik kita berjuang untuk masa depan. Kamu coba cari kerjaan, apa aja gak masalah yang penting kita ada pemasukan," pinta wanita dengan kerutan di wajah dan lehernya tersebut. "Sambil kamu cari pekerjaan,
Dikta hanya tersenyum simpul sebelum menjawab, "Cuma ketemu temen kok, Ma. Urusan kerjaan."Bu Sinta sebenarnya agak ragu. Tapi dia mencoba untuk mempercayai Dikta karena tidak ingin menyinggung putranya tersebut. "Ya udah. Yang penting kamu gak aneh-aneh."Dikta tak mengatakan apapun dan langsung pergi setelah ibunya memberikan ijin. Dia tidak ingin orang 'itu' menunggu terlalu lama di tempat mereka janjian.***Malam sudah larut ketika Dikta akhirnya pulang. Suara derit pintu membuat Bu Sinta yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri. Raut wajahnya menunjukkan kelegaan sekaligus kekhawatiran saat melihat putranya memasuki rumah."Dikta, kamu lama sekali..." ucapnya lirih. "Mama khawatir kamu bakal bertindak nekat seperti dulu."Dikta melepas jaketnya, menghela napas panjang sebelum menatap ibunya. "Ma, aku cuma ngobrol sama teman lama. Gak ada yang perlu dikhawatirin!"Bu Sinta menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi anaknya. "Dikta, kamu gak boho
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh